Annisa Hayatun Nazmi Burhan
,ALTERNATIVE Minimum Tax (AMT) menjadi salah satu usulan pemerintah dalam RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang tengah dibahas dengan DPR. Usulan kebijakan ini dianggap mampu menambah sumber penerimaan negara.
Munculnya usulan kebijakan AMT berawal dari adanya kenaikan jumlah wajib pajak badan yang melaporakan Surat Pemberitahuan (SPT) rugi fiskal selama 5 tahun berturut-turut. Pemerintah menyimpulkan adanya indikasi penghindaran pajak.
Memang terlihat mencurigakan ketika perusahaan dapat beroperasi, bahkan berekspansi 5 tahun berturut-turut, tetapi selalu melaporkan rugi fiskal. Kalau terus merugi, dari mana asal pendanaan untuk beroperasi dan berekspansi? Kondisi tersebut memunculkan indikasi utama adanya penghindaran pajak.
Penghindaran pajak mengandung konotasi yang negatif. Bagaimanapun, pembayaran pajak adalah kewajiban wajib pajak. Jika dilakukan, penghindaran pajak bertentangan dengan spirit dari hukum pajak itu sendiri meskipun dianggap legal (OECD 2017).
Seluruh dunia memang sepakat selama masih dalam koridor hukum, penghindaran pajak dianggap legal. Menurut seorang peneliti, Hughes-Frecknal (2018), penghindaran pajak merupakan perencanaan pajak yang dilegitimasi. Namun, meskipun tindakan legal, penghindaran pajak tidak bermoral (Mulligan, 2012).
Dalam perencanaan pajak (tax planning), penghindaran pajak dapat dilakukan ketika wajib pajak menemukan celah-celah dalam hukum untuk memperkecil kewajiban. Praktik ini juga makin berkembang seiring dengan dinamika model bisnis, digitalisasi, dan globalisasi.
Pertanyaannya, apakah AMT benar-benar dapat diharapkan untuk mencegah atau mengurangi praktik penghindaran pajak?
Seperti diketahui, creative accounting menjadi salah satu pendukung perencanaan pajak. Hal inilah yang pada gilirannya membuat wajib pajak mampu menghindari pajak. Keberadaan celah-celah peraturan pajak yang selama ini dimanfaatkan juga merupakan faktor pendukung penghindaran pajak.
Jika pelaporan rugi fiskal itu cukup besar, potensi penerimaan negara dari kebijakan AMT juga akan besar. Selain itu, AMT diharapkan dapat memengaruhi perilaku wajib pajak untuk menjadi lebih disiplin dan berhati-hati dalam perencanaan pajak.
Pada dasarnya, perencanaan pajak juga memerlukan usaha yang besar. Selain kemampuan menghitung dengan tepat, dibutuhkan kemampuan menganalisis berbagai aturan perpajakan, termasuk konsekuensinya.
Jika sudah merencanakan pembayaran serendah mungkin, misalnya di bawah usulan tarif AMT sebesar 1% terhadap peredaran bruto, wajib pajak tersebut kemungkinan akan kembali menimbang perencanaan pajaknya.
DALAM konteks reformasi perpajakan, perlu dirumuskan pula kebijakan yang dapat membuat AMT dapat terus diaplikasikan dengan baik dan berkelanjutan. Penguatan administrasi dan pemeriksaan dapat menjadi solusi agar kebijakan AMT dapat menjadi berkelanjutan. Ada dua alasan yang menjadi dasar.
Pertama, penghindaran pajak bergerak seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan bisnis dan perpajakan. Kemampuan wajib pajak untuk mengintegrasikan keduanya juga memengaruhi tren penghindaran pajak. Skema yang diambil menguntungkan wajib pajak tapi merugikan negara.
Masalahnya, dengan keberadaan celah-celah pada hukum pajak dan creative accounting, bukan tidak mungkin akan ada skema baru perencanaan pajak. Celah skema taxability-deductibility tentunya akan berdampak pada peredaran bruto, tidak hanya pada laba bersih.
Adapun skema AMT sendiri akan dikenakan terhadap peredaran bruto. Artinya, konsep pengenaan AMT akan sangat baik jika didukung dengan instrumen pajak lain agar AMT menjadi solusi penghindaran pajak yang nyata dan kuat.
Kedua, masih kaburnya definisi penghindaraan pajak itu sendiri (Colle and Bennet, 2014) membuat wajib pajak dan otoritas pajak memiliki interpretasi yang berbeda. Kondisi ini tidak jarang memicu perselisihan atau sengketa (disputes).
Wajib pajak badan yang memiliki kemampuan penghindaran pajak tidak jarang adalah perusahaan dengan kepemilikan wilayah operasi pada yurisdiksi lain. Setiap negara bisa memiliki interpretasi yang berbeda dengan negara lain mengenai penghindaran pajak (Darussalam and Septriadi 2017).
AMT terlihat sederhana layaknya salah satu syarat kebijakan perpajakan yang baik menurut AICPA 10 Guiding Princile, simplicity (Nellen, 2002). Pengenaanya akan memudahkan administrasi karena langsung dikenakan pada peredaran bruto dengan tarif sederhana 1%.
Namun demikian, untuk mencapai tujuan kenaikan tax ratio, AMT perlu dibarengi dengan penguatan administrasi dan pemeriksaan agar dapat mengantisipasi perilaku penghindaran pajak yang tidak terduga.
Salah satu prinsip yang juga terdapat dalam AICPA 10 Guiding Principle adalah neutrality. Sebuah kebijakan yang baik tentunya akan mendorong keputusan bisnis yang termotivasi karena alasan ekonomi, bukan hanya karena pertimbangan pajak.
Hal tersebut makin memperkuat alasan perlunya penguatan administrasi dan pemeriksaan pajak. Penguatan yang dimaksud juga diharapkan dapat menjaga stabilitas dari penerimaan negara melalui AMT.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.