Nanda Alfiyandi
, Jatinegara, Jakarta TimurJUMLAH pengguna Internet di Indonesia pada 2019 mencapai 171,17 juta jiwa atau setara dengan 64,8% penduduk (APJII, 2020). Dengan jumlah sebanyak itu, Indonesia berpotensi jadi negara dengan ekonomi digital terbesar di dunia.
Riset Google, Temasek dan Brain & Company juga menunjukkan Indonesia merupakan negara dengan ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara pada 2019. Indonesia diproyeksikan memiliki penghasilan dari transaksi digital US$40 miliar dan akan terus meningkat.
Besarnya potensi itu seharusnya sejalan dengan potensi pajak ekonomi digital. Namun, sayangnya Indonesia terhalang aturan tax treaty, di mana suatu negara baru dapat mengenakan pajak atas laba usaha apabila terdapat bentuk usaha tetap (BUT)/permanent establishment (Skaar, 2005).
Saat ini, perusahaan multinational berbasis over the top sudah banyak dan memiliki pasar yang besar di Indonesia. Contohnya Google, Facebook, dan Instagram. Namun, Indonesia tidak punya kemampuan mengenakan pajak pada perusahaan yang mendapat penghasilan dari Indonesia itu.
Untuk itu, Inclusive Framework Organisation for Economic Co-operation ad Development membahas Pillar 1 Unified Approach. Konsep ini mengusung nexus baru terkait dengan permanent establishment, alokasi laba usaha, dan konsep marketing and distribution profit safe harbour.
Tentu agar proposal itu disetujui, perlu ada Multilateral Instrument (MLI) dari negara-negara terkait untuk dapat mengubah atau memodifikasi tax treaty tanpa harus adanya perubahan satu per satu dari masing masing mitra tax treaty tersebut.
Nexus Baru
DALAM alokasi hak perpajakan, negara sumber memiliki hak pemajakan atas laba usaha subjek pajak negara domisili apabila ada BUT di negara sumber penghasilan. Namun, negara domisili tetap memiliki hak memajaki, tetapi dengan keringanan, agar tidak menimbulkan pajak berganda.
Namun, untuk transaksi digital ekonomi lintas yurisdiksi, perusahaan over the top itu tidak memiliki BUT di negara sumber, sehingga negara sumber tidak dapat mengenakan pajak ke perusahaan yang mendapat penghasilan atas transaksi ekonomi digital lintas yurisdiksi dari negara sumber.
Karena itu, perlu kesepakatan baru terkait dengan realokasi hak perpajakan (nexus) atas laba usaha yang didapatkan. Dalam OECD Pillar 1 itu diusung hak pemajakan tidak berdasarkan domisili, tetapi berdasarkan pasar transaksi tersebut terjadi dan berdasarkan keadaan ekonomi signifikan.
Kehadiran ekonomi signifikan didefinisikan sebagai pendekatan di mana kehadiran pajak muncul saat perusahaan nonresiden memiliki keberadaan ekonomi signifikan menurut penghasilan dari transaksi, faktor digital yang digunakan, dan faktor pengguna dari platform digital tersebut.
Nexus baru ini berbeda dengan alokasi hak pemajakan sebelumnya. Nexus baru ini menitikberatkan pada keberadaan pelanggan dalam transaksi digital. Apabila aturan realokasi hak pemajakan ini diberlakukan, pemajakan transaksi digital dapat dilakukan negara sumber, termasuk Indonesia.
Safe Harbour
SAAT ini, konsensus dalam menentukan nilai kewajaran transfer pricing adalah arm’s length principle. Namun, banyak sekali sengketa akibat transer pricing yang masuk ke mutual agreement procedure. Untuk menyelesaikannya, tentu wajib pajak dan otoritas pajak sama-sama mengeluarkan biaya.
Salah satu metode yang diusulkan di Pillar 1 Unified approach adalah metode safe harbour. Metode ini adalah ketentuan di mana wajib pajak yang memenuhi syarat dapat terbebas dari kewajiban administrasi dan pembuktian nilai kewajaran atas suatu transaksi (TP Guidline, 2017)
Dengan safe harbour, wajib pajak bisa mengurangi biaya compliance sekaligus memberi kepastian menentukan kewajaran transfer pricing dan menyederhanakan administrasi pajak. Ketentuan ini tidak sesuai dengan arm’s length principle dan menimbulkan potensi penghindaran pajak.
Kaitannya dengan transaksi ekonomi digital lintas yurisdiksi, safe harbour approach merupakan ketentuan yang memberikan keleluasaan perusahaan digital multinasional untuk menentukan apakah memakai Unified Approach Pillar 1 atau ketentuan perpajakan di negara transaksi tersebut.
Untuk itu, perlu kajian mendalam oleh anggota Inclusive Framework karena safe harbour approach ini bisa menjadi alternatif pengurangan sengketa dan pengenaan pajak berganda. Meski, ketentuan ini tidak sejalan dengan semangat konsensus global dalam membentuk unified approach.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.