Petrus Sanga Lewar
, Wonosobo, Jawa TengahKEPUTUSAN Presiden Nomor 12 Tahun 2020 menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional nonalam karena dampaknya yang luar biasa terhadap kehidupan manusia di berbagai bidang seperti kesehatan, ekonomi, pendidikan, sosial, budaya, dan politik.
Dalam status tersebut, mau tidak mau manusia Indonesia dan kehidupannya dipaksa masuk ke dalam suasana restriktif, antara lain dengan adanya kebijakan seperti menjaga jarak (social distancing), cuci tangan, memakai masker, dan bekerja/belajar dari rumah (learn/work from home).
Tanpa mengecilkan dampak Covid-19 pada bidang lain, suasana restriktif itu akhirnya membelenggu perekonomian. Hal ini tampak dalam penurunan aktivitas ekonomi dan produktivitas pelaku ekonomi. Dengan kata lain, suasana restriktif ekonomis itu memercikkan api resesi ekonomi.
Akibatnya, ada semacam koinsidensi peristiwa, yaitu di dalam situasi resesi ekonomi yang demikian, manusia sebagai subjek ekonomi (homo economicus) terjerembab dalam situasi batas, yaitu nasib, perjuangan, penderitaan, dan kematian (Hamersma, 1985).
Manusia memang mampu menyempurnakan dirinya melalui asimilasi, pemulihan, reproduksi, dan bereaksi dalam situasi Covid-19 dan resesi. Namun, karena manusia adalah makhluk eksistensi yang koeksistensi, nasib manusia selalu ada dalam situasi bersama. Singkatnya, ada solidaritas.
Dalam konteks keterjerembapan manusia dalam nasib tadi, kehadiran negara menjadi conditio sine qua non untuk mengangkat manusia dari keterjerembapan ekonomis. Kehadiran negara itu dapat terbaca pada Perpu No. 1 Tahun 2020, PMK 23/2020 dan PMK 28/2020.
Hal ini berarti negara dan pemerintah bersolider dengan warganya yang terkungkung nasib resesi ekonomi melalui penggunaan pajak untuk memitigasi dampak Covid-19 terhadap kehidupan ekonomi Indonesia.
PMK 23/2020 menyebut insentif PPh Pasal 21 ditanggung pemerintah, pembebasan PPh Pasal 22 impor, pengurangan 30% PPh Pasal 25, dan restitusi dipercepat. PMK 28/2020 menyebut PPN tidak dipungut, pembebasan PPh Pasal 22 impor, PPh Pasal 21, dan PPh Pasal 23.
Memanusiakan Manusia
DALAM kerangka kemakmuran dan kesejahteraan rakyat itulah insentif pajak bersolider memanusiakan manusia dari penderitaan. Setiap penderitaan merusak manusia sedikit demi sedikit. Penyakit, ketegangan, putus asa, dan kelaparan senantiasa destruktif.
Insentif diberikan untuk mengurangi penderitaan akibat Covid-19 dan mengangkat homo economicus untuk bangkit. Manusia dibantu menerima penderitaan sebagai perjuangan. Di sinilah letak fungsi pajak sebagai pengatur, distributor, dan stabilisator lebih menonjol dari fungsi anggaran.
Insentif pajak yang diberikan pemerintah pada hakikatnya merupakan tindakan emansipatoris atau pembebasan manusia dari situasi batas yang dialaminya akibat Covid-19. Artinya, pemerintah bersolider memanusiakan manusia Indonesia dari keterpurukan sosial ekonomi yang dideritanya.
Tindakan emansipatoris itu dimaksudkan untuk mengatasi ketidakseimbangan relasi sosial ekonomi akibat perbedaan ‘ada’ (being), ‘memiliki’ (having), dan ‘kedudukan’ (structure). Membiarkan penderitaan, penyakit, atau bencana yang sebenarnya dapat diatasi adalah sebuah kekerasan.
Pajak adalah solidaritas memanusiakan manusia. Insentif pajak menjamin keseimbangan being, having, dan structure manusia dalam pandemi. Dengan demikian terjadi transitio a minore ad majorem perfectionem atau peralihan dari yang kurang sempurna ke yang lebih sempurna.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
👍mantap
baik
mantap