ANALISIS PAJAK

Perlakuan Pajak Risiko Piutang Tak Tertagih Pinjol

Jumat, 30 Agustus 2024 | 16:20 WIB
Perlakuan Pajak Risiko Piutang Tak Tertagih Pinjol

Made Astrin Dwi Kartini,
DDTC Internal Tax Solution Lead

AKTIVITAS pinjaman online telah berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan pada data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah rekening penerima pinjaman aktif per Mei 2024 mencapai 11 juta akun. Dari jumlah rekening tersebut, total penyaluran pinjaman tercatat senilai Rp25,4 triliun.

Bila dibandingkan dengan posisi pada April 2024, terdapat lonjakan 22% jumlah penerima pinjaman dan peningkatan 17% nilai penyaluran pinjaman. Data tersebut menunjukkan bahwa layanan pinjaman online atau peer-to-peer (P2P) lending telah berhasil menarik minat pasar di Indonesia.

Layanan pinjaman online dinilai dapat memenuhi kebutuhan pendanaan, baik untuk tujuan konsumtif maupun produktif. Layanan P2P lending bahkan hadir dalam bentuk fitur paylater yang tersemat dalam platform marketplace. Tren ini menunjukkan dorongan konsumsi berbasis pinjaman menjadi salah satu faktor pengungkit popularitas pinjaman online.

Oleh karena itu, pemahaman mengenai proses bisnis pinjaman online secara menyeluruh sangat diperlukan. Secara umum, layanan pinjaman online melibatkan tiga pihak, yaitu pemberi pinjaman, peminjam dana, dan penyelenggara P2P lending. Pada tahap awal, baik peminjam dana maupun pemberi pinjaman harus mendaftarkan diri di platform P2P lending.

Kemudian, pada beberapa platform, pemberi pinjaman dapat memilih calon peminjam sesuai dengan profil risiko. Akan tetapi, tidak semua platform menyediakan fitur ini. Secara umum, seluruh dana yang dihimpun dari pemberi pinjaman akan dikelola oleh penyelenggara P2P lending.

Dengan demikian, jika ditinjau dari proses bisnisnya, terdapat tiga persamaan antara P2P lending dan lembaga keuangan konvensional. Keduanya berperan sebagai perantara, pengelola pinjaman dari dana yang dihimpun, dan penyortir peminjam dana berdasarkan pada profil risiko.

Meski terdapat kesamaan, keduanya tetap memiliki perbedaan. Pertama, pada lembaga keuangan konvensional, atas dana yang dihimpun tersebut disimpan bukan untuk dipinjamkan. Sebaliknya, dana yang dihimpun oleh P2P lending memang secara khusus untuk dipinjamkan oleh pihak pemberi pinjaman.

Perbedaan tujuan ini mencerminkan risiko piutang tak tertagih dari setiap jenis layanan. Dikarenakan tujuan dana yang terhimpun dari nasabah adalah untuk ditabung maka risiko pinjaman dari lembaga keuangan konvensional sepenuhnya ditanggung bank itu sendiri. Sebaliknya, tujuan penghimpunan dana di P2P lending adalah untuk dipinjamkan sehingga risiko piutang tak tertagih ditanggung pemberi pinjaman.

Kedua, dalam konteks pinjaman dari lembaga konvensional, imbal jasa kepada pemilik dana berupa bunga tabungan. Sementara dalam konteks P2P lending, imbal jasa yang digunakan berupa bunga pinjaman. Meskipun keduanya merupakan bunga, perlu diperhatikan bahwa regulasi yang mengatur bunga tabungan dan bunga pinjaman P2P lending berbeda.

Berdasarkan pada data OJK, suku bunga rata-rata tabungan bank umum adalah 0,67%, bunga rata-rata giro sebesar 5,79%, dan bunga rata-rata deposito 2,21% per tahun. Sementara itu, bunga pinjaman P2P lending yang ditetapkan oleh OJK yaitu 0,1% per hari untuk pendanaan produktif dan 0,3% per hari untuk pendanaan konsumtif.

Perlakuan Pajak

PERBEDAAN tingkat suku bunga tersebut mencerminkan risiko yang ditanggung. Makin tinggi suku bunga pinjaman maka makin tinggi pula risiko piutang tak tertagih. Risiko piutang tak tertagih yang dialami oleh penyelenggara P2P lending sejatinya menyerupai risiko piutang tak tertagih oleh lembaga keuangan konvensional.

Namun demikian, dari sisi pajak, risiko piutang tak tertagih oleh lembaga keuangan konvensional dapat diantisipasi dengan cadangan piutang tak tertagih yang diatur dalam PMK 81/2009 s.t.d.d PMK 219/2012.

Sesuai dengan ketentuan tersebut, pembentukan atau pemupukan dana cadangan yang boleh dikurangkan sebagai biaya adalah cadangan piutang tak tertagih yang dapat dimanfaatkan untuk usaha bank dan badan usaha lain penyalur kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang.

Hingga artikel ini dibuat, belum ada regulasi dari sisi pajak yang mengatur pembentukan cadangan piutang tak tertagih untuk penyelenggara P2P lending. Pemajakan atas penyelenggara P2P lending yang diatur dalam PMK 69/2022 hanya menegaskan perlakuan pajak penghasilan (PPh) dan pajak pertambahan nilai (PPN).

Dalam peraturan tersebut tidak ditemukan klausul mengenai langkah antisipatif terhadap risiko piutang tak tertagih yang dialami oleh penyelenggara P2P lending. Dengan demikian, regulasi mengenai cadangan piutang tak tertagih yang ada saat ini belum bisa diterapkan kepada penyelenggara P2P lending.

Perlu diketahui, pembentukan dana cadangan pada dasarnya tidak boleh dikurangkan dari perhitungan penghasilan kena pajak. Namun demikian, Darussalam, Septriadi, dan Dhora (2020) menyebut terdapat pengecualian atas cadangan tertentu yang diperkenankan menjadi komponen beban sejak diberlakukannya amendemen UU PPh melalui UU 17/2000. Adapun pembentukan dana cadangan piutang tak tertagih adalah cara menanggulangi risiko hilangnya piutang yang tidak dapat ditagihkan.

Perbedaan perlakuan pajak atas pembentukan cadangan piutang tak tertagih dapat mencederai prinsip pajak nondiskriminasi. Darussalam, Septriadi, dan Marhani (2024) menyebutkan prinsip nondiskriminasi melarang perlakuan yang merugikan atau kurang menguntungkan terhadap salah satu dari dua situasi yang sebanding.

Bila dikaitkan dengan pencadangan piutang, kondisi yang dialami oleh penyelenggara P2P lending dan lembaga keuangan konvensional pada dasarnya memiliki karakteristik yang sama dengan risiko yang serupa. Namun, keduanya memiliki perlakuan pajak yang berbeda.

Mengingat bahwa risiko piutang tak tertagih juga dihadapi oleh P2P lending, seharusnya pemerintah menetapkan ketentuan cadangan piutang tak tertagih yang sama. Tidak dimungkiri risiko pada P2P lending ditanggung pemberi pinjaman, sedangkan risiko lembaga keuangan konvensional ditanggung oleh lembaga itu sendiri.

Meskipun ada perbedaan letak risiko, penting untuk dicatat bahwa risiko yang dihadapi oleh lembaga keuangan konvensional tetap memengaruhi dana yang dititipkan oleh nasabah. Dengan demikian, perbedaan letak risiko seharusnya tidak diikuti dengan perbedaan perlakuan terhadap cadangan piutang tak tertagih.

Oleh karena itu, perlakuan pajak yang sama bagi P2P lending dan lembaga keuangan konvensional dapat menghadirkan keadilan. Selain itu, ketentuan ini juga diharapkan dapat menurunkan suku bunga pinjaman online yang ada saat ini karena risiko piutang tak tertagih dapat dikelola melalui sistem pencadangan.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang sekaligus menjadi pemenang lomba menulis internal bertajuk Gagasan Pajak dalam Satu Pena DDTC. Lomba ini merupakan bagian dari acara peringatan HUT ke-17 DDTC. (kaw)

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 10:30 WIB KP2KP SINJAI

Pemda Adakan Pengadaan Lahan, Fiskus Beberkan Aspek Perpajakannya

BERITA PILIHAN