HASIL SURVEI PAJAK KARBON

78,4% Pengisi Survei Minta Penerimaan Pajak Karbon Dipakai untuk Ini

Redaksi DDTCNews | Selasa, 19 Oktober 2021 | 16:53 WIB
78,4% Pengisi Survei Minta Penerimaan Pajak Karbon Dipakai untuk Ini

Ilustrasi. 

JAKARTA, DDTCNews – Penerimaan yang bersumber dari pajak karbon sebaiknya digunakan untuk pengembangan energi terbarukan.

Hal tersebut terlihat dari hasil survei yang dilakukan bersamaan dengan debat DDTCNews periode 23 September - 11 Oktober 2021. Seperti diberitakan sebelumnya, dari jumlah pemberi komentar tersebut, sebanyak 84% menyatakan setuju dengan adanya pengenaan pajak karbon.

Dari 239 pengisi survei tersebut, 78,4% memilih investasi pengembangan energi terbarukan atau green energy atau eco friendly sebagai pos pengalokasian penerimaan yang bersumber dari pengenaan pajak karbon. Data ini sejalan dengan beberapa komentar peserta dalam kolom debat.

Baca Juga:
Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Salah satunya adalah Wahyuni Lestari. Dia mengatakan pajak karbon yang diterima pemerintah tersebut bukan ditujukan sebagai sumber penerimaan negara yang baru. Penerimaan itu seharusnya dialokasikan untuk memitigasi beberapa dampak dari emisi karbon.

“Uang dari pajak karbon tersebut harus digunakan oleh pemerintah untuk memperbaiki kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya demi menpertahankan keberlanjutan Indonesia,” ujarnya.

Zulfahmi mengatakan salah satu aspek yang perlu diperhatikan terkait dengan pengenaan pajak karbon adalah pengalokasian penerimaannya. Hal ini serupa dengan pajak rokok yang mengalokasikan (earmark) minimal 50% dari penerimaannya untuk mendanai kesehatan masyarakat.

Baca Juga:
Apa Itu Barang Tidak Kena PPN serta PPN Tak Dipungut dan Dibebaskan?

“Hal tersebut juga harus diterapkan terhadap pajak karbon dengan penyesuaian tertentu,” kata Zulfahmi.


Seperti diketahui, dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan hanya disebutkan penerimaan dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim.

Baca Juga:
Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Katarina Ekoliawati Sinaga juga berpendapat penerimaan dari pajak karbon seharusnya untuk pembangunan ruang hijau yang berkelanjutan. Terkait dengan tarif, menurutnya, perlu dilakukan survei dan uji coba terlebih dahulu.

Dari survei tersebut, sebanyak 45,3% responden berpendapat tarif yang ideal untuk awal pengenaan pajak karbon adalah kurang dari Rp75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara. Nilai Rp75 merupakan usulan awal pemerintah dalam RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).


Baca Juga:
Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Annisa Diah Hapsari tidak mempermasalahkan tarifnya dimulai level yang rendah terlebih dahulu. Kenaikan secara bertahap dapat ditempuh sembari melakukan evaluasi pada berbagai aspek kebijakan pajak karbon.

Salomo Depy meminta pemerintah untuk memikirkan tarif ideal pada awal pengenaan pajak karbon. Besaran tarif harus mempertimbangkan aspek peningkatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan kemiskinan, dan kelestarian lingkungan.

Sebagai informasi kembali, Ketentuan pajak karbon akan dimulai pada 1 April 2020 dengan pengenaan pertama terhadap badan PLTU batu bara dengan tarif Rp30 per per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara.

Baca Juga:
Pemda Adakan Pengadaan Lahan, Fiskus Beberkan Aspek Perpajakannya

Terkait dengan dasar pengenaan pajak (DPP), sebanyak 74,1% responden memilih emisi karbon yang dikeluarkan. Selain itu, sebanyak 14,4% responden memilih input bahan bakar fosil sebagai DPP untuk pajak karbon.


Dalam UU HPP disebutkan ketentuan mengenai DPP diatur dengan peraturan menteri keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR. Simak, Ini Skema Pengenaan Pajak Karbon dalam UU HPP. (kaw)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

BERITA PILIHAN
Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:30 WIB THAILAND

Negara Tetangga Ini Bakal Bebaskan Hutan Mangrove dari Pajak

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:00 WIB LAYANAN PAJAK

Kantor Pajak Telepon 141.370 WP Sepanjang 2023, Kamu Termasuk?

Rabu, 25 Desember 2024 | 08:30 WIB KPP PRATAMA BADUNG SELATAN

Kantor Pajak Minta WP Tenang Kalau Didatangi Petugas, Ini Alasannya