Manager of DDTC Fiscal Research Denny Vissaro memaparkan materi dalam webinar bertajuk Digitalisasi, Prospek Profesi Pajak, dan Pemajakan atas Transaksi Online, Senin (12/4/2021). (tangkapan layar Zoom)
SURABAYA, DDTCNews – Digitalisasi telah menciptakan model bisnis baru yang tidak terikat yurisdiksi dan tidak lagi memerlukan kehadiran fisik. Model bisnis baru ini menimbulkan berbagai tantangan bagi dunia perpajakan yang perlu solusi berbeda-beda.
Manager of DDTC Fiscal Research Denny Vissaro menyebut masalah pajak karena digitalisasi salah satunya terjadi lantaran setiap negara memiliki ketentuan pemajakannya sendiri. Namun, digitalisasi membenturkan sistem pajak satu negara dengan negara lainnya sehingga dibutuhkan solusi baru.
Pandemi virus Corona juga makin mendorong diperlukannya solusi atas masalah pajak digital. Pasalnya, pandemi membuat bisnis digital makin massif dan negara membutuhkan penerimaan pajak yang lebih besar.
“Ini menjadi tantangan karena nexus atau penghubung yang selama ini berdasarkan pada kehadiran fisik tidak lagi relevan," jelas Denny dalam webinar bertajuk Digitalisasi, Prospek Profesi Pajak, dan Pemajakan atas Transaksi Online, Senin (12/4/2021)
Oleh karena itu, sambungnya, dibutuhkan nexus baru untuk bisa menjustifikasi pelaku bisnis memiliki kehadiran dan layak dipajaki di suatu yurisdiksi. Hal inilah yang menjadi perdebatan. Konsensus global juga sangat dibutuhkan.
Denny menjelaskan digitalisasi meliputi banyak aspek. Hal tersebut membuat letak permasalahan pajak terjadi pada berbagai sisi. Dari sisi pajak penghasilan (PPh), sambung dia, kebijakan pajak yang ada saat ini tidak lagi bisa mencakup aturan ekonomi digital.
Namun, perumusan kebijakan pajak yang baru juga tidak mudah karena berkaitan dengan kepentingan setiap negara. Sementara itu, prinsip global terkait dengan PPN telah disepakati. Namun, masih perlu ada penegasan peraturan serta penunjukkan pihak yang menjadi pemungut PPN.
Untuk mengatasi permasalahan yang berbeda-beda itu diperlukan 3 tahap. Pertama, memahami model bisnis digital. Kedua, mengidentifikasi mana ketentuan pajak yang relevan dengan model bisnis. Ketiga, memilih solusi yang tepat apakah dari segi kebijakan, administrasi, atau keduanya.
Misalnya, model bisnis seperti Airbnb memungkinkan bertemunya host dan guests dalam platform digital yang disediakan. Airbnb tidak perlu hadir di negara tempat host tersebut berada sehingga tidak ada kehadiran fisik yang diperlukan.
Model bisnis tersebut, lanjut Denny, menimbulkan pertanyaan terkait dengan kewajiban pajak Airbnb. Pasalnya, ketentuan pajak yang lama tidak relevan sehingga diperlukan penegasan atau perombakan atas ketentuan pajak untuk menangkap model bisnis digital.
Denny juga menjelaskan mengenai perkembangan aturan pajak digital terkini di Indonesia. Dia menerangkan ketentuan pajak yang ada saat ini bukan merupakan pajak baru. Namun, aturan tersebut lebih menegaskan ketentuan pajak yang lama juga berlaku terhadap bisnis digital guna menjamin level playing field yang sama.
Denny selanjutnya menerangkan digitalisasi membuat orang yang berada dalam dunia perpajakan juga harus memiliki “lompatan” untuk mengatasi gap antara keilmuan dengan konteks masalah yang ada.
Pasalnya, ilmu perpajakan tidak berdiri sendiri, tetapi perpaduan antara ilmu hukum, ilmu akuntansi, keuangan, sosial, behavioral study, politik, dan ekonomi. Saat ini, lanjutnya, perpajakan juga sudah menjadi sebagian ranah keilmuan manajemen data dan teknologi.
“Untuk itu, sebagai akademisi pajak menguasai ilmu pajak memang menjadi keharusan, tetapi kita juga harus mempelajari ilmu lain dan lebih kritis, melek teknologi, berintegritas tinggi, dan berupaya mengeliminasi asimetri informasi perpajakan,” jelasnya.
Adapun kuliah umum ini diadakan bersamaan dengan penandatanganan nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) antara DDTC dan Ubaya. Dalam kuliah umum ini, dosen Ubaya N. Purnomolastu hadir sebagai moderator. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.