ANALISIS TRANSFER PRICING

Analisis Kontraktual dalam Transfer Pricing

Senin, 04 Maret 2019 | 14:30 WIB
Analisis Kontraktual dalam Transfer Pricing

Azim Novriansa,
DDTC Consulting

TRANSFER pricing dapat menimbulkan sejumlah risiko. Adapun risiko tersebut dapat meliputi risiko sengketa pajak, risiko adjustment atau penentuan kembali besarnya nilai transaksi afiliasi, dan risiko pengenaan pajak berganda (Wrappe, 2011).

Tingginya perhatian publik serta besaran nilai sengketa transfer pricing juga turut berkontribusi bagi risiko reputasi. Oleh karena itu, setiap risiko harus dievaluasi dan ditangani sebagai bagian dari keseluruhan perencanaan, pelaksanaan, dan kepatuhan setiap wajib pajak.

Pada dasarnya, risiko yang timbul dari isu transfer pricing dapat diminimalisir dengan melakukan penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha. Dalam penentuan harga transfer, setiap transaksi biasanya memiliki sumber atau latar belakang yang tercantum dalam hukum kontrak yang diatur dan disepakati oleh pihak-pihak yang terlibat. Kesepakatan tersebut dibuat sebagai bentuk pengawasan hukum atas kepentingan bersama yang disepakati.

Adanya Proyek Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), terutama mengenai transfer pricing, analisis terhadap syarat dan ketentuan dalam kontrak menjadi kian penting. Ketentuan kontrak dipahami sebagai langkah awal dalam pengujian kewajaran transaksi afiliasi, khususnya terkait kesebandingan antara transaksi afiliasi dan independen.

Tiga Konsep Dasar

PADA dasarnya, terdapat tiga konsep dasar prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang dapat digunakan sebagai dasar analisis kontraktual, yaitu kepemilikan, substansi, dan rasionalitas komersial yang dalam aspek legal juga dialokasikan ke dalam kontrak.

Dalam perspektif prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, perilaku dan cara pihak independen dalam bertransaksi menjadi acuan atas transaksi afiliasi. Dalam transaksi independen, pada dasarnya konsep kepemilikan ekonomi (economic ownership) dan kepemilikan secara hukum (legal ownership) diatur dalam kontrak yang dapat menunjukkan hak masing-masing pihak, terutama terkait hak penerima penghasilan. Jika konteks tersebut tidak ada dan tidak diputuskan pada saat sebelum terjadinya transaksi, transaksi akan semakin sulit ditelusuri dan dijabarkan keandalannya dalam perspektif pajak.

Selanjutnya, nilai yang tecipta dalam rantai usaha perusahaan multinasional tidak dapat dikenakan pajak hanya berdasarkan dugaan ekonomi (economic notion) saja sehingga dapat dikatakan bahwa nilai-nilai yang terbentuk dalam rantai usaha suatu perusahaan perlu diformalkan secara transaksional yang diwakili oleh kontrak yang relevan.

Dengan kata lain, implikasi pajak yang mungkin timbul menurut substansi ekonomi lebih baik dijelaskan dengan mengacu pada prinsip-prinsip kontrak yang dimaksudkan untuk mendeteksi ekspektasi yang wajar dari pihak yang terlibat. Hal ini juga harus sejalan dengan bukti kondisi aktual yang terjadi (actual conduct) sehubungan dengan maksud dan tujuan para pihak yang terlibat secara tertulis.

Perikatan kontraktual biasanya secara jelas mengalokasikan tanggung jawab, kewajiban, dan risiko antara pihak yang terlibat, seperti ruang lingkup dan jangka waktu perikatan, ketentuan pemberhentian kontrak, ketentuan remunerasi dan pembayaran, masalah nilai tukar, hak, dan transfer risiko. Harga transfer yang diterapkan dapat mencerminkan model bisnis perusahaan dan merepresentasikan value driver. Oleh karena itu, kontrak antarperusahaan dapat menjadi instrumen yang kuat dalam menjelaskan latar belakang transaksi, seperti latar belakang atau alasan para pihak melakukan transaksi, cara mengatur dan mengelola transaksi, dan cara pemberhentian atau pemutusan transaksi tersebut.

Sehubungan dengan adanya faktor kontrol atau pengendalian dalam sebuah grup perusahaan multinasional, OECD menunjukkan bahwa kontrak dalam perusahaan multinasional dapat diubah dengan mudah sesuai dengan strategi grup usaha secara keseluruhan. Berdasarkan Paragraf 1.67 OECD Transfer Pricing Guidelines 2017, otoritas pajak harus dapat menentukan realitas yang mendasari adanya perubahan aturan kontrak dalam penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.

Pengujian

SEBAGAIMANA yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat dasar analisis kontraktual yang bisa digunakan sebagai standar minimal untuk menguji kontrak dengan pihak afiliasi untuk memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha, yaitu kepemilikan, substansi, dan rasionalitas komersial.

Berdasarkan Pasal 9 OECD Model Tax Convention, ‘kondisi yang dibuat atau diberlakukan antara kedua perusahaan dalam hubungan komersial atau keuangan’ dapat diambil sebagai titik awal analisis untuk menentukan persyaratan wajib dari kontrak antarperusahaan yang dapat dilihat dari kriteria substansi, kepemilikan, dan rasionalitas komersial. Selanjutnya, proses analisis kontrak dapat dilakukan melalui pengujian fungsi aktual yang dijalankan (Pankiv, 2017).

Sehubungan dengan pengujian atas substansi, dalam hal ini adalah substansi legal dan ekonomi, analisis dilakukan melalui identifikasi para pihak yang terlibat secara kontraktual, termasuk pihak-pihak yang memiliki kapabilitas dalam memenuhi kewajibannya berdasarkan kontrak tersebut. Selanjutnya, kontrak tersebut diuji konsistensinya terhadap analisis faktual dalam hal fungsi, aset, dan risiko. Hal-hal terkait pemberhentian atau pemutusan kontrak juga menjadi salah satu konteks yang wajib tersedia dalam kontrak.

Kemudian, sehubungan dengan pengujian atas kepemilikan, dalam hal ini adalah kepemilikan legal dan ekonomi, analisis dilakukan melalui identifikasi atas kepemilikan sah dari aset tidak berwujud. Misalnya, intellectual property (IP) yang sudah ada sebelumnya, kepemilikan hukum atas IP yang dibuat selama pelaksanaan kontrak, konsistensi kontrak dengan rantai suplai (supply chain) yang dijalankan, persyaratan hukum formal, serta ketentuan administrasi dan pelaporan. Seluruh konteks tersebut harus diuji dengan kondisi aktual yang terjadi, terutama dalam hal konsistensi.

Di samping itu, terkait dengan pengujian atas rasionalitas komersial dari suatu skema transaksi afiliasi, analisis dilakukan melalui keuntungan yang didapatkan para pihak. Perikatan yang dilakukan harus masuk akal secara komersial dari perspektif masing-masing pihak yang menandatangani kontrak.

Penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha pasca-BEPS memiliki gagasan utama untuk memastikan outcomes dari transfer pricingsesuai dengan pembentukan nilai (value creation). Analisis ini dapat dimulai dari analisis kontraktual. Adanya eksistensi kontrak yang komprehensif dapat mempermudah analisis prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.*

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Selasa, 24 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Tahapan Pendahuluan untuk Transaksi Jasa dalam Penerapan PKKU

Minggu, 22 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Metode Penentuan Harga Transfer dan Karakteristik Transaksinya

Rabu, 18 Desember 2024 | 11:45 WIB LITERATUR PAJAK

Perlukah Aturan Transfer Pricing di Indonesia Mengadopsi Safe Harbour?

Selasa, 17 Desember 2024 | 11:15 WIB LITERATUR PAJAK

Sisa 3 Hari! Jangan Lewatkan Promo Spesial Akhir Tahun DDTC

BERITA PILIHAN