TULISAN ini dan tulisan mengenai withholding tax digunakan sebagai referensi OECD dalam menyusun rekomendasi pembenahan sistem pajak di Indonesia.
Lanskap Pajak yang Berubah
Dewasa ini kita menyaksikan perubahan drastis di arena pajak, baik di tingkat global maupun domestik. Agenda-agenda global kini telah mencantumkan pajak sebagai salah satu menu utama, baik terkait pertukaran informasi, memobilisasi penerimaan, hingga melawan penghindaran pajak. Pada ranah domestik, kebutuhan pembiayaan pembangunan yang tidak diimbangi oleh kinerja penerimaan kian menjadi perhatian.
Sampai saat ini, rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau tax to GDP ratio di Indonesia hanya berada pada kisaran 11% selama lima tahun terakhir, atau lebih rendah daripada rata-rata dunia yang sebesar 16%. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kepatuhan pajak, kebocoran pajak, besarnya shadow economy, kurang elastisnya penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi, struktur penerimaan yang tidak seimbang, dan sebagainya. Hal tersebut mendorong adanya rencana reformasi pajak secara komprehensif yang dimulai dari program amnesti pajak.
Revisi paket Undang-undang (UU) di bidang pajak, transformasi kelembagaan Ditjen Pajak, hingga implementasi kebijakan yang tunduk terhadap konsensus global hanyalah beberapa contoh rencana dalam agenda reformasi pajak Indonesia. Rencana-rencana tersebut memberikan optimisme akan adanya sistem pajak yang lebih baik, yang pada akhirnya berdampak pada penerimaan. Namun, perubahan-perubahan tersebut agaknya memiliki efek samping yang kerap terlupakan. Penegakan hukum pasca amnesti pajak, kapasitas lembaga otoritas pajak yang menguat, ketersediaan informasi di era transparansi, serta perubahan hukum pajak yang memerlukan adjustment,jelas berpotensi meningkatkan potensi sengketa pajak. Terlebih dalam konteks Indonesia yang memiliki persoalan informasi asimetri dan belum terbentuknya masyarakat melek pajak (tax society) sebagaimana telah dijelaskan penulis pada kesempatan lain (Darussalam, 2015).
Sengketa pajak, walau merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan dalam sistem pajak, memberikan dampak negatif kepada kepatuhan melalui dua hal. Pertama, maraknya sengketa memberikan ketidakpastian dan tergerusnya kepercayaan terhadap sistem pajak (Gangl, et.al., 2012). Kedua, sengketa menimbulkan biaya kepatuhan yang tinggi sebagai akumulasi dari waktu, tenaga, dan biaya yang dikeluarkan (Vaillancourt, et.al., 2016). Dengan demikian, perubahan lanskap pajak justru dapat kontraproduktif dengan kepatuhan jangka panjang.
Momentum reformasi pajak harus dipergunakan sebagai sarana untuk meredesain kembali sistem pajak kita agar di satu sisi menjamin kesinambungan penerimaan dan di sisi lain meminimalkan sengketa. Sederhananya, mencabut bulu angsa tanpa membuatnya berteriak.
Desain Sistem Pajak
Menggenjot penerimaan dengan sengketa yang minim bukan sesuatu yang tidak mungkin. Paling tidak terdapat sepuluh poin yang perlu untuk dijadikan pertimbangan sebagai berikut
Pertama, salah satu penyebab terjadinya sengketa adalah minimnya partisipasi para pemangku kepentingan dalam proses perumusan kebijakan dan merancang hukum pajak (Wales dan Wales, 2012). Proses perumusan yang transparan dan partisipatif serta didukung oleh kelembagaan dan ketersediaan ahli-ahli pajak akan menjamin output yang ideal dan mendapatkan akseptabilitas publik.
Kedua, targeting penerimaan pajak. Siapa dan bagaimana target ditetapkan memainkan peranan penting. Pemerintah, sebagai pihak yang menentukan target, haruslah mampu memproyeksikan penerimaan pajak yang ideal, sedangkan pihak legislatif juga harus memiliki kemampuan untuk menguji feasibility target tersebut melalui perdebatan yang berbobot dan penuh perhitungan. Penentuan target pajak setidaknya harus melibatkan institusi yang bertugas dalam menyusun kebijakan dan administrasi pajak sehingga terbentuk angka yang realistis.
Ketiga, obsesi untuk mencapai target atau menutupi shortfall hanya akan mendorong perspektif jangka pendek yang justru mendorong kerap terjadinya perubahan aturan pajak. Ketidakstabilan dan sistem pajak yang sulit diprediksi dapat berakibat pada timbulnya risiko sengketa yang tidak terduga (unintended tax consequence). Akibatnya, biaya pemungutan pajak (administrative cost) dan biaya kepatuhan (cost of compliance) meningkat sehingga sistem ekonomi menjadi tidak efisien (Bird dan Zolt, 2003). Kestabilan sistem pajak diperlukan agar tercipta kredibilitas, reputasi, hingga kepercayaan investor. Hal ini bukan berarti sistem pajak tidak responsif terhadap derasnya perubahan lanskap, tetapi perubahannya perlu dibuat secara gradual dengan turut melihat kepentingan dan proyeksi jangka panjang (Bird dan Martinez-Vazquez, 2014).
Keempat, dalam konteks administrasi diperlukan perubahan indikator pengukuran kinerja otoritas pajak yang tidak semata-mata berorientasi atas penerimaan. Menurut Crandall (2010), sasaran strategis otoritas pajak mencakup upaya meningkatkan kepatuhan, meningkatkan produktivitas dan efisiensi pemungutan pajak, orientasi pelayanan, hingga menjamin bahwa uang pajak yang terkumpul dapat mencukupi belanja pemerintah. Oleh karena itu, indikator lain seperti biaya administrasi pemungutan pajak (administrative cost), kepuasan wajib pajak atas pelayanan, cakupan sosialisasi pajak, efektivitas pemeriksaan, hingga lama penyelesaian sengketa juga sama pentingnya.
Kelima, pemerintah harus berhenti bersikap kompulsif dan menghindari paradigma bahwa pengadilan pajak menjadi ‘gawang terakhir’ yang memutuskan sengketa (Butani, 2016). Prinsip think before act (of filing appeal) dalam National Litigation Policy yang dirumuskan Ministry of Law and Justice, Pemerintah India di tahun 2010, dapat dijadikan rujukan. Saat membuat keputusan untuk melanjutkan sengketa pajak ke ranah pengadilan, pemerintah harus melakukan peninjauan dan analisis biaya-manfaat. Hal tersebut juga mencakup pertimbangan untuk tidak mengajukan banding atas pokok sengketa yang sama dan berulang, serta sengketa yang bersifat fakta (non-interpretatif).
Keenam, mendesain hukum pajak yang jelas, detail, sederhana, dan berkepastian hukum sehingga tidak terjadi ambiguitas, interpretasi yang beragam, dan inkonsistensi dalam penerapannya. Selain itu, hukum tersebut harus diperjelas dalam panduan administrasi di lapangan untuk menghindari interpretasi yang berbasis atas diskresi individu (de Cogan, 2011).
Ketujuh, kerangka baru kepatuhan wajib pajak yang berbasis enhanced relationship atau sering disebutcooperative compliance (Veldhuizen, 2015). Paradigma baru tersebut mensyaratkan adanya hubungan yang dibangun atas adanya transparansi, keterbukaan, saling percaya, dan saling memahami antara wajib pajak, otoritas pajak, dan konsultan pajak. Dengan demikian, isu pajak yang berpotensi menjadi sengketa dapat diidentifikasi dan didiskusikan sebelum menjadi pokok sengketa. Dengan kata lain, sengketa pajak dapat diselesaikan sejak dini.
Kedelapan, pengajuan keberatan dan banding adalah salah satu hak-hak wajib pajak yang mendasar. Adanya sanksi kenaikan sebesar 50% dari jumlah pajak yang disengketakan yang tidak dibayar jika keberatan ditolak serta sanksi kenaikan sebesar 100% jika banding ditolak, telah menghalangi upaya wajib pajak mencari keadilan serta mencederai aspek proporsionalitas dalam sistem pajak. Kewajiban tersebut mencerminkan adanya scare tacticsagar wajib pajak membayar lebih dahulu jumlah pajak yang disengketakan untuk terhindar dari sisi sanksi kenaikan. Akibatnya, terdapat kecenderungan moral hazard wajib pajak dalam proses banding untuk bersikap all out demi memenangkan sengketa, dan kecenderungan moral hazard fiskus untuk ‘dengan mudahnya’ membawa sengketa ke tingkat banding.
Kesembilan, khusus mengenai isu sengketa pajak, ada baiknya untuk mempertimbangkan suatu prosedur hukum dalam penyelesaian sengketa yang berada di luar ranah pengadilan yang dikenal dengan nama alternative dispute resolution/ADR (Thuronyi, 2013). Cara-cara seperti mediasi, konsultasi, dan sebagainya, diharapkan dapat menciptakan proses penyelesaian sengketa yang lebih efisien serta efektif, maupun dapat mengurangi jumlah berkas banding dan gugatan di pengadilan pajak. Statistik yang dirilis oleh Sekretariat Pengadilan Pajak (2016) mungkin dapat menjadi indikasi. Pada 2015 saja, terdapat lebih dari 25.000 berkas banding dan gugatan yang ada di Pengadilan Pajak. Padahal, rasio jumlah putusan terhadap jumlah berkas tiap tahunnya terus mengalami penurunan. Pada tahun 2015, rasionya hanya 36%.
Kesepuluh, penguatan kapasitas lembaga Pengadilan Pajak dan Komite Pengawas Perpajakan (tax ombudsman) sebagai lembaga yang turut berperan serta dalam menjamin hak-hak wajib pajak. Penguatan tersebut juga turut diiringi dengan upaya peningkatan akuntabilitas dan transparansi.
Sebagai penutup, kesepuluh poin di atas pada dasarnya berdiri di atas prinsip fiscal justice. Prinsip ini meliputi kepastian hukum, adil, sesuai dengan undang-undang, tidak berlaku surut, efisien, dan dipungut oleh lembaga yang dipercaya oleh masyarakat (Vanistendael, 1996). Lebih lanjut lagi, prinsip tersebut akan mendorong sistem pajak yang bercirikan masyarakat patuh pajak, stabil, berkepastian, inklusif, dan selaras dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, upaya meningkatkan penerimaan dengan sengketa yang minim dapat tercapai.
*) Tulisan ini dimuat dalam buku Menuju Ketangguhan Ekonomi: Sumbang Saran 100 Ekonom Indonesia, (Jakarta: Kompas, 2017), 30-34.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.