Refita Putriana
,KOMPLEKSITAS pajak telah menjadi isu klasik. Lawless (2011) mengungkapkan kompleksitas pajak, diukur dari total waktu untuk memenuhi kewajiban, merupakan salah satu komponen yang masuk dalam penghitungan fixed cost perusahaan ketika mengambil keputusan investasi di negara tujuan.
Salah satu aspek yang dipandang terlalu kompleks di Indonesia adalah skema pemotongan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21. Skema pemotongan PPh Pasal 21 juga sering memunculkan permasalahan dalam praktik di lapangan.
Beberapa penelitian menunjukkan kesalahan penghitungan PPh Pasal 21 akibat perbedaan penafsiran wajib pajak terhadap ketentuan. Misal, penentuan jenis penghasilan teratur dan tidak teratur. Ada pula masalah penghitungan penghasilan untuk pegawai yang berhenti pada tengah tahun.
Teknis penghitungan PPh Pasal 21 dalam PER-16/PJ/2016 mempersyaratkan pengetahuan, keterampilan, dan kehati-hatian dari pemberi kerja selaku pemotong pajak dalam melakukan penghitungan.
Jika dibandingkan dengan jenis pajak pot/put lainnya, tingkat kerumitan penghitungan PPh Pasal 21 cukup tinggi. Misalnya, PPh Pasal 23 hanya mengalikan tarif 2% atau 15% dari penghasilan bruto. PPh Pasal 4 ayat (2) terdiri atas tarif-tarif tunggal yang langsung dikalikan dengan penghasilan bruto.
Selain itu, penghitungan PPh Pasal 21 juga masih dilakukan secara manual oleh masing-masing pemberi kerja. Kondisi tersebut meningkatkan peluang ketidaksesuaian penghitungan antara peraturan yang berlaku dan hasil kalkulasi yang dilakukan wajib pajak selaku pemotong.
Di berbagai negara, PPh pekerja dipungut melalui mekanisme pemotongan atau yang lebih dikenal sebagai Pay-As-You-Earn (PAYE). Pemotongan PPh pekerja merupakan salah satu jenis pajak yang paling mudah dikumpulkan, sekaligus berperan signifikan dalam penerimaan pajak.
Namun demikian, dalam sistem PAYE, pemberi kerja menjadi pihak yang diberikan peran tambahan menggantikan pemungutan pajak yang seharusnya dilakukan otoritas pajak. Pemberi kerja juga harus mengeluarkan biaya dalam pelaksanaannya dan menanggung risiko-risiko selaku pemotong pajak.
Heeden (1994) merekomendasikan penerapan penghitungan pajak yang sederhana dalam pemotongan atau pemungutan PPh pekerja di negara-negara berkembang dan negara-negara transisi. Tujuannya untuk memberi kemudahan pelaksanaan tugas pemotong pajak.
Konsep itu disebut oleh Heeden sebagai simple PAYE. Dengan simple PAYE, pemberi kerja hanya perlu melihat tabel yang telah disiapkan oleh otoritas pajak saat menentukan pemotongan jumlah pajak dari pekerja atau penerima penghasilan.
Tabel tersebut dapat terbagi atas berbagai macam kondisi pekerja selaku subjek pajak penerima penghasilan. Misalnya, jumlah tanggungan, status perkawinan, atau skenario lainnya. Pengurang pajak yang telah diperhitungkan dalam perumusan tabel memungkinkan pemberi kerja hanya perlu melihat nilai gaji yang dibayarkan untuk menentukan jumlah pajak.
Selain itu, tabel harus disiapkan oleh otoritas secara gratis dan dapat diakses seluruh masyarakat. Harapannya, beban pemberi kerja selaku pemotong/pemungut pajak lebih ringan. Negara-negara yang saat ini menerapkan simple PAYE antara lain Malaysia, Amerika Serikat, dan Afrika Selatan.
BERDASARKAN pada data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 66% penduduk usia produktif diserap oleh sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Besarnya serapan tenaga kerja pada UMKM itu memunculkan tantangan tersendiri. Hal ini dikarenakan pelaku UMKM umumnya diasosiasikan dengan sumber daya manusia yang berpendidikan rendah. Selain itu, dalam tata kelola usaha, belum diterapkan administrasi keuangan yang baik.
Dengan adanya dominasi UMKM dalam perekonomian Indonesia, kesederhanaan dalam sistem menyangkut pemerintahan sangat dibutuhkan. Kesederhanaan materi dan prosedur diperlukan untuk memberikan kemudahan dan dukungan dalam pengembangan perekonomian masyarakat.
Hal tersebut termasuk kemudahan dalam konteks perpajakan sehingga pelaku UMKM tidak perlu menghabiskan banyak waktu dalam menghitung, membayar, dan melapor pajak. Pelaku UMKM juga tidak harus menggunakan jasa konsultan pajak atau mengeluarkan biaya lain sehubungan dengan pemenuhan kewajiban (compliance cost).
Di sisi lain, sesuai dengan data pada laman sdm.kemenkeu.go.id, rasio fiskus Indonesia dan jumlah penduduk usia produktif adalah 1:4.000. Dengan kata lain, 1 orang pegawai pajak harus mengawasi 4.000 orang penduduk.
Berpijak dari situasi itu, kesederhanaan objek dan materi pengawasan dibutuhkan sebagai prasyarat dalam memastikan kebenaran materiel pelaporan wajib pajak. Dengan demikian, biaya administrasi (administration cost) yang dibutuhkan untuk memastikan kepatuhan dapat ditekan.
Mempertimbangkan hal-hal tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat mengadopsi pemotongan PPh Pasal 21 yang disederhanakan (simple PAYE) untuk mengurangi compliance cost dan administration cost.
Perumusan tabel pemotongan dapat mempertimbangkan pengurang-pengurang pajak yang saat ini berlaku sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengurang itu seperti penghasilan tidak kena pajak (PTKP), iuran pensiun, biaya jabatan, dan zakat.
Tabel pemotongan dapat dirancang mengakomodasi berbagai skenario. Dengan demikian, pemberi kerja dapat langsung menentukan jumlah pajak berdasarkan nilai penghasilan yang dibayarkan kepada pekerja. Melalui penerapan simple PAYE ini, pemberi kerja selaku pemotong pajak dapat memperoleh kemudahan dalam menjalankan tugas pengumpulan pajak.
* Artikel opini ini merupakan pendapat pribadi dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.