PAJAK merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan penerimaan negara. Adapun penerimaan yang terhimpun dari pajak itu dimanfaatkan untuk membiayai beragam hal, di antaranya penyelenggaraan pendidikan, kesehatan, fasilitas umum, dan lain-lain.
Jenis pajak yang dipungut oleh pemerintah di berbagai negara pun sangat beragam. Jenis pajak itu tidak sebatas pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN). Lebih luas, ada pula jenis-jenis pajak yang unik dan jarang terdengar. Misalnya, pajak jendela.
PAJAK jendela (window tax) adalah pajak yang dikenakan terhadap tempat tinggal yang penghitungan kewajiban pajaknya didasarkan pada jumlah jendela. Pajak ini dikenakan sejak 1696 dan menjadi semacam pendahulu dari pajak properti modern (Oates dan Schwab, 2015).
Menurut Oates dan Schwab, pajak jendela diperkenalkan di Inggris pada 1696 oleh Raja William III. Pada awalnya, pajak jendela dimaksudkan sebagai pungutan sementara. Namun, dalam perkembangannya, pajak jendela justru sempat direstrukturisasi dan tarifnya ditingkatkan beberapa kali.
Pajak jendela dipungut dari penghuni, bukan pemilik tempat tinggalnya. Dengan demikian, penyewa yang bukan pemilik harus membayar pajak jendela. Sementara itu, untuk bangunan rumah petak besar di kota dianggap sebagai tempat tinggal tunggal dengan kewajiban pajak bertumpu pada pemiliknya.
Selain itu, terdapat pengecualian yang diberikan terhadap sejumlah bangunan, seperti kantor publik, rumah pertanian dengan biaya kurang dari 200 pounds per tahun, perusahaan susu, cheese rooms, malt houses, dan lumbung.
Pada saat awal diperkenalkan, pajak jendela terdiri atas 2 tingkatan tarif. Pertama, tarif tetap senilai 2 shilling untuk setiap rumah. Kedua, pungutan tambahan senilai 4 shilling untuk rumah dengan 10 hingga 20 jendela serta 8 shilling untuk rumah dengan lebih dari 20 jendela. Selanjutnya, struktur tarif pajak jendela mengalami revisi berkali-kali.
Pajak jendela sebenarnya merupakan pengganti dan penyederhana dari penerapan pajak perapian (hearth tax). Hearth tax diganti karena kurang popular akibat proses penilaian objek pajaknya yang dianggap mengganggu.
Sebab, penerapan hearth tax mengharuskan penilai pajak memasuki setiap ruangan rumah untuk menghitung jumlah perapian dan tungku sebagai objek pajak. Sebaliknya, pajak jendela tidak memerlukan akses ke dalam tempat tinggal karena penilai dapat menghitung jendela –sebagai objek pajak—dari luar.
Kendati demikian, penerapan pajak jendela ini memiliki kelemahan dalam mendefinisikan “jendela”. Individu mungkin harus membayar pajak jika ada batu bata yang jatuh dari dinding rumahnya apabila lubang tersebut memancarkan cahaya dan udara ke dalam rumah.
Selain itu, penerapan pajak jendela menimbulkan 2 efek buruk, yaitu pada kesehatan dan estetika. Efek buruk itu merupakan buntut dari upaya pembayar pajak mengurangi tagihan pajaknya dengan berbagai tindakan.
Tindakan itu seperti menaikkan jendela agar tidak nampak oleh penilai pajak atau membangun rumah dengan jendela yang sangat sedikit. Terkadang seluruh lantai rumah tidak berjendela.Hal itu membuat ratusan warga menderita, bahkan meninggal karena ruangan yang pengap, bau, dan gelap.
Hal ini lantaran sedikitnya ventilasi dan udara segar yang baik memicu berbagai penyakit, seperti disentri, gangren, dan tifus. Oleh karena itu, banyak pihak yang melayangkan protes dan petisi kepada parlemen atas penerapan pajak jendela.
Petugas medis menjadi salah satu pihak yang mengajukan petisi pada 1845. Setelah proses yang panjang, parlemen mengakui penerapan pajak jendela menimbulkan masalah kesehatan yang serius. Puncaknya, pajak jendela dicabut pada 1851 setelah berlangsung lebih dari 150 tahun. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.