Bambang Pratiknyo
,PERLAKUAN Pajak Penghasilan (PPh) atas sumbangan telah menjadi salah satu topik yang menarik untuk diperbincangkan. Tepatnya, mengenai apakah sumbangan dapat menjadi pengurang dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak.
Bahkan, pada awal reformasi pajak tahun 1983, sempat terjadi perdebatan mengenai hal ini. Pendapat pertama, jika sumbangan dapat menjadi pengurang berarti dalam sumbangan tersebut ada bagian pemerintah sehingga nilai keikhlasan pemberi sumbangan dapat dikatakan berkurang. Sebaliknya, apabila sumbangan tidak dapat menjadi pengurang, pemerintah memperoleh penerimaan tambahan dari adanya wajib pajak yang menyumbang.
Terlepas dari perdebatan tersebut, sejatinya dalam teori yang diungkapkan oleh Burn dan Krever (1998), biaya yang dapat menjadi pengurang penghasilan bruto hanya sebatas biaya yang berkaitan dengan upaya memperoleh atau mendapatkan penghasilan. Artinya, pengeluaran atau biaya yang bersifat pribadi untuk kepentingan wajib pajak sendiri tidak dapat dibiayakan (Alarcón-Garcia, 2015).
Jika mengacu pada teori di atas, sumbangan tidak dapat dibiayakan karena termasuk pengeluaran yang bersifat pribadi. Namun, dalam penerapannya, tidak semua negara mengikuti teori tersebut.
Ada negara yang memperbolehkan sumbangan dibiayakan secara penuh dan ada pula negara yang menetapkan syarat atau batasan tertentu agar kontribusi ini dapat dibiayakan. Tujuan utama yang ingin dicapai dari penetapan ini tidak lain adalah agar wajib pajak terdorong untuk melakukan kegiatan amal.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Apakah sumbangan tidak boleh dibiayakan sebagaimana teorinya atau justru dapat dibiayakan, tetapi dengan batasan tertentu? Berikut penjelasannya.
Ketentuan di Indonesia
Dalam konteks Indonesia, pemberian sumbangan pada umumnya tidak diperkenankan menjadi pengurang dalam menghitung penghasilan kena pajak. Namun, semenjak berlakunya UU No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat UU PPh (UU No.36/2008), terdapat pengecualian sehingga sumbangan tertentu boleh menjadi pengurang. Salah satunya, sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional.
Nyatanya, sebelum UU No.36/2008 pun, pemerintah pernah beberapa kali mengeluarkan peraturan “darurat” terkait sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional. Pertama, pada akhir tahun 2004, yaitu ketika terjadi bencana alam berupa tsunami di Aceh dengan korban jiwa dan materiel yang sangat besar.
Pada saat itu, sumbangan masyarakat menjadi sangat dibutuhkan sehingga pemerintah segera mengeluarkan insentif perpajakan berupa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 609/PMK.03/2004 yang mengatur bahwa sumbangan untuk penanggulangan bencana tsunami di Aceh dapat dibiayakan.
Kedua, ketika terjadi gempa bumi dahsyat di Yogyakarta dan sekitarnya yang juga menelan ribuan korban jiwa serta kerusakan parah. Pemerintah mengeluarkan lagi PMK Nomor 93/PMK.03/2006 untuk mengatur sumbangan yang diberikan dalam rangka penanggulangan bencana ini dapat dibiayakan.
Saat ini, ketentuan lebih lanjut mengenai sumbangan untuk bencana nasional telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 93/2010 (PP No. 93/2010) serta dipertegas lagi dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2011 (PMK 76/2011).
Dalam PP No. 93/2010 diatur bahwa sumbangan untuk penanggulangan bencana nasional hanya bisa dibiayakan sepanjang memenuhi persyaratan serta batasan berikut. Pertama, bentuk sumbangan berupa uang dan/atau barang. Kedua, sumbangan disalurkan kepada Badan Penanggulangan Bencana atau lembaga/pihak yang telah mendapat izin dari instansi/lembaga yang berwenang untuk pengumpulan dana penanggulangan bencana.
Ketiga, jumlah yang dapat dibiayakan maksimal 5% dari penghasilan neto fiskal tahun sebelumnya. Keempat, wajib pajak yang memberikan sumbangan mempunyai penghasilan neto fiskal pada SPT tahun pajak sebelumnya. Kelima, sumbangan tidak menyebabkan rugi pada tahun pajak sumbangan diberikan. Keenam, didukung oleh bukti pengeluaran yang sah.
Ketujuh, lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki NPWP, kecuali badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam UU PPh. Kedelapan, sumbangan tidak diberikan kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan. Terakhir, bukti penerimaan sumbangan wajib dilampirkan pada SPT Tahunan PPh.
Lebih lanjut, dalam PMK 76/2011 disebutkan bahwa bukti penyaluran sumbangan yang sah paling sedikit memuat informasi: (i) nama, alamat, dan NPWP pemberi sumbangan, (ii) nama, alamat dan NPWP penyelenggara pengumpulan sumbangan, (iii) tanggal pemberian sumbangan, (iv) bentuk sumbangan, (v) nilai sumbangan.
Faktanya, adanya pembatasan dan persyaratan dapat dibiayakannya suatu sumbangan merupakan sesuatu yang lazim dilakukan, seperti halnya diterapkan di negara-negara lainnya. Misalnya, di Jepang, Rusia, atau Belanda. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari upaya memelihara “basis” penghasilan kena pajak serta sebagai kontrol agar tidak terjadi penyalahgunaan.
Selain itu, perlu diperhatikan bahwa kata kunci utama dari sumbangan dalam rangka bencana nasional yang dapat dibiayakan adalah penetapan “bencana nasional” itu sendiri. Artinya, meskipun wajib pajak melakukan sumbangan untuk suatu bencana. Namun, bencana tersebut tidak ditetapkan sebagai bencana nasional, sumbangan tersebut tidak dapat digolongkan sebagai sumbangan untuk bencana nasional dan tidak dapat dibiayakan berdasarkan PP No. 93/2010.
Sebagai contoh, pada pertengahan tahun 2018 terjadi bencana alam yang dahsyat, yaitu gempa bumi di Lombok serta disusul gempa bumi besar di Palu. Kedua gempa bumi tersebut sangat menyita perhatian pemerintah dan Rakyat Indonesia, bahkan juga masyarakat dunia. Tidak sedikit dana yang dikeluarkan pemerintah serta sumbangan masyarakat yang disalurkan dalam rangka penanggulangan bencana-bencana tersebut.
Walaupun demikian, pada saat itu, Presiden Joko Widodo tidak memutuskan bencana di Lombok dan Palu tersebut sebagai bencana nasional. Dengan demikian, wajib pajak tidak dapat memanfaatkan PP No. 93/2010 untuk membiayakan sumbangan yang mereka berikan terkait kedua bencana alam tersebut.
Uraian di atas nampaknya berkorelasi dengan isu yang dewasa ini sedang hangat dibicarakan oleh berbagai lapisan masyarakat. Yaitu, mengenai pandemi Covid-19.
Sebagaimana diketahui, terkait dengan pandemi Covid-19 yang sedang melanda Indonesia saat ini, banyak pihak yang berstatus sebagai wajib pajak badan memberikan sumbangan dalam rangka untuk ikut membantu menanggulangi dampak dari pandemi Covid-19. Akibatnya, muncul pertanyaan apakah biaya sumbangan untuk pandemi Covid-19 ini dapat dibiayakan dalam menghitung penghasilan kena pajak? Berikut penjelasannya.
Sumbangan Covid-19
Pada dasarnya, berkenaan dengan sumbangan dalam rangka penanggulangan Covid-19 ini, PP No.93/2010 relevan untuk menjawab pertanyaan apakah sumbangan tersebut dapat dibiayakan atau tidak. Pasalnya, sejak April 2020, Presiden Joko Widodo telah menetapkan pandemi Covid-19 di Indonesia sebagai bencana nasional melalui Keppress No. 12 Tahun 2020.
Akan tetapi, ternyata dua bulan sesudahnya, pemerintah mengeluarkan peraturan baru mengenai pemberian insentif PPh dalam rangka penanggulangan Covid-19 yang di dalamnya juga mengatur sumbangan dalam rangka penanggulangan Covid-19. Yaitu, PP No. 29 Tahun 2020 (PP No.29/2020).
Dengan adanya PP No. 29/2020 ini berarti terdapat dua peraturan pemerintah yang dapat digunakan untuk menentukan pembiayaan atas pemberian sumbangan dalam rangka penanggulangan Covid-19, yaitu PP No. 93/2010 dan PP No. 29/2020.
Sama halnya dengan PP No. 93/2010, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh wajib pajak pemberi sumbangan agar dapat membiayakan donasi atau sumbangan dalam rangka penanggulangan Covid-19 dalam menghitung besarnya penghasilan kena pajak.
Pertama, sumbangan diberikan kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Lembaga Penyelenggara Pengumpulan Sumbangan yang telah memperoleh izin penyelenggaraan pengumpulan sumbangan dari pemerintah pusat atau pemerintah Daerah dan yang memiliki NPWP.
Kedua, pemberian sumbangan didukung oleh bukti penerimaan sumbangan paling sedikit memuat informasi berupa: (i) nama, alamat, dan NPWP pemberi sumbangan, (ii) nama, alamat dan NPWP Penyelenggara pengumpul sumbangan, (iii) tanggal pemberian sumbangan, (iv) bentuk sumbangan, (v) nilai sumbangan.
Ketiga, wajib pajak pemberi sumbangan harus melampirkan daftar nominatif sumbangan paling lambat bersamaan dengan penyampaian SPT PPh tahun pajak yang bersangkutan sesuai contoh format yang tercantum dalam lampiran B PP No. 29/2020. Keempat, daftar nominatif ini disampaikan secara daring atau luring apabila jalur daring bermasalah. Terakhir, sumbangan diberikan sejak 1 Maret 2020 sampai dengan 30 September 2020, kecuali jangka waktu diperpanjang dengan Peraturan Menteri.
Berdasarkan uraian di atas dapat dilihat beberapa perbedaan mengenai persyaratan yang diatur dalam PP No. 93/2010 dan PP No. 29/2020. Pertama, PP No. 29/2020 tidak mengatur syarat mengenai bentuk sumbangan yang hanya uang dan barang seperti dalam PP No. 93/2010. Dengan demikian, sumbangan seperti jasa dan/atau pemanfaatan harta tanpa kompensasi juga memiiliki kemungkinan untuk dibiayakan.
Kedua, syarat mengenai jumlah sumbangan yang dapat dibiayakan tidak lagi dibatasi dalam PP No. 29/2020. Artinya, wajib pajak dapat membiayakan secara penuh sumbangan yang mereka berikan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dibandingkan PP No.93/2010, PP No. 29/2020 memberikan kesempatan yang lebih besar terkait pembiayaan sumbangan untuk Covid-19 serta menjadi langkah pemerintah yang patut diapresiasi.
Menariknya, dalam PP No. 29/2020, terdapat syarat mengenai batas waktu pemberian sumbangan Covid-19 ini. Yaitu, sumbangan diberikan sejak 1 Maret 2020 sampai dengan 30 September 2020.
Ketentuan ini sekaligus menegaskan bahwa sumbangan dalam rangka penanggulangan Covid-19 yang diberikan sebelum 1 Maret 2020, dapat memberlakukan ketentuan dalam PP No. 93/2010 untuk menentukan dapat atau tidaknya sumbangan tersebut dibiayakan. Barulah sejak 1 Maret 2020, wajib pajak dapat “memilih” untuk menggunakan PP No. 93/2010 atau PP No. 29/2020 untuk mengatur perlakuan PPh atas pemberian sumbangan dalam rangka penanggulangan Covid-19.
Mengapa dikatakan memilih? Sebab rumusan dalam Pasal 4 ayat (5) PP No. 29/2020 sendiri yang “seolah” mengatur hal tersebut. Berikut bunyi dari pasal ini.
“Atas sumbangan dalam rangka penanganan COVID-19 yang telah dikurangkan sebagai pengurang penghasilan bruto berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto, tidak dapat dikurangkan sebagai pengurang penghasilan bruto berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.”
Pasal 4 ayat (5) PP No. 29/2020 menetapkan bahwa sumbangan dalam rangka penanganan Covid-19 yang telah diberlakukan ketentuan PP No. 93/2010, tidak dapat dibiayakan berdasarkan PP No. 29/2020. Dengan kata lain, ketentuan ini secara tidak langsung memberikan pilihan sekaligus batasan jika wajib pajak “memilih” menggunakan PP No. 93/2010 untuk membiayakan sumbangan yang diberikannya.
Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan adalah apakah ada wajib pajak yang memutuskan menggunakan PP No. 93/2010 alih-alih PP No. 29/2020 untuk mengatur pembiayaan sumbangan dalam rangka penanggulangan Covid-19 yang diberikan?
Pasalnya, jika menilik pada persyaratan yang ditetapkan serta manfaat yang diterima, jelas PP No. 29/2020 lebih menguntungkan wajib pajak pemberi sumbangan dibandingkan PP No. 93/2010.
Lantas, dengan adanya kemungkinan tidak digunakannya PP No. 93/2010 bagi pemberian sumbangan untuk penanggulangan Covid-19 setelah tidak dapat digunakan pada bencana besar gempa di Lombok dan di Palu. Quo Vadis PP No. 93/2010?
(Disclaimer)Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.