PEMBERLAKUAN tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 11% menjadi salah satu topik yang hangat diperbincangkan publik. Kenaikan sejumlah harga komoditas sempat memunculkan pertanyaan perlu atau tidaknya penerapan tarif PPN 11%.
Maklum, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 20211 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), tarif PPN 11% berlaku mulai 1 April 2022. Sejumlah pihak mengkhawatirkan kenaikan tarif PPN dapat memicu inflasi dan menurunkan daya beli masyarakat.
Di sisi lain, optimisme Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengimbangi kekhawatiran publik. Haryadi meyakini pemerintah sudah memiliki hitungan tersendiri untuk menjaga inflasi dan meningkatkan daya beli ketika tarif PPN 11% resmi berlaku.
UU HPP disusun dengan menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dalam upaya peningkatan kesejahteraan, keadilan, dan pembangunan sosial. UU HPP juga hadir untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan ekonomi.
Bagaimanapun, strategi konsolidasi fiskal sangatlah diperlukan. Strategi ini berfokus pada perbaikan defisit anggaran dan peningkatan rasio pajak, antara lain melalui penerapan kebijakan peningkatan kinerja penerimaan pajak.
Mewakili pemerintah, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan kenaikan tarif PPN bertujuan menghadirkan rezim pajak yang adil dan kuat. Penyehatan APBN menjadi fokus utama pemerintah demi mengembalikan defisit APBN ke level 3% pada 2023.
Sri Mulyani menyampaikan dengan adanya kenaikan, tarif PPN Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara lain. Hal ini tentunya dipengaruhi oleh posisi Indonesia dan sejumlah negara lainnya yang masih berkutat dalam pemulihan ekonomi pascapandemi.
“Kalau kita lihat, dibandingkan banyak negara-negara di G-20, (maupun) di OECD, maka kita melihat bahwa PPN rata-rata di negara tersebut sekitar 15%, 15,5% bahkan," jelas Sri Mulyani, Rabu (23/3/2022).
Hal yang luput dari pembahasan publik adalah UU HPP mengatur sejumlah barang dan/atau jasa yang pajak terutangnya tidak dipungut sebagian atau seluruhnya. Ada pula barang dan/atau jasa yang dibebaskan dari pengenaan pajak, baik sementara waktu maupun selamanya, melalui beleid turunan.
Penerapannya selaras dengan upaya pemerintah dalam mendukung tersedianya barang dan jasa tertentu yang bersifat strategis dalam rangka pembangunan nasional. Antara lain mencakup barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan lain-lain.
Selanjutnya, dalam rangka memacu ekspor, tarif PPN 0% pada ekspor barang kena pajak berwujud, ekspor barang kena pajak tidak berwujud, dan ekspor jasa kena pajak masih berlaku.
Di samping itu, kemudahan dalam pemungutan PPN juga akan diberikan kepada jenis barang atau jasa tertentu atau sektor usaha tertentu melalui penerapan tarif PPN final. Penerapan skema ini melalui pengenaan tarif misalnya 1%, 2%, atau 3% dari peredaran usaha.
"Oleh karena itu, sebuah rezim pajak yang kuat adalah untuk menjaga Indonesia, bukan untuk menyusahkan rakyat," pungkas Menkeu Sri Mulyani.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Yang dimaksud dibebaskan dan tidak di pungut maksud bgmn ya? contoh produk beras, apakah tetap menerbitkan faktur pajak?