Charoline Cheisviyanny
,KERUMITAN aturan perpajakan merupakan tantangan dalam pelaksanaan self-assessment sekaligus menjadi salah satu faktor penyebab rendahnya tax ratio di Indonesia. Indikator kerumitan aturan terlihat dari banyaknya produk hukum yang menimbulkan perbedaan interpretasi antara wajib pajak dan fiskus. Perbedaan interpretasi ini seolah menjadi bumerang bagi wajib pajak karena pada akhirnya merekalah pihak yang dirugikan.
Rumitnya aturan perpajakan bisa dilihat pada penerapan pajak final dan nonfinal dalam suatu transaksi, misalnya terhadap wajib pajak agen LPG 3 kg. Pengenaan pajak final dan nonfinal untuk transaksi penyerahan LPG 3 kg dari titik serah agen ke titik serah pangkalan selama ini membingungkan agen. Apakah satu objek pajak bisa dikenakan dua jenis pajak? Kalau bisa, apakah ada landasan hukumnya? Untuk lebih jelasnya, kita lihat ilustrasi perhitungan pajak terutang bagi agen LPG, sesuai dengan SK Gubernur Sumatera Barat untuk wilayah Padang, berikut ini.
Diasumsikan nilai yang dibayarkan agen kepada Pertamina, sesuai daerah operasi, adalah Rp11.550 per tabung. Lantas subsidi atau margin agen senilai Rp1.200 per tabung. Nilai inilah yang menjadi objek PPh 22 final. Kemudian, didapatkan harga di titik serah agen adalah Rp12.750 per tabung. Sesuai dengan SK Gubernur Sumatera Barat, biaya distribusi senilai Rp2.250. Angka inilah yang menjadi objek PPh tidak final sesuai dengan Pasal 17 UU PPh. Sementara itu, harga di titik serah pangkalan adalah Rp5000.
Wajib pajak cukup sering menanyakan payung hukum atas pengenaan dua jenis pajak tersebut (PPh Pasal 22 final dan PPh nonfinal sesuai dengan Pasal 17 UU PPh). Namun, account representative (AR) dari kantor pajak hanya menjelaskan bahwa kedua jenis pajak diatur dalam UU PPh. Artinya, tidak ada aturan turunan dari UU yang mengatur dengan jelas tentang pengenaan PPh atas gas melon. Hal ini berbeda dengan PPN untuk gas 3 kg yang diatur jelas melalui peraturan menteri keuangan (PMK) dan surat edaran (SE). Kendati begitu, perlu diketahui bahwa pengenaan PPN atas gas LPG 3 kg tetap saja rumit karena menggunakan DPP Nilai Lain.
Pengenaan dua jenis PPh sering kali menimbulkan permasalahan karena dalam laporan laba rugi, agen harus memisahkan objek pajak final dan tidak final. Lantas bagaimana dengan pembagian biaya? Pembagian biaya yang ideal tentu dilakukan secara proporsional. Namun, parameter proporsional ini berpeluang menjadi materi argumen antara AR dan wajib pajak.
Penulis menilai lebih baik jika biaya distribusi senilai Rp2.250, pada kasus di atas, juga dikenakan pajak final sebesar 0,3%. Pengenaan suatu jenis pajak, dalam hal ini pajak final, seperti halnya perusahaan konstruksi atau perusahaan pelayaran, akan memudahkan wajib pajak dan mengurangi potensi debat dengan fiskus.
PKP Berlaku Surut
Ada ketentuan lain yang berpotensi memunculkan perbedaan intrepretasi. Aturan pengusaha kena pajak (PKP) berlaku surut merupakan contoh perbedaan interpretasi atas aturan yang berpeluang menimbulkan rasa ketidakadilan bagi wajib pajak. Ketentuan PKP berlaku surut ini sebenarnya sudah diatur dalam Pasal 2 ayat (4) dan (4a) UU KUP s.t.d.t.d UU HPP.
Aturan PKP berlaku surut ini pernah digugat oleh seorang wajib pajak yang berdomisili di Kudus, Jawa Tengah hingga ke level kasasi. Hasilnya, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 13/PUU-XIV/2016 menolak permohonan wajib pajak. Namun, proses sengketa ini menyiratkan dua hal. Pertama, adanya ketidakpuasan wajib pajak atas aturan yang ada karena merasa diperlakukan tidak adil. Kedua, mahalnya ongkos untuk menuntut keadilan pajak.
Jika ditelaah, putusan MK tersebut menegaskan bahwa Indonesia menganut sistem self-assessment sehingga pendaftaran NPWP atau pengukuhan PKP harus datang dari inisiatif wajib pajak. Jika terlambat mendaftar NPWP atau mengukuhkan status PKP, wajib pajak dianggap lalai dan harus menerima konsekuensi untuk ditagih pajaknya maksimal 5 tahun ke belakang. Hal ini yang dirasa tidak adil oleh wajib pajak.
Menuntut Tanggung Jawab Pemerintah
Di tengah rumitnya aturan dan tuntutan self-assessment ini, sebenarnya ada syarat yang harus dipenuhi pemerintah. Idealnya, mekanisme self-assessment baru bisa dilakukan jika aturan pajak sudah jelas dan tidak menimbulkan perbedaan persepsi. Self-assessment juga bisa optimal jika edukasi dan penegakan hukum dijalankan dengan baik.
Guna memenuhi syarat tersebut, pemerintah harus memiliki basis data yang kuat. Basis data yang kuat harus diiringi dengan pemahaman tentang keadaan riil di lapangan sehingga bisa dibuat analisis yang tepat. Namun, perlu diperhatikan bahwa aturan yang terlihat sederhana di tataran pembuat kebijakan, bisa menjadi rumit saat diterapkan.
Sangat dipahami bahwa tax ratio masih menjadi tantangan bagi pemerintah. Pemerintah semestinya tidak hanya berfokus pada peningkatan tax ratio tanpa memahami kondisi riil di lapangan. Closing SP2DK tanpa pembetulan SPT, misalnya, merupakan salah satu indikator bahwa pemerintah hanya berfokus pada tax ratio. Selain itu, bisa juga fungsi edukasi yang saat ini hanya dilayani oleh bagian penyuluhan atau helpdesk tidak bisa melayani banyak wajib pajak sekaligus.
Dengan gebrakan yang tengah dilakukan Ditjen Pajak (DJP), terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan teknologi informasi dan pemanfaatan big data perpajakan, pemerintah yang akan datang diharapkan bisa secara konsisten meneruskan effort ini. Siapapun presidennya kelak diharapkan bisa mencari akar permasalahan dan menemukan solusi atas rendahnya tax ratio Indonesia.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.