TIDAK dapat dipungkiri bahwa dampak digitalisasi dapat mempermudah proses suatu sistem, termasuk bagi administrasi perpajakan.
Namun, untuk menjadikan teknologi dapat berfungsi optimal bukanlah proses yang mudah. Komponen biayanya mencakup pembangunan infrastruktur digital hingga pelatihan sumber daya agar mampu memanfaatkan peralihan sistem administrasi pajak berbasis teknologi digital.
Negara-negara di kawasan maju sekelas Britania Raya ternyata juga mengalami kendala tersebut. Hal tersebut dinyatakan dalam laporan UK House of Lords Economic Affairs Committee yang berjudul “Making Tax Digital for VAT: Treating Small Businesses Fairly.”
House of Lords merupakan strata tertinggi dalam parlemen yang merupakan gabungan negara-negara Britania Raya, yakni Irlandia, Inggris, Skotlandia, dan Wales.
Laporan yang diterbitkan pada 2018 ini dilatarbelakangi keputusan pemerintah yang mewajibkan seluruh perusahaan dengan nilai peredaran bruto yang melebihi £85.000 per tahun agar melakukan digitalisasi seluruh proses kewajiban perpajakan atas PPN mulai 1 April 2019.
Terlebih, otoritas perpajakan HMRC mendefinisikan usaha kecil (small business) sebagai suatu bisnis yang memiliki omzet kena pajak antara £85.000 dan £10 juta. Kebijakan ini membuat 96% dari seluruh bisnis di Britania Raya akan terdampak, termasuk yang skala mikro sekalipun.
Selain mempertanyakan asumsi nilai omzet yang digunakan, House of Lords juga mempertanyakan tujuan dari tanggung jawab HMRC untuk membantu UMKM agar patuh dalam menjalankan kewajiban perpajakannya. Kebijakan ini dinilai justru menimbulkan kerumitan baru yang cukup signifikan karena sumber daya UMKM yang sangat terbatas.
Secara garis besar, laporan bersangkutan memberikan beberapa rekomendasi kepada pihak eksekutif terkait kebijakan Making VAT Digital. Pertama, menunda peluncuran kebijakan baru tersebut setidaknya selama satu tahun ke depan.
Kedua, merencanakan transisi sistem secara bertahap agar UMKM dapat bersiap sepenuhnya untuk mengimplementasikan kebijakan ini.
Ketiga, mempertimbangkan kewajiban penerapan kebijakan ini untuk ditunda hingga April 2022 agar UMKM memiliki waktu untuk mempelajari penerapan sistem digital untuk administrasi PPN.
Keempat, menerbitkan rencana pengembangan jangka panjang terkait digitalisasi administrasi pajak yang tidak sekadar mengedepankan optimalisasi kepatuhan pajak.
Terdapat pula identifikasi atas kegagalan implementasi pilot project yang sudah dilakukan oleh HMRC. Salah satu di antaranya ialah publikasi kebijakan yang dinilai belum merata ke seluruh usaha yang terdampak.
Selain itu, identifikasi juga terkait belum tersedianya aplikasi akuntansi dan perpajakan yang dapat dimanfaatkan UMKM secara gratis atau dengan biaya ringan. Sebagai tambahan, sistem penaltinya yang disebabkan oleh kemungkinan ketidaktahuan wajib pajak atas kebijakan bersangkutan juga dinilai cukup memberatkan.
Selain pemberian rekomendasi untuk mewujudkan sistem administrasi pajak yang adil untuk bisnis skala UMKM, laporan ini juga mampu menggambarkan transparansi atas sistem pembuatan kebijakan di Britania Raya.
Laporan ke-13 yang disusun oleh House of Lord tersebut secara tidak langsung turut menunjukkan pentingnya sebuah pendekatan akademis yang komprehensif sebagai upaya untuk melakukan perubahan kebijakan. Bahkan, ketika rekomendasi perubahan kebijakan diusulkan oleh pihak legislatif tertinggi sekalipun.
Sistem yang transparan semacam itu tentunya dapat pula menjadi pembelajaran bagi banyak negara lain, tak terkecuali bagi Indonesia.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.