SISTEM peninjauan kembali (PK) yang ada saat ini memiliki 2 fungsi, yaitu menjaga finalitas putusan pengadilan dan mengoreksi kesalahan dalam putusan final. Interaksi kedua fungsi tersebut berkaitan erat dengan prinsip finalitas dan pertimbangan terhadap gagasan falibilitas.
Final artinya harus ada akhir dari suatu perkara. Sementara itu, falibilitas berdiri di atas pemahaman sebagai manusia, hakim tidak luput dari kekurangan dan kekhilafan sehingga putusan yang dijatuhkannya belum tentu terlepas dari kekeliruan. Oleh karena itulah, diperlukan akses untuk mengajukan upaya hukum ke pengadilan yang lebih tinggi.
Kaitan kedua fungsi itu dibahas dalam buku setebal 462 halaman yang berjudul Peninjauan Kembali: Koreksi Kesalahan dalam Putusan. Buku ini ditulis sebagai disertasi di Tilburg Law School, Belanda, dengan judul Finality and Fallibility in the Indonesian Revision System: Forging the Middle Ground.
Sang penulis buku, yaitu Binziad Kadafi, merupakan anggota Komisi Yudisial RI sekaligus salah satu pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera. Sebelumnya, penulis berpraktik hukum pada salah satu firma hukum terbesar di Indonesia dan menjadi peneliti hukum di sejumlah lembaga, salah satunya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penulis juga dikenal sebagai salah seorang pegiat kunci dalam upaya reformasi hukum dan peradilan Indonesia.
Dengan pengalaman penulis berpraktik hukum dan wawasan akademis mumpuni, buku yang juga akan diluncurkan pada 10 Juli 2023 ini memuat ulasan argumentatif serta bertanggung jawab. Argumentatif artinya empiris dan logis. Bertanggung jawab artinya mengacu pada peraturan perundang-undangan, teori dan doktrin, serta yurisprudensi.
Penulis menyampaikan teori-teori yang mengelaborasi prinsip finalitas dan pertimbangan tentang falibilitas putusan pengadilan. Kemudian, penulis juga melihat praktik PK di Indonesia. Meskipun fokus pada PK dalam sistem peradilan pidana, teori dan referensi doktrin yang disarankan oleh buku ini sangat relevan dengan situasi peradilan pajak saat ini.
Dalam buku tersebut, penulis menyatakan bahwa pada situasi saat ini, pandangan dominan mengenai konsep falibilitas dan fungsi ‘koreksi kesalahan’ menjadikan pelaksanaan PK di Indonesia relatif mudah. Walhasil, fungsi PK yang sesungguhnya telah tergantikan oleh fungsi sebagai peradilan keempat.
Menurut penulis, asas finalitas justru harus diberi bobot lebih besar karena PK merupakan upaya hukum luar biasa yang dilakukan terhadap suatu putusan final. Meskipun final, putusan yang salah memang harus dikoreksi. Selain itu, secara bersamaan, finalitas putusan yang telah benar juga harus dilindungi.
Jika karakter dari prosedur PK tidak ditentukan secara ketat, yang terjadi adalah ketidakseimbangan antara kedua fungsi tersebut. Pandangan ini bertitik tolak dari sistem peradilan Indonesia yang secara umum menerapkan 4 tingkatan peradilan (pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, dan PK).
Lantas, apakah prinsip finalitas dan falibilitas seharusnya juga diterapkan dalam sistem peradilan pajak yang hanya menerapkan 2 tingkatan peradilan?
Dalam Undang-Undang (UU) Pengadilan Pajak yang saat ini berlaku, Pengadilan Pajak ditetapkan sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir untuk penyelesaian sengketa. Setelah diputus oleh Pengadilan Pajak, pihak yang bersengketa hanya dapat mengajukan PK ke Mahkamah Agung (MA).
Sistem peradilan pajak didesain sebagai penyelesaian sengketa pajak dengan prosedur dan proses yang cepat, murah, dan sederhana. Menurut Darussalam, konsep ‘sederhana’ tersebut seharusnya dimanifestasikan dalam proses penyelesaian sengketa yang tidak berbelit-belit dan memudahkan wajib pajak. Sementara di Indonesia, yang disederhanakan justru tingkatannya.
Oleh karena itu, finalitas merupakan tema sentral dalam UU Pengadilan Pajak. Padahal, fungsi koreksi kesalahan berdasarkan gagasan falibilitas seyogianya diberi bobot yang sama dalam sistem peradilan pajak.
Mengingat hakim dapat melakukan kekeliruan dalam memutus perkara, tingkatan pada peradilan pajak perlu ditambah. Hal ini dilakukan agar kekeliruan pada putusan dapat dikoreksi oleh pengadilan yang lebih tinggi.
Upaya hukum ke pengadilan yang lebih tinggi diperlukan untuk merevisi putusan pengadilan di tingkat yang lebih rendah, menjaga kualitas putusan, dan memberikan perlindungan terhadap hak wajib pajak.
Sebagai perbandingan, beberapa negara lainnya menerapkan 3 tingkatan penyelesaian sengketa pajak di bawah lembaga yudikatif. Beberapa negara itu seperti Amerika Serikat, Belanda, Norwegia, Kanada, dan Belgia. Salah satu pertimbangannya adalah karena sengketa pajak umumnya berkaitan erat dengan pembuktian fakta (Darussalam, Septriadi, dan Yuki, 2023).
Oleh karena itu, diperlukan setidaknya satu tingkatan peradilan lagi setelah Pengadilan Pajak yang tidak hanya berwenang menguji penerapan hukum, tetapi juga memeriksa kembali apakah penerapan fakta-fakta di tingkat Pengadilan Pajak sudah benar atau tidak (Pistone, 2020).
Selain itu, PK sendiri didesain sebagai upaya hukum ‘luar biasa’ yang hanya bisa dimintakan terhadap putusan pengadilan yang sudah ‘final’ (berkekuatan hukum tetap), setelah ‘berbagai upaya hukum biasa ditempuh’.
Apabila upaya hukum yang dapat ditempuh oleh wajib pajak sebelum mengajukan PK hanyalah banding ke Pengadilan Pajak, makna dari upaya hukum ‘luar biasa’ tersebut menjadi hilang. Hal ini karena permohonan PK merupakan satu-satunya upaya hukum yang dapat dilakukan atas putusan Pengadilan Pajak.
Atas berbagai pertimbangan tersebut, selain menegakkan prinsip finalitas, sistem peradilan pajak yang dapat mengoreksi kesalahan putusan Pengadilan Pajak selain PK perlu disediakan.
Selain mengulas teori dan referensi doktrin, buku ini juga diperkaya dengan analisis putusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi. Metodologi penulisan yang komprehensif dan inovatif seperti ini jarang ditemukan di Indonesia.
Ulasan seperti itu juga pernah disajikan Founder DDTC dalam buku berjudul A Global Analysis of Tax Treaty Disputes yang diterbitkan Cambridge University Press pada 2017. Buku ini memuat ulasan dari para pakar pajak mengenai pola dan analisis atas 1.610 kasus sengketa pajak terkait dengan persetujuan penghindaran pajak berganda (P3B) dari 27 negara.
Buku Peninjauan Kembali: Koreksi Kesalahan dalam Putusan sangat relevan tidak hanya bagi praktisi dan akademisi, tetapi juga bagi pembuat kebijakan di Indonesia. Berbagai poin terkait dengan pentingnya menyeimbangkan finalitas dan falibilitas dalam sistem peradilan dapat dijadikan landasan bagi pembuat kebijakan untuk mendesain sistem peradilan pajak di Indonesia ke depan.
Bagaimana, tertarik membaca buku ini? Anda bisa berkunjung ke DDTC Library.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.