Joshua Ivan Winaldy Simanungkalit
,PERBAIKAN akan angka kemiskinan di Indonesia tidak signifikan. Berdasarkan pada Sustainable Development Report 2021, estimasi persentase penduduk yang hidup di bawah ambang kemiskinan US$3,20 per hari dari 2019 sampai dengan 2021 sebesar 20,36%; 21,66%; dan 19,94%.
Angka ini dihitung dengan menggunakan perkiraan historis distribusi pendapatan, proyeksi perubahan populasi menurut usia dan pencapaian pendidikan, serta proyeksi produk domestik bruto (PDB) Indonesia.
Meskipun menunjukkan perbaikan pada 2021, kinerja rasio tersebut masih cenderung stagnan. Performa tersebut juga tidak akan cukup untuk meloloskan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) di Indonesia yang masih berada di urutan 97 dari 165 negara.
Selain itu, rasio gini di perkotaan per September 2020 sebesar 0,399, naik dari 0,391 pada periode yang sama pada tahun sebelumnya. Sementara di perdesaan, rasio gini sebesar 0,319, naik dari 0,315 pada September 2019.
Apabila rasio gini makin tinggi hingga mendekati 1, makin tinggi pula tingkat ketimpangan antara penduduk miskin dan kaya. Kinerja indikator kemiskinan dan ketimpangan berisiko makin parah saat terjadi pandemi Covid-19 yang menekan seluruh sektor, termasuk perekonomian.
Hingga pertengahan 2021, berbagai upaya dari pemerintah dan seluruh pihak terkait telah dilakukan untuk mengatasi dampak pandemi Covid-19. Salah satunya melalui program pemulihan ekonomi nasional (PEN) dalam bentuk anggaran bantuan sosial dan insentif pajak.
Insentif merupakan bentuk perwujudan dari fungsi regulerend pajak sebagai alat untuk mengelola kebijakan negara di bidang sosial dan ekonomi. Lantas, bersamaan dengan momentum reformasi perpajakan, apakah relaksasi fiskal sudah cukup untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan?
Untuk mengatasi masalah itu, terkait dengan pajak, perlu untuk melihat konsep tax morale. Berdasarkan pada publikasi OECD (2019), tax morale atau moral pajak adalah motivasi intrinsik atau internal wajib pajak untuk bersedia membayar pajak secara sukarela sebagai upaya memenuhi kewajiban perpajakannya di luar ketakutan akan hukuman atau denda.
Demikian, tax morale mampu menjadi aspek pembangun kesadaran pajak yang holistik dan penuh keyakinan dari wajib pajak. Aspek ini berperan dalam menciptakan kesukarelaan pembayaran pajak untuk membantu mengatasi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi di Indonesia.
Adapun faktor yang mempengaruhi tax morale beraneka macam seperti umur, agama, gender, kepuasan pelayanan publik, kepercayaan kepada pemerintah, dan edukasi pajak.
Berdasarkan hasil survei Internal Survey on Revenue Administration (ISORA) 2018, jalur edukasi pajak yang dilakukan di Indonesia pada 2017 hanya mencakup kegiatan tingkat sekolah. Jalur edukasi melalui seminar di universitas, pelatihan atau seminar secara daring (online), situs resmi, media sosial, dan kontak langsung dengan masyarakat tidak dilaksanakan.
Saat ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menggodok konsep edukasi perpajakan melalui strategi inklusi kesadaran pajak. Ada pembuatan kurikulum di tingkat sekolah dan universitas, literatur (buku) yang dapat diakses secara gratis pada situs resmi, pembelajaran, dan kegiatan kesiswaan.
Namun, selain tantangan jalur edukasi, ada permasalahan rendahnya tingkat literasi di Indonesia yang berada di peringkat 62 dari 70 negara di dunia berdasarkan survei Program for International Student Assessment (PISA) pada 2019.
MELIHAT kondisi tersebut, diperlukan 2 langkah kunci untuk membangun moral pajak melalui edukasi perpajakan. Pertama, pemanfaatan aplikasi compliance risk management (CRM) edukasi perpajakan secara efektif.
Pada peringatan Hari Pajak 14 Juli yang lalu, otoritas meluncurkan 6 aplikasi. Salah satunya yaitu CRM edukasi perpajakan. Aplikasi CRM edukasi perpajakan diharapkan mampu mengelola prioritas dan risiko dari wajib pajak atau masyarakat yang membutuhkan sosialisasi dan edukasi perpajakan.
DJP harus memiliki kerangka materi edukasi yang matang berdasarkan pada klasifikasi wajib pajak yang akan diedukasi sehingga internalisasi tax morale dapat tepat sasaran. Materi yang mudah dipahami, dekat dengan masyarakat dan wajib pajak, serta mampu diterima berbagai kalangan dan generasi menjadi tantangan besar dalam implementasi CRM edukasi perpajakan.
Kedua, penggunaan teknologi aplikasi daring untuk membantu tugas penyuluh pajak. Dengan makin meluasnya jaringan internet dan teknologi, batas ruang tidak lagi menjadi distorsi bagi DJP untuk melakukan sosialisasi secara daring.
Click, Call, and Counter (3C) berhasil diwujudkan DJP. Salah satunya dengan dirilisnya aplikasi M-Pajak agar wajib pajak mendapatkan pelayanan secara personal, mudah, dan cepat. Sayangnya, hingga saat ini, aplikasi M-Pajak belum memuat materi edukasi dan informasi perpajakan.
Padahal, pada saat ini, kebutuhan informasi yang besar menuntut penyuluh pajak bekerja lebih keras dan cerdas. Pengembangan aplikasi M-Pajak atau sejenisnya menjadi hal yang sangat krusial untuk memfasilitasi penyuluh pajak agar lebih gesit dalam memberikan pemahaman mengenai tax morale.
Selain insentif bagi masyarakat yang terdampak secara ekonomi, kesadaran pembayaran pajak dengan penuh kesukarelaan dari masyarakat atau dunia usaha yang diuntungkan pada masa pandemi juga krusial.
Moral pajak dapat dibangun melalui edukasi pajak yang benar, jika dan hanya jika pemerintah mampu memberikan ruang dan sarana yang tepat. Demikian, tidak hanya memulihkan ekonomi dan penerimaan negara, pajak akan mampu memunculkan rasa kepedulian untuk negeri ini.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.