STATISTIK PAJAK DIGITAL

Meninjau Dampak Batasan Nexus pada Alokasi Laba MNE

Redaksi DDTCNews | Selasa, 03 November 2020 | 15:52 WIB
Meninjau Dampak Batasan Nexus pada Alokasi Laba MNE

SECARA garis besar, rilis Organisation of Economic Co-operation and Development (OECD) yang berjudul Tax Challenges Arising from Digitalisation Economic Impact Assessment memaparkan implikasi ekonomi serta penerimaan pajak dari pelaksanaan proposal pilar pertama dan pilar kedua.

Kedua proposal tersebut merupakan bagian dari upaya mengatasi berbagai tantangan di dunia perpajakan yang muncul akibat adanya digitalisasi ekonomi. Selain itu, proposal-proposal ini juga menjadi bahasan penting OECD/G20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS).

Pada prinsipnya, pilar pertama mengedepankan alokasi pemajakan yang adil antaryurisdiksi sehingga berujung pada penerimaan pajak global yang optimal. OECD membedakan perusahaan multinasional (multinational enterprises/MNE) ke dalam tiga kelompok, yaitu automated digital services (ADS), consumer facing business (CBF), dan MNE cakupan lainnya.

Aturan baru nexus melibatkan batasan (threshold) pendapatan MNE untuk menentukan kehadiran ekonomi signifikan (significant economic presence) di yurisdiksi tertentu. Hal ini diharapkan dapat memberikan hak pemajakan atas pendapatan MNE yang melebihi batasan nexus oleh otoritas pajak setempat.

OECD menggunakan pendekatan model probabilistik dalam mengestimasi dampak dari batasan nexus di berbagai yurisdiksi pada alokasi laba residu MNE. Pendekatan ini relatif bersifat asumtif dengan melibatkan simulasi penghitungan yang didasari oleh tiga batasan ilustratif nexus yang berbeda, yakni EUR1 juta, EUR3 juta, dan EUR5 juta.

Tabel berikut menjabarkan hasil penghitungan dampak batasan nexus pada alokasi laba residu MNE berdasarkan besaran ekonomi yang tercermin dalam produk domestik bruto (PDB). Adapun MNE yang dilibatkan dalam simulasi penghitungan merupakan gabungan dari ADS dan CBF yang memiliki pendapatan global di atas EUR750 juta.


Hasil simulasi penghitungan memperlihatkan pengaruh batasan nexus di kawasan dengan besaran ekonomi kecil lebih signifikan dibandingkan kawasan dengan besaran ekonomi yang lebih besar.

Untuk negara dan yurisdiksi dengan PDB kurang dari US$4,3 miliar, batasan sebesar EUR1 juta berpotensi mengurangi alokasi laba residu MNE hingga 61,1%. Sementara itu, batasan sebesar EUR3 juta dan EUR 5 juta masing-masing dapat mengurangi alokasi laba residu hingga sekitar 85% dan 92%.

Di lain pihak, negara dan yurisdiksi dengan PDB antara US$4,3 miliar hingga US$22 miliar mengalami penurunan alokasi laba residu sebesar 11% (EUR1 juta), 25% (EUR3 juta), dan 35% (EUR5 juta) akibat adanya batasan yang dimaksud.

Menariknya, efek batasan nexus semakin mengecil di grup-grup selanjutnya, yakni hanya mencapai sekitar 13% (grup ketiga), 5% (grup keempat), dan 0% (grup kelima). Hal ini menyiratkan makin besar ekonomi suatu negara/yurisdiksi, batasan nexus yang diterapkan kurang memberikan dampak yang signifikan pada alokasi laba residu MNE.

Tak ketinggalan, makin besar batasan nexus maka makin tinggi pula penurunan alokasi laba residu MNE. Artinya, batasan yang kecil cenderung menginsentif MNE untuk menjadikan suatu yurisdiksi sebagai “tampungan” alokasi laba residu dibandingkan dengan negara dan yurisdiksi dengan batasan yang lebih tinggi.

Hal ini kemungkinan disebabkan oleh risiko pemajakan yang lebih tinggi di kawasan dengan batasan kecil sehingga MNE tidak perlu berhati-hati dalam mengalokasi laba residu dibandingkan kawasan yang memiliki batasan tinggi.

Dengan adanya hasil ini, otoritas pajak di berbagai negara dan yurisdiksi setidaknya memiliki gambaran kasar mengenai efektivitas penerapan proposal pilar pertama. Namun demikian, hasil estimasi ini hanya merupakan suatu rentang besaran asumtif yang memperhitungkan potensi implikasi batasan apabila diterapkan di masa-masa mendatang.*

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 18 Oktober 2024 | 15:30 WIB SERBA-SERBI PAJAK

Langganan Platform Streaming Musik, Kena PPN atau Pajak Hiburan?

Rabu, 16 Oktober 2024 | 13:20 WIB BUKU PAJAK

Meninjau Aspek Keadilan dari Konsensus Pajak Minimum Global

Rabu, 09 Oktober 2024 | 16:17 WIB KONSENSUS PAJAK GLOBAL

Penerapan Pilar 1 Amount A Butuh Aturan yang Berkepastian Hukum Tinggi

Rabu, 09 Oktober 2024 | 13:45 WIB LITERATUR PAJAK

Menginterpretasikan Laba Usaha dalam P3B (Tax Treaty), Baca Buku Ini

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:45 WIB KABINET MERAH PUTIH

Tak Lagi Dikoordinasikan oleh Menko Ekonomi, Kemenkeu Beri Penjelasan

Selasa, 22 Oktober 2024 | 13:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kenaikan Tarif PPN Perlu Diikuti dengan Transparansi Belanja