TEKANAN ekonomi yang menerpa Indonesia dalam 6 tahun terakhir ini telah sedemikian rupa memaksa pemerintah memaksimalkan sumber-sumber pendapatannya. Hal tersebut dilakukan untuk menyiasati tantangan pembiayaan sekaligus keberlangsungan pembangunannya.[1]
Respons kebijakan dari sisi pendapatan yang diambil pemerintah dalam beberapa tahun terakhir juga bisa dilacak dari situasi itu. Kebijakan tax amnesty misalnya, sedikit banyak akan kehilangan legitimasi sekaligus relevansi jika dieksekusi dalam situasi ekonomi dan kinerja penerimaan yang terakselerasi.[2]
Begitu pula dengan kebijakan seperti pembebasan sanksi denda pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor yang diterapkan oleh nyaris seluruh pemerintah daerah di Indonesia, beriring dengan program ekstensifikasi dan intensifikasi yang kian marak dalam 2 tahun ini.[3]
Keinginan daerah untuk mendapatkan dana bagi hasil pajak yang lebih besar juga bisa diteropong dari perspektif ini. Uji materi UU Pajak Penghasilan (PPh) yang diajukan sejumlah kepala daerah beberapa waktu lalu misalnya, jelas ditujukan untuk memperbesar jatah dana bagi hasil tersebut.[4]
Inisiatif lain seperti yang baru-baru ini ditunjukkan Pemkab Bandung, yaitu dengan melakukan aksi penyisiran (sweeping) Nomor Pokok Wajib Pajak ke sejumlah pabrik di wilayah Kabupaten Bandung—yang bahkan dipimpin langsung bupatinya sendiri—juga termasuk dalam kategori itu.[5]
Akan tetapi, pada saat yang sama tidak ada satupun pemerintah daerah yang terlihat nyata bersikap agresif menyosialisasikan program tax amnesty. Bahkan kalau boleh dikatakan, dukungan dan peran pemerintah daerah dalam program tersebut secara umum hanya sebatas seremonial belaka.
Sekadar ilustrasi, nyaris tidak ada spanduk atau baliho amnesti pajak yang dibuat atas dasar inisiatif pemerintah daerah. Kalaupun ada, itu lebih karena ada gambar besar kepala daerahnya. Spanduk atau baliho sosialisasi program amnesti pajak selalu datang dari DJP, perbankan, atau konsultan.
Reformasi Pajak & Desentralisasi
PADA umumnya, pemberian tax amnesty memiliki empat tujuan pokok. Keempat tujuan itu adalah meningkatkan penerimaan pajak dalam jangka pendek, meningkatkan kepatuhan pajak pada masa akan datang, mendorong repatriasi modal atau aset, dan transisi ke sistem perpajakan yang baru.
Hingga kini, sudah 31 negara menjalankan tax amnesty (Dubin, Graetz, Wide, 1992; Alm, 1998; Baer & Le Borgne, 2008; Malherbe, 2011, dalam Darussalam, 2016). Bahkan Amerika Serikat, dari 50 negara bagiannya, 45 di antaranya pernah menerapkan tax amnesty. Sebagian berhasil, sebagian tidak.
Tax amnesty dipandang sebagai jalan keluar bagi wajib pajak yang selama ini belum patuh untuk jadi patuh. Dengan tax amnesty, WP tidak patuh bersama dengan WP patuh akan dikenakan pajak secara adil, sehingga meningkatkan penerimaan pajak. (Jacques Malherbe, 2010 dalam Darussalam, 2016).
Lebih dari itu, dan hampir semua referensi menyebutkan, amnesti pajak bukan sekadar program pengampunan pajak yang dapat mendulang tambahan penerimaan perpajakan. Ia adalah juga momentum untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak, sekaligus melakukan perluasan basis pajak.
Dengan momentum itulah, amnesti pajak dapat berperan sebagai jembatan menuju praktik dan administrasi perpajakan yang lebih baik. Atau dengan kata lain, momentum amnesti pajak tidak boleh berhenti. Ia adalah bagian awal dari program reformasi pajak yang harus terus dilanjutkan.
Dengan reformasi pajak itu diharapkan dapat tercapai penerimaan perpajakan yang berkelanjutan. Apabila ini terjadi, maka bukan hanya pemerintah pusat yang mendapatkan manfaatnya, tetapi juga pemerintah daerah karena dalam penerimaan itu ada hak daerah melalui mekanisme bagi hasil.
Mekanisme bagi hasil pajak sendiri adalah konsekuensi dari amanat desentralisasi fiskal. Melalui mekanisme tersebut, pemerintah pusat melakukan transfer sumber daya sekaligus memperkuat otonomi dan kekuasaan fiskal daerah guna meningkatkan layanan publiknya.
Karena itu, desentralisasi fiskal selain berkaitan dengan penentuan sumber-sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri, juga terkait dengan persoalan distribusi penerimaan dan pajak serta tanggunggjawab pembiayaan serta otonomi. (Rosdiana & Inayati, 2012)
Dalam konteks tersebut, maka paling tidak ada dua persoalan yang dapat diidentifikasikan. Pertama, mengapa partisipasi pemerintah daerah dalam program amnesti pajak sangat minim meskipun ada manfaat yang bisa diperoleh. Kedua, apa yang harus dilakukan untuk meningkatkan partisipasi itu.
Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu diidentifikasi sekaligus dianalisis ada tidaknya insentif atau disinsentif langsung yang dirasakan pemerintah daerah dalam program tax amnesty, dan menganalisis bagaimana pemerintah daerah mengakomodasi program amnesti pajak inisiatif pemerintah pusat.
Identifikasi tersebut diharapkan dapat menjadi bahan masukan baik bagi pemerintah pusat maupun daerah dalam menyikapi program amnesti pajak, sekaligus untuk memanfaatkannya sebagai momentum, atau lebih tepat sebagai jembatan emas, guna memperbaiki praktik dan administrasi perpajakan.
Hal tersebut semakin relevan, karena program amnesti pajak masih belum berakhir. Masih ada putaran terakhir yang dimulai awal Januari hingga akhir Maret 2017. Dengan kata lain, masih terbuka kesempatan bagi pemerintah pusat untuk bersama-sama pemerintah daerah memaksimalkan capaian program tax amnesty.
Objek Pajak
UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan telah menjamin bahwa pemerintah daerah mendapatkan jatah 20% dari penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh orang pribadi dalam negeri, yaitu PPh Pasal 25 dan PPH Pasal 29.[6]
Ketentuan itu dipertegas lagi oleh UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dari 20% jatah daerah tadi, 40% di antaranya dialokasikan ke provinsi dan sisanya ke kabupaten/ kota. Jatah itu disalurkan setiap 4 bulan sekali.[7]
Alokasi pembagian dana bagi hasil tersebut selanjutnya diperinci kembali melalui Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, persisnya pada Paragraf Ketiga tentang Dana Bagi Hasil PPh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.[8]
Adapun, Bab 3 tentang Subjek dan Objek Pengampunan Pajak, Pasal 3 ayat (4) UU No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak menyebutkan bahwa kewajiban perpajakan yang masuk dalam skema tax amnesty adalah PPh dan Pajak Pertambahan Nilai dan atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Masih dari pasal itu, ayat sebelumnya berbunyi, Ayat (1): “Setiap Wajib Pajak berhak mendapatkan Pengampunan Pajak.” Ayat (2): “Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Wajib Pajak melalui pengungkapan Harta yang dimilikinya dalam Surat Pernyataan.”
Dari pasal 3 itu terlihat, pembuat UU sengaja memilih untuk tidak menggunakan frasa atau kalimat yang lebih lugas seperti: “Subjek pengampunan pajak adalah...” dan “Objek pengampunan pajak adalah...”. Di pasal 1, tidak juga ada keterangan definitif tentang subjek dan objek tax amnesty, begitupun di bagian penjelasan.
Sampai di sini tentu kita akan melihat juga secara tersamar, bahwa UU Pengampunan Pajak hendak membedakan antara objek pajak tax amnesty (PPh, PPN &/ PPnBM) dan objek tax amnesty (harta). Sebab dengan cara ini, uang tebusan tax amnesty dapat keluar dari 'kantong' PPh 25 dan 29 wajib pajak orang pribadi dalam negeri (WPOPDN).
Dengan kata lain, pesan yang disampaikan secara tersamar melalui pasal 3 ini tidak lain adalah, bahwa pemerintah pusat tak akan membagi uang tebusan tax amnesty ke pemerintah daerah melalui mekanisme bagi hasil, meski kewajiban perpajakannya atau objek pajaknya adalah PPh dengan subjek pajak orang pribadi dalam negeri.
Posisi pemerintah ini diperkuat melalui pencatatan target penerimaan uang tebusan tax amnesty dalam APBNP 2017. Alih-alih mencatatnya dalam pos penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 orang pribadi dalam negeri, setoran dana tebusan ini dicatat dalam pos penerimaan PPh nonmigas lainnya.
Pesan ini disebut tersamar, karena memang sejauh ini tidak pernah ada pernyataan terbuka dari para pejabat Kementerian Keuangan, termasuk anggota DPR, mengenai posisi ini. Pernyataan yang muncul justru pernyataan yang bertolak belakang, yang agaknya tidak cukup kredibel untuk mewakili institusi. [9]
Posisi tersebut sekaligus mengindikasikanbahwa pemerintah pusat sejak awal memang tidak menjadikan pemerintah daerah sebagai stakeholder inti yang berkepentingan langsung dengan program tax amnesty, karena memang tidak ada insentif langsung yang dirasakan oleh pemerintah daerah.
Situasi ini pada gilirannya menjelaskan kenapa mayoritas pengambil kebijakan di daerah tidak agresif dalam menyosialisasikan tax amnesty. Dalam situasi tersebut, respons yang muncul akhirnya sekadar berupa kepantasan umum birokrasi yang ditunjukkan dengan seremoni-seremoni.
Bentuk akomodasi seperti itulah yang terlihat diberikan pemerintah daerah dalam program tax amnesty. Paling jauh, kepala daerah mengeluarkan surat edaran berupa imbauan kepada aparatnya untuk menyukseskan program tax amnesty, antara lain juga dengan mengikuti program tersebut.
Dalam situasi ini, maka dibutuhkan upaya sensemaking dan dialog yang lebih intensif antara pejabat pemerintah pusat dan para pemimpin daerah. Tujuannya untuk memberikan pemahaman bahwa pemerintah daerah tetap mendapat keuntungan dan manfaat nyata dari tax amnesty, meski tidak ada sistem bagi hasil.
Pemerintah pusat harus dapat meyakinkan pemimpin daerah, bahwa manfaat dari program tax amnesty yang akan diperoleh daerah adalah manfaat tidak langsung, tetapi tetap merupakan manfaat yang nyata, yang memengaruhi situasi perekonomian nasional dan daerah secara keseluruhan.
Sensemaking guna meyakinkan daerah ini tentu tidak sekuat apabila daerah langsung mendapatkan dana bagi hasil uang tebusan. Maklum, sampai 15 Desember 2016, dari total setoran uang tebusan yang masuk, sekitar Rp85 triliun di antaranya bersumber dari orang pribadi dalam negeri. Jika ada mekanisme bagi hasil, maka akan ada Rp17 triliun uang yang mengalir ke daerah.
Tapi setidaknya, upaya sensemaking dan dialog yang kuat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah itu akan sangat membantu dalam membuat kesalingpengertian antara pusat dan daerah untuk bekerja sama lebih erat dalam menuntaskan agenda reformasi pajak pasca tax amnesty.*
[1] Pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2015 terlempar ke 4,79%, terendah dalam 6 tahun (https://www.bps.go.id/Brs/view/id/1267). Pada tahun yang sama, realisasi defisit APBN Perubahan 2015 melejit hingga 2,58% terhadap produk domestik bruto, tertinggi dalam 14 tahun (http://www.bpk.go.id/assets/files/lkpp/2015/lkpp_2015_1465543119.pdf).
[2] Relevansi antara tekanan ekonomi dan amnesti pajak ditunjukkan oleh kalimat pertama bagian Penjelasan UU No. 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak: “Pertumbuhan ekonomi nasional dalam beberapa tahun terakhir cenderung mengalami perlambatan yang berdampak pada turunnya penerimaan pajak dan juga telah mengurangi ketersediaan likuiditas dalam negeri yang sangat diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.” Relevansi keduanya juga terefleksikan melalui Pasal 2 ayat (2) huruf a dan c: “Pengampunan Pajak bertujuan untuk.. a) mempercepat pertumbuhan dan restrukturisasi ekonomi melalui pengalihan Harta, yang antara lain akan berdampak terhadap peningkatan likuiditas domestik, perbaikan nilai tukar Rupiah, penurunan suku bunga, dan peningkatan investasi; c) meningkatkan penerimaan pajak, yang antara lain akan digunakan untuk pembiayaan pembangunan.”
[3] Situasi ini juga menjelaskan agresifnya pemerintah daerah dalam merevisi perda pajak dan retribusi daerahnya untuk kepentingan ekstensifikasi dan intensifikasi itu. Dari hasil revisi itu pula muncul beberapa jenis pajak dan retribusi yang sebelumnya tidak digarap, atau yang sebelumnya sudah digarap tetapi diperbaiki, hingga sebagian di antaranya bahkan dinilai menghambat investasi. (http://www.antaranews.com/berita/552729/mendagri-ada-3226-perda-yang-hambat-investasi)
[4] Uji materi ini diajukan oleh Zulkifli Muhadli (Sumbawa Barat), Abdul Muis (Mimika), Willy M. Yoseph (Murung Raya), Hein Nomotomo (Halmahera Utara), dan Anwar Hafid (Morowali) ke Mahkamah Konstitusi pada 19 Juli 2011. Mereka meminta frasa ‘orang pribadi’ dalam Pasal 31C UU No. 36 Tahun 2008 dihapus karena bertentangan dengan Pasal 18A ayat (2) dan Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945. Dalam amar putusannya, Mahkamah menolak permohonan uji materi ini untuk seluruhnya. Pasal 18A ayat (2) UUD 1945: “Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.” Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945: “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
[5] Penyisiran NPWP ini dilakukan karena sebagian besar karyawan di pabrik-pabrik itu memiliki NPWP DKI Jakarta, bukan NPWP Kabupaten Bandung sesuai dengan domisili pabrik dan KTP. Akibatnya, dana bagi hasil PPh Pasal 21 yang diterima Kabupaten Bandung tak maksimal. (http://www.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/2016/11/28/tingkatkan-pemasukan-pajak-pemkab-bandung-sisir-npwp-perusahaan-386096). Sepengetahuan penulis, inilah untuk kali pertama daerah melakukan sweeping NPWP, karena aksi ini biasanya dilakukan DJP.
[6] Pasal 31C UU No. 36 Tahun 2008: “Penerimaan negara dari Pajak Penghasilan orang pribadi dalam negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21 yang dipotong oleh pemberi kerja dibagi dengan imbangan 80% untuk Pemerintah Pusat dan 20% untuk Pemerintah Daerah tempat Wajib Pajak terdaftar.”
[7] Pasal 13 ayat (3) UU No. 33 Tahun 2004: “Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi dengan imbangan 60% untuk kabupaten/ kota dan 40% untuk provinsi.”
[8] Pasal 8 ayat (1) PP No. 55 Tahun 2005: “Penerimaan Negara dari PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 dibagikan kepada daerah sebesar 20% (dua puluh persen).” Ayat (2): “DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi dengan rincian sebagai berikut: a) 8% (delapan persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan b) 12% (dua belas persen) untuk kabupaten/ kota dalam provinsi yang bersangkutan.” Ayat (3): “DBH PPh WPOPDN dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b) dibagi dengan rincian sebagai berikut: a) 8,4% (delapan empat persepuluh persen) untuk kabupaten/ kota tempat wajib pajak terdaftar; dan b) 3,6% (tiga enam persepuluh persen) untuk seluruh kabupaten/ kota dalam provinsi yang bersangkutan dengan bagian yang sama besar.”
[9] Dalam satu acara sosialisasi tax amnesty, Kepala Kanwil DJP Banten Catur Rini Widosari mengatakan: "Buktinya, secara nasional rupiah kita sudah makin menguat. Artinya, ini akan ada pengaruhnya juga buat di daerah, terutama nantinya uang tebusan tax amnesty juga ada bagi hasil dengan pemerintah,” ungkapnya (Sindonews, 6 Oktober 2016). (http://ekbis.sindonews.com/read/1145144/33/dana-tebusan-tax-amnesty-di-banten-tembus-rp2-1-triliun-1475755647)
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.