ISTILAH restrukturisasi bisnis memang belum teridentifikasi sampai saat ini. Namun, istilah ini dapat melibatkan perubahan pada aset, modal, dan manajemen yang mencakup perubahan dalam hierarki organisasi, proses, atau sumber daya manusia (SDM) pada perusahaan.
Dalam ilmu manajemen, restrukturisasi diartikan sebagai perubahan pada struktur fisik, teknologi, struktur akuntansi, organisasi, aspek demografis, dan psikologis perusahaan. Sementara itu, dalam penentuan transfer pricing, restrukturisasi bisnis dipandang sebagai reorganisasi hubungan komersial atau keuangan antara perusahaan afiliasi, termasuk negosiasi ulang terhadap pengaturan substansial yang ada dan hubungan pihak ketiga dalam keadaan tertentu.
Dalam suatu perusahaan, restrukturisasi diperlukan karena perusahaan membutuhkan penyesuaian atas perubahan lingkungan bisnis atau karena adanya suatu permasalahan yang dihadapi perusahaan. Misalnya, krisis ekonomi, munculnya pesaing baru dalam pasar, meningkatnya harga pembelian bahan baku, pelaksanaan teknisi, dan beberapa hal lain.
Salah satu perubahan lingkungan bisnis yang dewasa ini dihadapi oleh perusahaan adalah tren ekonomi digital. Munculnya tren ini tidak terlepas dari pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang meliputi pemrosesan, pengelolaan, pemindahan, dan informasi antar media komunikasi, misalnya melalui internet. Internet memperkenalkan metode komunikasi yang terbaru, mempermudah pengelolaan informasi, serta menata ulang rantai bisnis.
Dengan masuknya era industri yang terintegrasi dengan sistem Internet, hal ini ‘memaksa’ sebagian perusahaan untuk mengubah model bisnis mereka ke dalam bentuk digital. Terdapat beberapa faktor terkait transformasi teknologi yang menyebabkan restrukturisasi perusahaan, yaitu (i) lingkungan pasar, (ii) perubahan strategi, (iii) penetrasi pasar, (iv) pengembangan produk, (v) pengembangan pasar, (vi) keanekaragaman usaha, (vii) sinergi, skala ekonomi, dan efisiensi biaya, serta (viii) tenaga kerja yang terampil.
Pasal 9 dalam OECD Model Tax Convention dan Arm’s Length Principle menjadi dasar untuk evaluasi kondisi dalam restrukturisasi bisnis. Prinsipnya, kondisi restrukturisasi bisnis antara perusahaan afiliasi tidak boleh berbeda dengan perusahaan independen. Bila mengalami kondisi yang berbeda, laba yang sebelumnya diperoleh oleh salah satu pihak dapat ditambahkan kepada laba pihak yang terkena pajak dan dapat dikenai pajak.
Pengidentifikasian pada transaksi restrukturisasi relatif mudah. Namun, dilibatkannya elemen digital dalam bisnis tradisional akan menjadikan proses ini terlihat sulit. Misalnya, dalam restrukturisasi bisnis tradisional, perjanjian atas perubahan pada aset tidak berwujud harus diteliti, seperti pihak yang memegang daftar pelanggan, jalur distribusi, dan trademark.
Sementara itu, dalam ekonomi digital, para pihak yang melakukan perjanjian harus teliti mengenai informasi pihak yang melakukan kegiatan dalam proses dengan pelanggan, penyimpanan, dan pemanfaatan data pengguna, tingkat kemampuan analisis, alat yang digunakan dalam proses pengiriman, serta tenaga kerja yang terampil..
OECD dalam laporan sementara menyatakan bahwa ekonomi digital sangat bergantung pada aset tidak berwujud. Terdapat beberapa hal yang digunakan untuk mengevaluasi aset tidak berwujud dalam ekonomi digital, yaitu (i) legal ownership dan economic ownership, dan (ii) tingkat perlindungan atas IP (Intellectual Property), (iii) perumusan struktur perizinan yang baru setelah restrukturisasi dilakukan.
Kemudian (iv) adopsi metodologi penilaian untuk perpindahan IP, (v) penentuan yurisdiksi pajak apakah aset tidak berwujud digital tersebut tercatat memiliki undang-undang yang memadai untuk dikenakan pajak atas timbulnya keuntungan dari pengeksplotasian aset tidak berwujud, (vi) perubahan manfaat dari yurisdiksi pajak yang terlibat berdasarkan perusahaan yang terlibat dalam proses restruksturisasi, dan (vii) biaya transaksi.
Perbedaan lainnya antara restrukturisasi bisnis tradisional dan bisnis digital adalah dalam bisnis tradisional, persediaan dapat dianggap sebagai aset tidak berwujud yang mungkin tidak dapat diperhitungkan dalam laporan keuangan perusahaan multinasional. Sementara itu, dalam analisis transfer pricing, proses persediaan secara digital akan dievaluasi sebagai HTVI (Hard-to-Value Intangibles) karena tidak adanya kepastian atas pendekatan yang digunakan serta tidak adanya informasi akuntansi.
Setelah menetapkan modifikasi karakterisasi dan pencarian situasi bisnis yang sebanding untuk menganalisis kewajaran dari suatu transaksi, perlu dilakukan analisis kesebandingan. Analisis ini harus memberikan arti penting dalam kriteria teknologi. Dalam ekonomi digital, uji intensitas digital dapat meningkatan keandalan analisis kesebandingan. Pengujian tersebut mencakup 3 (tiga) faktor dalam mengukur tingkat digitalisasi, yaitu (i) digital asset, (ii) digital usage, (iii) digital workforce.
Implementasi bisnis model baru hasil restrukturisasi bisnis dapat mengakibatkan konsekuensi antarperusahaan afiliasi. Konsekuensi ini tentunya melibatkan penataan ulang pada fungsi, aset, dan risiko perusahaan multinasional.
Penerapan karakterisasi yang adaptif serta penggunaan uji intensitas digital sebagaimana dijelaskan di atas, dapat menjadi pertimbangan dalam melakukan analisis transfer pricing, khususnya ketika menetapkan suatu kebijakan. Namun, pembahasan ini masih membutuhkan upaya berkelanjutan untuk mengadopsi suatu pola baru terkait isu sengketa transfer pricing di masa datang.*
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.