RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Reklasifikasi Biaya Pemasaran Jadi Dividen Terselubung

Hamida Amri Safarina | Selasa, 27 April 2021 | 13:45 WIB
Sengketa Reklasifikasi Biaya Pemasaran Jadi Dividen Terselubung

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum sengketa terkait dengan reklasifikasi biaya pemasaran dan rabat menjadi dividen terselubung. Perlu dipahami, dalam perkara ini, wajib pajak melakukan transaksi terkait sales commision subsidy, sales commision incentive dan sales rebate dengan pihak lawan transaksi (PT X).

Menurut otoritas pajak, transaksi yang dilakukan wajib pajak dengan PT X tersebut tidak berkaitan dengan sales commision subsidy, sales commision incentive, dan sales rebate. Sebab, wajib pajak tidak dapat membuktikan transaksinya dengan PT X berdasarkan pada bukti-bukti yang valid.

Pada saat pemeriksaan, otoritas pajak menemukan fakta wajib pajak memiliki hubungan istimewa dengan PT X selaku lawan transaksinya. Merujuk pada hasil pemeriksaan tersebut, otoritas pajak memutuskan untuk melakukan reklasifikasi objek PPh Pasal 23 atas sales commision subsidy, sales commision incentive, dan sales rebate tersebut menjadi dividen terselubung.

Baca Juga:
Sengketa Yuridis Pengenaan PPN atas Jasa Kecantikan

Sebaliknya, wajib pajak menyatakan transaksi yang dilakukannya dengan PT berkaitan dengan sales commision subsidy, sales commision incentive, dan sales rebate. Selain itu, wajib pajak juga menegaskan pihaknya tidak memiliki hubungan istimewa dengan PT X. Dengan demikian, koreksi yang dilakukan otoritas pajak tidak dapat dibenarkan sehingga harus ditolak.

Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Selanjutnya, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan otoritas pajak.

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau di sini.

Baca Juga:
Maret 2024: Pemerintah Rilis Ketentuan Baru terkait Akuntansi Koperasi

Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Dalam hal ini, Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah melakukan penghitungan ulang DPP PPh Pasal 23 atas sales commision subsidy, sales commision incentive, dan sales rebate.

Adapun biaya-biaya tersebut digolongkan sebagai biaya jasa perantara sesuai Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-70/PJ/2007 dengan tarif sebesar 4,5%. Berdasarkan pada penghitungan ulang tersebut, Majelis Hakim memutuskan untuk tidak mempertahankan sebagian koreksi PPh Pasal 23 atas sales commision subsidy, sales commision incentive, dan sales rebate.

Atas permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 53850/PP/M.VA/12/2014 tertanggal 2 Juli 2014, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 15 Oktober 2014.

Baca Juga:
Banyak Sengketa Pilkada, Uji Materiil UU KUP-Pengadilan Pajak Tertunda

Pokok sengketa dalam perkara a quo adalah koreksi dasar pengenaan pajak (DPP) PPh Pasal 23 yang terutang pada masa pajak Januari sampai dengan September 2007 yang tidak dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Adapun koreksi DPP PPh Pasal 23 tersebut meliputi sales commision subsidy senilai Rp294.422.669, sales commision incentive senilai Rp30.305.803, dan sales rabate senilai Rp80.803.897.

Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum dan putusan Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Perlu dipahami, dalam perkara ini, Termohon PK melakukan transaksi dengan PT X. Menurut Pemohon PK, transaksi yang dilakukan Termohon PK dengan PT X tersebut tidak berkaitan dengan sales commision subsidy, sales commision incentive, dan sales rebate.

Hal tersebut dikarenakan Termohon PK tidak dapat membuktikan transaksi tersebut berdasarkan pada bukti-bukti yang valid. Dalam proses pemeriksaan, Pemohon PK telah mengirimkan permintaan buku, catatan, dan dokumen untuk proses pembuktian. Namun, Termohon PK tidak memberikan seluruh data-data yang diminta tersebut.

Baca Juga:
Sengketa atas Koreksi DPP PPN yang Kurang Dibayar

Termohon PK hanya memberikan akta pendirian, daftar distributor, dan laporan yang sudah di audit. Termohon PK tidak pernah memberikan rekapan, rincian, penjelasan terkait data, bukti, dan dokumen pendukung sehingga tidak dapat ditelaah lebih jauh lagi rincian atas jenis biaya dalam objek PPh Pasal 23 yang menjadi sengketa.

Selanjutnya, penggolongan biaya sales commision subsidy, sales commision incentive, dan sales rebate menjadi jasa perantara juga tidak tepat. Pemohon PK menganggap Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak meneliti jauh mengenai biaya-biaya tersebut.

Pada saat pemeriksaan, Pemohon PK menemukan fakta Termohon PK memiliki hubungan istimewa dengan PT X selaku lawan transaksinya. Merujuk pada hasil pemeriksaan tersebut, Pemohon PK memutuskan untuk melakukan reklasifikasi objek PPh Pasal 23 atas sales commision subsidy, sales commision incentive, dan sales rebate tersebut menjadi dividen terselubung. Terhadap dividen tersebut dikenakan tarif PPh Pasal 23 sebesar 15% sesuai dengan ketetuan Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UU PPh.

Baca Juga:
Begini Perlakuan PPh bagi Lessor Atas Kegiatan Leasing

Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan koreksi yang dilakukan Pemohon PK. Menurut Termohon PK, transaksi yang dilakukannya dengan PT berkaitan dengan sales commision subsidy, sales commision incentive, dan sales rebate. Selain itu, Termohon PK juga menegaskan pihaknya tidak memiliki hubungan istimewa dengan PT.

Pernyataan Termohon PK tersebut dapat dibuktikan dengan data pemegang saham perusahaannya. Dalam data pemegang saham, tidak tercantum nama dari PT X sebagai pemegang saham. Dengan kata lain, koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak dapat dibenarkan sehingga harus ditolak.

Pertimbangan Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan sebagian permohonan banding sudah benar. Terdapat 2 pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.

Baca Juga:
Sengketa PPN atas Klaim Layanan Garansi Suku Cadang Mobil

Pertama, koreksi PPh Pasal 23 yang terutang pada masa pajak Januari sampai dengan September 2007 yang tidak dipertahankan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Adapun koreksi DPP PPh Pasal 23 tersebut meliputi sales commision subsidy senilai Rp294.422.669, sales commision incentive senilai Rp30.305.803, dan sales rabate senilai Rp80.803.897.

Setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil para pihak, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta dan melemahkan bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Kedua, dalam perkara ini, Termohon PK terbukti tidak memiliki hubungan istimewa dengan PT X. Dengan kata lain, pembayaran yang dilakukan Termohon PK kepada PT X bukan merupakan dividen terselubung, melainkan sales commision subsidy, sales commision incentive, dan sales rebate. Oleh karena itu, koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak dapat dibenarkan.

Berdasarkan pada pertimbangan di atas, Mahkamah Agung menyimpulkan alasan-alasan permohonan PK tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. (kaw)

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

20 Mei 2021 | 23:36 WIB

pointview.. bhw incentive sales atau komisi sudah menjadi kelaziman dlm dunia usaha. namun klo diberikan kpd penjaja..(mediator) . Namun apabila di kenakan PPh23 dlm pemberian "sikom" (kita sebut) itu memang seharusnya. Namun klo yg dikoreksi jasa komisinya maka ada dua pandangan apabila PT X sbg penjaja is ok. Apabila sbg pengguna maka sbaiknya dilakukan potongan harga.. tentu dimuka transaksi. Sebaiknya terminology deviden terselubung itu apa?

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 27 Desember 2024 | 14:30 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Yuridis Pengenaan PPN atas Jasa Kecantikan

Jumat, 27 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Maret 2024: Pemerintah Rilis Ketentuan Baru terkait Akuntansi Koperasi

Selasa, 24 Desember 2024 | 11:30 WIB MAHKAMAH KONSTITUSI

Banyak Sengketa Pilkada, Uji Materiil UU KUP-Pengadilan Pajak Tertunda

Jumat, 20 Desember 2024 | 19:00 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa atas Koreksi DPP PPN yang Kurang Dibayar

BERITA PILIHAN
Jumat, 27 Desember 2024 | 16:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Harga Tiket Turun, Jumlah Penumpang Pesawat Naik 2,6 Persen

Jumat, 27 Desember 2024 | 15:30 WIB LAPORAN TAHUNAN DJP 2023

Rata-Rata Waktu Penyelesaian Pengaduan Perpajakan di DJP Capai 9 Hari

Jumat, 27 Desember 2024 | 15:15 WIB KONSULTASI PAJAK

Pedagang Gunakan QRIS untuk Pembayaran, Konsumen Bayar PPN 12 Persen?

Jumat, 27 Desember 2024 | 15:00 WIB KAMUS KEPABEANAN

Apa Itu Pembukuan dalam bidang Kepabeanan?

Jumat, 27 Desember 2024 | 14:30 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Yuridis Pengenaan PPN atas Jasa Kecantikan

Jumat, 27 Desember 2024 | 14:00 WIB KELAS PPN

Konsep PPN, Deviasi, dan Isu Kenaikan PPN 12%

Jumat, 27 Desember 2024 | 13:30 WIB UU HKPD

Berlaku Mulai 5 Januari 2025, Begini Penghitungan Opsen Pajak

Jumat, 27 Desember 2024 | 12:30 WIB LAPORAN BELANJA PERPAJAKAN

Masih Ada Fasilitas Kepabeanan Tak Dimanfaatkan, DJBC Beri Penjelasan

Jumat, 27 Desember 2024 | 12:00 WIB PMK 81/2024

Catat! Dokumen WP Badan Era Coretax Diteken Pakai Sertel Pengurus

Jumat, 27 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 168/2023

Penghitungan PPh 21 Pegawai Tidak Tetap untuk Masa Pajak Desember