SALLY WALLACE:

'Perlu Mobilisasi Pajak yang Lebih Masif'

Redaksi DDTCNews | Kamis, 02 Juni 2016 | 09:05 WIB
'Perlu Mobilisasi Pajak yang Lebih Masif'

Pakar ekonomi perpajakan Andrew Young School of Public Policy Studies, Georgia State University, Amerika Serikat Sally Wallace. (Foto: DDTCNews)

SETELAH krisis keuangan global 2008, banyak negara mengalami defisit anggaran dengan situasi ekonomi yang cenderung melembam. Situasi ini menyebabkan banyak negara mengubah arah kebijakan perpajakannya, sekaligus untuk mengimbangi perubahan arah kebijakan moneternya.

Lalu bagaimana tren kebijakan perpajakan global pascakrisis keuangan global 2008? Untuk menggali lebih jauh persoalan itu, DDTCNews mewawancarai Sally Wallace, pakar ekonomi perpajakan Andrew Young School of Public Policy Studies, Georgia State University, Amerika Serikat. Petikannya:

Setelah era krisis 2008, seperti apa tren kebijakan pajak global saat ini?

Tekanan krisis ekonomi global telah menyebabkan banyak negara berinisiatif membuat kebijakan untuk mengurangi beban pajak untuk mendorong pertumbuhan ekonomi negaranya yang sedang melembam. Namun, tetap berusaha menjaga anggaran agar defisitnya tidak terlalu dalam.

Menariknya, walaupun terdapat tekanan fiskal yang sangat besar, ada tren penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) badan di banyak negara. Hal ini pada gilirannya membuat praktik transfer pricing dan pengalihan penghasilan ke negara tax haven kian marak.

Semua hal tersebut akhirnya menyebabkan pertumbuhan penerimaan pajak menjadi semakin kurang responsif terhadap geliat ekonomi. Namun, hal ini mungkin bisa dipahami karena negara dihadapkan pada pilihan yang sulit, menaikkan pajak, mengurangi pengeluaran, atau meningkatkan utang.

Untuk mengompensasi penurunan PPh badan tadi, banyak negara berkembang, meningkatkan PPh atas karyawan dan pajak konsumsi. Memang, ini bisa jadi alternatif solusi. Hingga derajat tertentu, perlambatan ekonomi toh tidka begitu berpengaruh terhadap negara berkembang.

Berbeda dengan struktur pajak di negara maju, negara berkembang memang kurang mengandalkan penerimaan pajak, misalnya dari sektor properti. Di negara maju, sektor properti merupakan sektor yang paling terpukul pada saat krisis. Itu sebabnya negara maju tidak menaikkan pajak konsumsi.

Tentu, untuk kemajuan prospek perpajakan yang lebih baik, negara berkembang tidak dapat terus mengandalkan penerimaannya pada pajak konsumsi. Diperlukan upaya memobilisasi pendapatan perpajakan yang lebih masif guna menyehatkan penerimaan negara di masa depan.

Apa yang sebaiknya dilakukan negara berkembang ketika memutuskan kenaikan PPN?

Perlu dipahami, sudah lumrah ketika banyak negara berkembang menghadapi permasalahan pajak seperti rendahnya rasio pajak, rendahnya tingkat kepatuhan pajak, basis pajak yang sempit, lemahnya sistem administrasi perpajakan, banyaknya kasus penyuapan, serta korupsi pajak.

Tidak ada solusi yang mudah dan sederhana untuk mengatasi permasalahan tersebut. Banyak negara mengetahui bagaimana sistem pajak yang baik seperti diuraikan jurnal ilmiah. Namun, banyak negara mengalami kesulitan memperbaiki sistem administrasi pajak dan meningkatkan kepatuhan pajak.

Salah satu pilihan bagi negara berkembang adalah dengan menggunakan basis pajak konsumsi untuk menangkap kegiatan shadow economy. Asumsinya, mereka yang beraktivitas pada shadow economy akan bertransaksi dengan mereka yang bekerja di sektor formal.

Hal ini memang tidak 100% tepat, tetapi memang sebagian besar kasus yang terjadi seperti itu.  Singkatnya, pajak pertambahan nilai (PPN) relatif lebih efektif dapat menangkap kegiatan shadow economy dan bentuk-bentuk penyelundupan pajak.

Namun, pada saat yang sama negara berkembang juga perlu melakukan banyak perbaikan dan penyempurnaan dalam sistem administrasi PPN. Kalau tidak, pajak dari kegiatan shadow economy ini bakal lolos, dan kenaikan PPN justru bisa mendistorsi ekonomi.

Karena itu, berbagai pengecualian objek yang dikenakan PPN perlu diperketat atau dihilangkan. Praktik-praktik seperti kecurangan pajak, suap pajak, dan praktik penghindaran pajak juga harus ditangani secara serius. Jadi, perlu reformasi pajak. Itu saya pikir cara paling jitu.

Bukannya reformasi pajak itu pekerjaan sulit?

Pemahamannya begini. Politik perpajakan suatu negara yang lemah menyebabkan negara kesulitan membuat kebijakan untuk menaikkan pajak orang pribadi atau badan. Namun, di sisi lain melakukan reformasi pajak secara menyeluruh menghasilkan risiko terkait dengan biaya transisi yang besar.

Hal ini dapat memicu instabilitas pendapatan dan merusak jalannya proses reformasi. Reformasi pajak akan berhasil jika masuk akal bagi ekonomi, jika pemerintah dan swasta saling mendukung, jika rakyat percaya mereka akan mendapatkan pelayanan publik terbaik dari uang pajak yang mereka bayarkan.

Ini juga termasuk dalam hal desentralisasi fiskal. Jika pemerintah daerah tidak cukup mendapatkan otonomi pada aspek penerimaan, tentu hal tersebut akan menyulitkan pemerintah daerah terlibat dalam menerapkan nilai desentralisasi maupun penyediaan barang publik.

Jika kewenangan atas suatu pendapatan/ pajak diberikan pada pemerintah daerah, maka sebaiknya pajak tersebut sifatnya relatif sederhana, mudah dijalankan, dan mudah dimengerti. Jika ini dilakukan dengan baik, tentu dapat menjadi sumber pendapatan yang efektif.

Selain menurunkan PPh badan, beberapa negara juga melakukan tax amnesty. Komentar Anda?

Sejumlah negara sering menggunakan pengampunan pajak sebagai cara untuk menarik pajak, karena wajib pajak (WP) dibebaskan dari sanksi atau beban tertentu selama mereka bersedia melaporkan kekayaan mereka secara benar. Dampaknya, pengampunan pajak dapat mendorong pendapatan.

Menurut saya, ini kebijakan yang wajar saja, tetapi harus dilakukan secara hati-hati. Karena itu, tax amnesty perlu ditindaklanjuti dengan sistem administrasi yang kuat guna memperluas basis pajak, dengan kejelasan bahwa kebijakan pengampunan pajak ini tidak diberikan berulang-ulang.*

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

Topik :
KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 27 Desember 2024 | 12:30 WIB LAPORAN BELANJA PERPAJAKAN

Masih Ada Fasilitas Kepabeanan Tak Dimanfaatkan, DJBC Beri Penjelasan

Jumat, 27 Desember 2024 | 12:00 WIB PMK 81/2024

Catat! Dokumen WP Badan Era Coretax Diteken Pakai Sertel Pengurus

Jumat, 27 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 168/2023

Penghitungan PPh 21 Pegawai Tidak Tetap untuk Masa Pajak Desember

Jumat, 27 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Analisis Kesebandingan dalam Tahapan Penerapan PKKU

BERITA PILIHAN
Jumat, 27 Desember 2024 | 12:30 WIB LAPORAN BELANJA PERPAJAKAN

Masih Ada Fasilitas Kepabeanan Tak Dimanfaatkan, DJBC Beri Penjelasan

Jumat, 27 Desember 2024 | 12:00 WIB PMK 81/2024

Catat! Dokumen WP Badan Era Coretax Diteken Pakai Sertel Pengurus

Jumat, 27 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 168/2023

Penghitungan PPh 21 Pegawai Tidak Tetap untuk Masa Pajak Desember

Jumat, 27 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Analisis Kesebandingan dalam Tahapan Penerapan PKKU

Jumat, 27 Desember 2024 | 10:45 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Jamin Stimulus Ekonomi Efektif, Birokrasi Penyaluran Perlu Dipermudah

Jumat, 27 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Maret 2024: Pemerintah Rilis Ketentuan Baru terkait Akuntansi Koperasi

Jumat, 27 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN DAN CUKAI

Reformasi Berkelanjutan DJBC, Kolaborasi Lintas Sektor Jadi Kunci

Jumat, 27 Desember 2024 | 09:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Tahun Baru, PTKP Baru? Catatan bagi yang Baru Menikah atau Punya Anak

Jumat, 27 Desember 2024 | 09:07 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Coretax Diterapkan 1 Januari 2025, PKP Perlu Ajukan Sertel Baru