LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2021

Pajak Digital Jadi Solusi Kesinambungan Fiskal Tanpa Ganggu Pemulihan

Redaksi DDTCNews | Kamis, 16 September 2021 | 11:44 WIB
Pajak Digital Jadi Solusi Kesinambungan Fiskal Tanpa Ganggu Pemulihan

Dede Pradana,
Simalungun, Sumatra Utara

PANDEMI Covid-19 yang terjadi secara tidak langsung membuat kas negara terganggu. Banyak menteri keuangan di seluruh dunia, termasuk Indonesia, yang memutar otak untuk mencari sumber baru pendapatan.

Seiring dengan menurunnya pendapatan negara akibat pandemi, diperlukan sumber baru pendapatan yang adil dan berkelanjutan. Salah satu cara yang sedang ingin dicapai oleh pemerintah Indonesia serta negara lain di dunia adalah mewujudkan konsensus pajak digital.

Upaya untuk mencapai kesepakatan global mengenai pajak digital bukanlah hal yang mudah. Pada awalnya, tidak semua negara setuju. Amerika Serikat (AS) merupakan penentang utama atas usulan yang ingin diarahkan pada konsensus global tersebut.

Dalam negosiasi konsensus pajak digital di Italia pada tahun lalu, AS secara tiba tiba menarik diri dari keseluruhan proses yang telah dibuat. Mantan Presiden AS Donald Trump juga pernah mengancam akan melakukan perang dagang terhadap negara yang mengenakan pajak digital secara sepihak.

Hal tersebut sebenarnya sangat bisa dimaklumi mengingat mayoritas perusahaan raksasa digital dunia, seperti Google, Facebook, dan Apple, berasal dari AS. Perusahaan itu telah berbisnis dan memperoleh manfaat ekonomi (significant economic presence) secara global dalam jumlah yang sangat besar.

Namun, kondisi sekarang telah berubah, Trump telah diganti Joe Biden. Kebijakan ekonomi AS pada era Presiden Biden atau Bidenomics sangat mendukung stabilisasi sistem perpajakan internasional dengan penerapan tarif pajak minimum global.

Kabar baiknya adalah baru-baru ini, menteri keuangan dan gubernur bank sentral G-20 sepakat untuk mendukung konsensus pajak digital berbasis 2 pilar yang sebelumnya telah disetujui 132 dari 139 negara anggota OECD/G-20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting.

Indonesia tentu sangat menyambut baik konsensus pajak digital ini karena penerimaan perpajakan yang adil sangat penting bagi semua negara. Indonesia mendukung konsensus global yang efisien, sederhana, setara, dan transparan.

Pajak digital menjadi kebijakan yang dikenakan terhadap perusahaan-perusahaan multinasional, termasuk yang bergerak dalam bisnis digital secara global seperti Google, Spotify, Netflix, dan Youtube. Proposal yang disepakati adalah Pilar 1: Unified Approach dan Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE).

Dalam Pilar 1, perusahaan yang tidak punya physical presence dapat dipajaki oleh Indonesia. Dengan demikian, pemerintah dapat mengenakan PPh terhadap perusahaan asing atas dasar significant economic presence tanpa potensi adanya konflik antar negara.

Hal tersebut menjadi solusi atau terobosan yang sangat bagus. Dewasa ini, sebuah perusahaan dapat menghasilkan pendapatan dengan sangat tinggi di negara tertentu tapi terhindar dari pembayaran pajak. Hal ini terjadi karena perusahaan dapat memilih untuk menempatkan kantor pusat di negara dengan tarif pajak yang lebih rendah dan menempatkan keuntungan mereka di sana.

Pilar 2 bertujuan untuk memastikan perusahaan multinasional dengan minimal omzet konsolidasi senilai €750 juta membayar pajak penghasilan (PPh) dengan tarif paling rendah 15% di negara domisili. Skema ini berpotensi menghilangkan persaingan tarif pajak yang tidak sehat antarnegara.

Detail teknis dari kedua pilar ini akan difinalisasi pada pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral G-20 pada Oktober 2021. Persetujuan ini diharapkan akan ditandatangani pada 2022 dan mulai berlaku efektif pada 2023.

Pentingnya Konsensus Pajak Digital

SELAMA ini, Indonesia belum dapat mengenakan PPh pada perusahaan raksasa digital tidak memiliki kehadiran fisik tapi memperoleh pendapatan dari pasar Tanah Air. Sebenarnya Indonesia memiliki aturan kuat terkait dengan significant economic presence untuk memungut PPh perusahaan digital.

Ketentuan significant economic telah diatur dalam UU 2/2020. Namun demikian, pemerintah lebih memilih untuk menunggu konsensus agar tidak terjadi benturan dengan negara-negara lain. Jika diterapkan, skema pajak transaksi elektronik (PTE) bisa menjadi aksi unilateral dari Indonesia.

Saat ini, Indonesia baru sebatas menarik pajak pertambahan nilai (PPN) atas produk digital dalam perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). PPN produk digital PMSE diatur secara teknis dalam PMK 48/2020 dan PER-12/PJ/2020.

Berdasarkan pada data Ditjen Pajak (DJP), realisasi penerimaan PPN PMSE sudah mencapai Rp2,1 triliun dari 50 perusahaan. Hingga 1 Agustus 2021, ada sebanyak 81 perusahaan yang telah ditunjuk sebagai pemungut PPN produk digital PMSE. Perusahan itu termasuk Facebook, Amazon, dan Google.

Konsensus pajak digital ini diharapkan akan memberikan ruang yang sangat lebar bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan pemungutan pajak. Konsensus pajak digital menjadi sangat penting karena Indonesia merupakan salah satu negara dengan pangsa pasar ekonomi digital terbesar di wilayah Asean.

Indonesia memiliki nilai Gross Merchandise Value (GMV) ekonomi digital (menghitung nilai transaksi) sekitar US$44 miliar atau Rp628 triliun pada 2020. Nilai ini berkontribusi terhadap setengah total GMV ekonomi digital Asia Tenggara berdasarkan data Google, Temasek, dan Bain & Company pada tahun lalu.

Nantinya, jika konsensus terwujud dan diberlakukan, potensi penerimaan PPN produk digital PMSE dan PPh akan meningkat sangat besar. Kita ambil hitungan sederhana dari data transaksi pada 2020 senilai Rp628 triliun maka akan didapat potensi peneriman PPN senilai Rp62,8 T dan PPh senilai Rp94,2 triliun. Nilai tersebut signifikan mengingat kebutuhan belanja negara yang sangat tinggi akibat pandemi.

Konsensus global pajak digital diharapkan dapat menghasilkan sistem perpajakan yang terintegrasi, efisien, sederhana, adil, dan transparan. Hal ini untuk meminimalkan distorsi serta benturan sebagai akibat dari pemanfaatan gap transformasi teknologi dan regulasi perpajakan.

Konsensus pajak digital sangat diperlukan dalam profiling perpajakan yang adil untuk memulihkan ekonomi dari keterpurukan akibat pandemi Covid-19. Apalagi, kesinambungan fiskal masih dalam kondisi sulit. Negara perlu memungut lebih banyak pajak tanpa membahayakan pemulihan ekonomi.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

21 September 2021 | 12:37 WIB

setuju sih ini

18 September 2021 | 13:51 WIB

mantap kali bang, pajak digital potensinya memang masih terbuka lebar

18 September 2021 | 13:23 WIB

mantap kali tulisanmu, De.

18 September 2021 | 11:43 WIB

Saya sangat terbantu sekali dengan artikel yang bermanfaat ini 😍

18 September 2021 | 11:23 WIB

keren.. ini keren sih

18 September 2021 | 11:03 WIB

Pembahasan yang sungguh menarik.

18 September 2021 | 10:53 WIB

bagusss & mengedukasi. tema yg diambil juga sangat sesuai dengan kondisi sekarang 🤩

18 September 2021 | 10:39 WIB

mantapp! keep it up, bro!

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

BERITA PILIHAN