LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2024

Menggagas Pengenaan Pajak Siswa Sekolah Swasta Unggulan

Redaksi DDTCNews | Rabu, 02 Oktober 2024 | 15:38 WIB
Menggagas Pengenaan Pajak Siswa Sekolah Swasta Unggulan

Agung Novianto Margarena,
Kabupaten Boyolali - Jawa Tengah

FENOMENA banyaknya orang tua, termasuk aparatur sipil negara (ASN), yang lebih memilih menyekolahkan anaknya di sekolah swasta unggulan menjadi fokus dunia pendidikan saat ini. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat selama periode 2016-2022, terjadi penurunan sekitar 2,06 juta siswa di Sekolah Dasar (SD) negeri. Selain itu, jumlah SD negeri juga menyusut sebanyak 1.980 sekolah.

Padahal, pada periode yang sama, jumlah anak usia 5-14 tahun justru meningkat 1,8 juta. Angka partisipasi sekolah juga naik tipis dari 99,09% menjadi 99,10%. Kondisi tersebut pada akhirnya menjadi makin paradoksal mengingat anggaran pendidikan sebagai mandatory spending sudah mencapai 20% dari total APBN.

Penyusutan jumlah sekolah negeri yang mengalami penggabungan (merger) atau bahkan penutupan ini disinyalir sebagai dampak dari tersedotnya siswa sekolah negeri ke sekolah swasta unggulan. Dugaan utama penyebabnya adalah makin menurunnya kualitas pendidikan di sekolah negeri yang tidak lagi mampu bersaing dengan sekolah swasta.

Faktor lain yang diduga menjadi penyebab adalah rendahnya kesadaran orang tua siswa dalam memajukan sekolah negeri. Bahkan, hal ini juga dialami oleh orang tua yang berprofesi sebagai ASN, rata-rata dari mereka menyekolahkan anak ke sekolah swasta unggulan.

Situasi ini menjadi masalah serius bagi pemerintah jika tidak segera ditangani. Ada risiko implikasinya pada penurunan fungsi dan peran sekolah negeri sebagai penyedia pendidikan bagi semua lapisan masyarakat. Diperlukan analisis mendalam terhadap faktor-faktor tersebut untuk merumuskan solusi yang tepat dalam mengatasi permasalahan ini.

Identifikasi Kebutuhan

PEMERINTAH sebaiknya meningkatkan kualitas sekolah negeri dengan mengidentifikasi kebutuhan orang tua siswa secara menyeluruh. Banyak orang tua, yang karena pekerjaan harus pulang sore atau larut malam, cenderung mencari sekolah dengan durasi belajar lebih panjang, pendidikan agama yang baik, serta fasilitas dan layanan yang memadai.

Bagi banyak dari orang tua, biaya yang harus dikeluarkan bukan menjadi masalah utama dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan kata lain, faktor finansial bukanlah penghalang. Fenomena boarding school yang makin diminati dibandingkan dengan sekolah negeri juga ditengarai muncul karena faktor-faktor tersebut.

Atas situasi tersebut, pemerintah dapat mempertimbangkan untuk menggunakan instrumen pajak sebagai sarana untuk meningkatkan kesadaran orang tua agar turut berpartisipasi dalam memajukan sekolah negeri. Salah satu ide yang bisa diterapkan adalah pengenaan pajak siswa sekolah swasta unggulan (PS3U).

Pajak itu bisa dipungut dari orang tua yang memilih menyekolahkan anak mereka di sekolah swasta dengan biaya tinggi. Hal ini tidak hanya berpotensi menambah penerimaan negara, tetapi juga memberikan insentif bagi orang tua untuk mempertimbangkan kembali pilihan mereka dalam menyekolahkan anak di sekolah negeri.

Seperti diketahui, selain fungsi budgetair, pajak juga memiliki fungsi regulerend. Artinya, selain untuk pemasukan kas negara, pajak juga digunakan untuk mencapai sesuatu yang dicita-citakan oleh pemerintah terhadap keadaan di dalam negaranya (Darussalam, Septriadi, Marhani, 2024).

Dalam konteks ini, PS3U bisa menjadi wujud fungsi regulerend dari pajak, yakni untuk mengembalikan minat orang tua terhadap sekolah negeri, sekaligus menekan kecenderungan beralihnya siswa ke sekolah swasta. Sebagaimana dalam banyak studi kebijakan publik, pajak sering kali digunakan sebagai instrumen untuk memengaruhi perilaku ekonomi dan sosial masyarakat.

Objek Pajak Baru

PELUANG PS3U sebagai objek pajak baru makin relevan dengan meningkatnya jumlah sekolah swasta unggulan di Indonesia. Menurut data BPS, SD swasta tumbuh sebanyak 3.452 sekolah dengan penambahan 520.000 siswa pada 2022. Jika melihat tren ini, pemerintah dapat memanfaatkan PS3U sebagai instrumen pajak untuk redistribusi pendapatan.

Namun demikian, pengenaan pajak di lingkup pendidikan perlu memperhatikan regulasi yang ada. Pajak ini seperti tambahan atas pajak penghasilan (PPh) karena kemampuan menyekolahkan anak di sekolah swasta unggalan yang berbiaya mahal. PS3U harus dirumuskan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan ketidakadilan.

Ada beberapa variabel yang perlu dipertimbangkan dalam menentukan dasar pengenaan pajak. Tidak semua siswa yang bersekolah di swasta unggulan akan dikenai pajak. Diperlukan penetapan kriteria tertentu sebagai acuan pengenaan pajak tersebut.

Pertama, batas standar minimal penghasilan total orang tua siswa yang bisa dikenai PS3U. Kedua, besaran minimal uang pangkal atau sumbangan pembinaan pendidikan (SPP). Ketiga, akreditasi sekolah masuk status sekolah swasta unggulan. Pengenaan pajak dilakukan terhadap siswa yang memenuhi kriteria, dengan mengalikan koefisien persentase pajak terhadap penghasilan total orang tua siswa.

Dengan PS3U, tren penggabungan atau penutupan sekolah negeri yang terus terjadi dapat diatasi. Pemerintah juga mendapatkan sumber penerimaan pajak baru yang mungkin belum terpikirkan sebelumnya. Dana yang dihasilkan dari pajak ini dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas sekolah negeri, baik dari sisi fasilitas, layanan, maupun mutu pengajaran sesuai kebutuhan orang tua.

Namun, muncul pertanyaan baru jika sekolah negeri kembali seperti semula, apakah anggaran pendidikan sebesar 20% mampu menanggung beban tambahan? Beban ini mencakup potensi siswa dari sekolah swasta unggulan yang beralih ke sekolah negeri.

Terlebih lagi, dalam era presiden terpilih Prabowo Subianto, anggaran pendidikan akan ditambah dengan program makan bergizi gratis yang juga bertujuan untuk menarik minat orang tua menyekolahkan anaknya di sekolah negeri.

Dengan misi yang sama untuk meningkatkan kualitas sekolah negeri, konsep pajak baru ini diharapkan memiliki daya tawar yang lebih kuat untuk direalisasikan. Apalagi, jika kita mengacu pada Pasal 31 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar yang dibiayai oleh pemerintah.

Peluang penerapan pajak ini sebagai sumber pendapatan baru memang berpotensi menimbulkan pro-kontra yang lebih besar dibandingkan dengan kebijakan pajak lainnya, seperti pajak karbon, kendaraan listrik, kripto, atau pajak warisan yang saat ini lebih populer. Meski begitu, gelombang merger sekolah negeri yang sedang berlangsung bisa diatasi dengan adanya konsep pajak ini.

Persepsi masyarakat bahwa sekolah negeri hanya untuk kalangan menengah ke bawah dan kualitasnya seadanya harus mulai diubah. Di sisi lain, pemberlakuan pajak ini memerlukan kajian mendalam dengan melibatkan berbagai pihak agar dapat meminimalisasi potensi gesekan di masyarakat pada kemudian hari.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

Manba'ur Rosyidah 07 Oktober 2024 | 10:39 WIB

Ini merupakan fenomena yang banyak terjadi disekitar saya, memang sudah perlu adanya kajian dalam masalah ini. Menarik sekali idenya

Muhamad Fatoni 07 Oktober 2024 | 10:36 WIB

Ide menarik, namun perlu adanya kajian bersama tentang revolusi ini.

Hai herlina 07 Oktober 2024 | 10:32 WIB

Menuju Indonesia Emas 2045, harus dimulai dari sektor pendidikan yang berbenah. Semoga dapat terealisasi ide cemerlang ini.

WAWAN HIDAYAT 07 Oktober 2024 | 10:29 WIB

gagasan yang sangat anti mainstream. Semoga Indonesia melihat ini

Charenia Azahra 07 Oktober 2024 | 10:25 WIB

Sangat menarik idenya, semoga dapat terealisasi pada pemerintahan selanjutnya.

Margono 07 Oktober 2024 | 09:14 WIB

Sangat realistis untuk menyelesaikan masalah tsunami mergerisasi sekolah dan juga sekaligus mendapatkan impact penerimaan pajak

Mustika Hidayat 07 Oktober 2024 | 07:23 WIB

Sangat bagus. Smoga terealisasi.

Irfan Akhmad Khoirudin 07 Oktober 2024 | 05:03 WIB

Ide yang menarik mas agung dalam mengatasi fenomena penurunan minat ortu siswa ke sekolah negeri. Penjabaran analisanya keren Pemerintah ada opsi tambahan dalam peningkatan mutu dan kualitas pendidikan pada sekolah melalui PS3U, tentunya perlu dikaji mendalam kembali bila diterapkan dalam menjawab pro kontra ide tersebut. Semoga ada perbaikan dan perubahan positif untuk sekolah negeri khususnya yang berada di daerah.

Amanda Ditya 06 Oktober 2024 | 19:43 WIB

Gagasan bagus gung. Tapi sebelum itu sebaiknya pemerintah memikirkan upaya supaya rakyat bisa percaya terhadap pemerintah. Sudah kerja keras banting tulang bagai kuda, kepala di kaki, kaki di kepala sudah bayar pajak, tapi pajak tidak dikelola dengan efisien.

ananing pangestuti 05 Oktober 2024 | 21:29 WIB

ide bagus untuk pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia ya. berdoa aja supaya yang mengelola uang negara jujur dan gak korup, kan apalagi tujuannya untuk pendidikan. Masa dijajah bangsa sendiri lagi. SDM kita sudah saatnya maju. Hebat sekali analisanya mendalam!

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

BERITA PILIHAN