DALAM dunia bisnis, penyusunan strategi perusahaan adalah kunci keberhasilan jangka panjang. Namun demikian, tidak dimungkiri, proses ini menjadi sebuah tantangan tersendiri karena perusahaan perlu menyelaraskan antara strategi bisnis dan kepatuhan perpajakan.
Terlebih, dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku di Indonesia, otoritas memiliki kewenangan untuk menilai suatu biaya atau keputusan bisnis adalah wajar dan layak diakui sebagai pengurang pajak atau tidak.
Contoh, kewenangan menghitung ulang besarnya penghasilan dan pengurangan berdasarkan pada Pasal 18 Ayat (3) Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh). Ketentuan ini berlaku bagi wajib pajak yang memiliki hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya.
Pertanyaannya, apakah kewenangan tersebut justru berpotensi menjadi pintu masuk bagi otoritas pajak untuk mengintervensi pelaksanaan strategi bisnis perusahaan? Hal ini mungkin menjadi salah satu keresahan yang dialami wajib pajak.
Untuk itu, kita bisa melihat praktik di negara lain terlebih dahulu. Praktik di Amerika Serikat, Internal Revenue Service (IRS) memiliki kewenangan luas dalam melakukan audit pajak. Namun, IRS lebih berfokus pada penilaian kewajaran transaksi dari sudut pandang perpajakan.
IRS membatasi ‘campur tangan’ terhadap keputusan strategis perusahaan. Hal ini berlaku selama keputusan tersebut didukung oleh justifikasi bisnis yang sah dan wajar, sesuai dengan konsep substance-over-form (Mazzoni, 2019).
Selanjutnya, di Negeri Kanguru, Australian Taxation Office (ATO) memiliki pendekatan dalam bentuk co-operative compliance methods. Skema dari pendekatan ini dikenal dengan Annual Compliance Arrangement (OECD, 2013).
Pendekatan tersebut mencerminkan keseimbangan antara otoritas pajak dan independensi bisnis. Perusahaan memiliki ruang yang cukup untuk merancang strategi bisnis tanpa intervensi yang berlebihan dari otoritas pajak. Hal ini sepanjang transaksi memiliki substansi ekonomi yang nyata dan bukan hanya skema untuk menghindari pajak.
AGAR strategi bisnis tetap dapat dijalankan tanpa menimbulkan perselisihan dengan kepentingan otoritas pajak, diperlukan batasan dan standar yang jelas terkait dengan kewenangan otoritas pajak. Setidaknya ada tiga aspek yang perlu dipahami dan dipertimbangkan.
Pertama, penilaian dari perspektif perpajakan. Secara fundamental, otoritas pajak seharusnya berfokus pada penilaian kewajaran dari perspektif perpajakan. Artinya, otoritas tidak ikut terlibat atau masuk dalam urusan teknis kontrak ataupun keputusan operasional perusahaan.
Otoritas pajak perlu memahami bahwa keputusan bisnis, seperti penggunaan jasa pihak ketiga atau perancangan struktur biaya tertentu, merupakan bagian dari strategi untuk efisiensi dan inovasi. Tujuannya adalah keberlanjutan perusahaan dan bukan semata-mata untuk tujuan perpajakan.
Kedua, standar yang lebih objektif dan transparan dalam penilaian kewajaran biaya yang dikeluarkan ataupun penghasilan yang diterima oleh wajib pajak. Standar ini sangat krusial terutama jika transaksi-transaksi yang dilakukan berhubungan dengan isu tranfer pricing.
Standar yang bersifat objektif dapat memberikan kemudahan dari sisi kepatuhan dan kepastian hukum bagi wajib pajak. Selain itu, aspek ini dapat menjadi pertimbangan ketika ada indikasi terkait dengan ketidakwajaran.
Misalnya, ketentuan debt-to-equity ratio (DER) secara spesifik mengatur perbandingan antara utang dan modal. Artinya, terlepas pinjaman afiliasi atau bukan, ketika threshold maksimal 4:1 tidak terpenuhi maka bunga atas utang yang lain akan dianggap tidak dapat dibiayakan.
Ketiga, laporan hasil audit yang komprehensif dari otoritas pajak kepada wajib pajak. Hal ini penting agar alasan koreksi dapat dipertanggungjawabkan. Alasan koreksi yang tidak lengkap cenderung menimbulkan kesan ‘tax farming’, koreksi dilakukan semata-mata hanya untuk menggejar target penerimaan negara (Subroto, 2020).
Itikad baik dari otoritas pajak dapat tercermin dari transparansi dan kredibilitas hasil audit yang dilakukan. Di sisi lain, laporan audit yang komprehensif juga memberikan kesempatan bagi wajib pajak untuk menyampaikan klarifikasi atau justifikasi atas transaksi-transaksi tertentu.
Pada akhirnya, penyelarasan kewenangan otoritas pajak dengan independensi bisnis sangat penting dilakukan meskipun tantangannya cukup kompleks. Hal ini bisa dimulai dari batasan serta standar yang jelas agar perusahaan dapat menjalankan strategi bisnis tanpa takut adanya intervensi berlebihan dari otoritas pajak.
Dengan demikian, Indonesia dapat menciptakan iklim bisnis yang kondusif dan adil. Situasi ini pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih baik sambil tetap memastikan kepatuhan pajak optimal.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis internal bertajuk Gagasan Pajak dalam Satu Pena DDTC. Lomba ini merupakan bagian dari acara peringatan HUT ke-17 DDTC. (kaw)
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.