PAJAK INTERNASIONAL

Mengulik Harta Karun di Negara Tax Havens

Redaksi DDTCNews | Rabu, 10 Mei 2017 | 16:45 WIB
Mengulik Harta Karun di Negara Tax Havens

“Why the Rich are Staying Rich?”

PERTANYAAN umum tersebut menjadi pembuka buku yang berjudul Treasure Islands: Tax Havens and the Men who Stole the World yang ditulis oleh Nicholas Shaxson tahun 2011 silam. Dalam bukunya, Shaxson mengatakan adanya peran dari negara-negara tax haven (surga pajak) menjadi salah satu penyebab mengapa orang kaya di dunia semakin kaya.

Hingga saat ini, tidak ada definisi yang pasti mengenai apa itu tax havens? Pada bagian awal buku ini Shaxson menjelaskan definisi tax havens secara luas. Tax havens adalah sebuah tempat atau negara yang berusaha menarik uang dengan menawarkan sejumlah fasilitas yang stabil secara politis untuk membantu individu atau perusahaan dalam mengatasi peraturan atau Undang-Undang di negara lain.

Baca Juga:
Download! PDF Buku Baru DDTC: Gagasan Perpajakan untuk Prabowo-Gibran

Ada dua alasan mengapa Shaxson mendefinisikan tax havens secara luas. Pertama, bertujuan untuk menentang gagasan umum yang menyatakan bahwa sangat baik bagi suatu yurisdiksi untuk menjalankan hak kedaulatannya untuk menjadi kaya dengan merongrong hukum dan peraturan di negara lain.

Kedua, untuk Shaxson menawarkan sebuah lensa untuk melihat sejarah dunia modern, dimana definisi tax havens tersebut dapat menunjukkan bagaimana sistem offshore bukan hanya sebagai pelengkap warna-warni dipinggiran ekonomi global, tetapi juga terletak pada pusat ekonomi dunia.

Sementara, definisi umum lainnya tentang tax havens yang harus disoroti dari sisi pajak yakni sebuah penanda bagi suatu negara yang menerapkan tarif pajak individu maupun perusahaan dengan sangat rendah atau bahkan pajak dengan tarif 0%. Individu atau perusahaan akan menggunakan fasilitas tersebut dengan tujuan untuk menghindari pajak, baik secara legal maupun illegal.

Baca Juga:
Dibagikan Gratis, 2 Buku DDTC ITM 2024 Dwibahasa Telah Diluncurkan

Tax havens tidak hanya menawarkan pelarian pajak, tapi juga sebagai wadah yang menyediakan fasilitas bagi para kaum elite atau orang-orang kaya dan berkuasa untuk menjaga kerahasiaannya dan melakukan segala cara untuk mengabaikan hukum dan kewajibannya.

Lebih lanjut, dalam buku ini Shaxson memperkirakan bahwa terdapat sekitar US$12 triliun atau seperempat dari kekayaan dunia tidak terjangkau di tempat yang bebas pajak tersebut (tax havens). Setiap perusahaan yang tercantum dalam The Financial Times Stock Exchange (FTSE) 100 pasti memiliki anak perusahaan atau mitra yang berlokasi di negara tax havens.

Saat ini, kita semua pasti sudah tidak asing lagi dengan nama-nama negara yang terkait dengan kasus penghindaran pajak. Berikut beberapa daftar negara yang dijuluki sebagai negara tax havens. Pertama, adalah negara bekas jajahan kekaisaran Inggris, yakni Jersey, Guernsey, Isle of Man, Caymans, Kepulauan Turks dan Caicos, Gibraltar, Irlandia dan Hong Kong.

Baca Juga:
Meninjau Aspek Keadilan dari Konsensus Pajak Minimum Global

Kedua adalah Swiss, Luksemburg, Lichtenstein dan Monaco. Ketiga adalah "sisanya" yaitu Panama, Gabon dan pendatang baru seperti Belanda dan Ghana. Jadi, pada dasarnya, kita memiliki koleksi tempat-tempat yang berguna bagi mereka yang ingin memaksimalkan keuntungannya dengan lari dari kewajiban pajaknya.

Ada salah satu bab yang menarik dalam buku ini yang menceritakan tentang keluarga Vestey dan bagaimana mereka melindungi kekayaan mereka dengan menggunakan sistem kepercayaan offshore yang sederhana namun efektif. Uniknya keluarga Vestey tidak melakukannya sendiri.

Keluarga Vestey menerapkan dua aturan utama dalam bisnis yang mereka jalani yaitu pertama, “jangan pernah mengungkapkan apa yang anda rencanakan”. Kedua, “jangan biarkan orang lain melakukan sesuatu untuk anda jika anda bisa melakukannya sendiri”.

Baca Juga:
DDTC Segera Terbitkan Buku Gagasan Perpajakan untuk Prabowo-Gibran

Dengan menggunakan sistem offshore, keluarga Vestey memberi nama yang berbeda kepada perusahaannya untuk menyamarkan kepemilikan dan membeli saingannya, dan jika ada yang menolak, keluarga Vestey akan menggunakan kekuatan pasar yang berasal dari rantai pasokan yang mereka miliki untuk mengusir pesaing lainnya dari rantai bisnis tersebut.

Shaxson memaparkan bahwa kita harus memerangi sistem offshore yang saat ini marak digunakan untuk tujuan penghindaran pajak. Terdapat sepuluh area utama yang dapat kita rubah, yaitu:

  • Pentingnya melakukan transparansi;
  • Prioritaskan kebutuhan negara-negara berkembang;
  • Hadapi spiderweb Inggris, elemen tunggal yang paling penting dan paling agresif dalam sistem offshore secara global;
  • Onshore tax reform;
  • Kepemimpinan dan tindakan sepihak;
  • Menangani perantara dan pengguna swasta atas offshore di luar negeri;
  • Perhatian khusus terhadap sektor keuangan sebagai area reformasi yang luas;
  • Memikirkan ulang tanggung jawab perusahaan;
  • Mengevaluasi kembali peringkat korupsi negara; dan
  • Mengubah budaya di masing-masing negara.

Di akhir buku, Shaxson mengeluarkan seruan untuk memberikan senjata kepada pemerintah dan regulator untuk menghapuskan tax haven di berbagai negara.

Baca Juga:
Panduan Lengkap Belajar Pajak: Baca 3 Buku DDTC Ini

Pada initinya buku ini berfokus pada bagaimana suatu individu atau perusahaan yang memanfaatkan offshore company pada negara-negara tax havens untuk memberikan keuntungan dalam hal menghindari besarnya kewajiban pajak yang harus ditanggung. Serta perlawanan negara-negara untuk membatasi masalah tersebut.

Tertarik untuk tahu lebih lanjut? Buku ini dapat dibaca dengan mengunjungi DDTC Library.

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 18 Oktober 2024 | 10:45 WIB HUT KE-17 DDTC

Download! PDF Buku Baru DDTC: Gagasan Perpajakan untuk Prabowo-Gibran

Kamis, 17 Oktober 2024 | 10:30 WIB DDTC EXCLUSIVE GATHERING 2024

Dibagikan Gratis, 2 Buku DDTC ITM 2024 Dwibahasa Telah Diluncurkan

Rabu, 16 Oktober 2024 | 13:20 WIB BUKU PAJAK

Meninjau Aspek Keadilan dari Konsensus Pajak Minimum Global

Selasa, 08 Oktober 2024 | 16:00 WIB HUT KE-17 DDTC

DDTC Segera Terbitkan Buku Gagasan Perpajakan untuk Prabowo-Gibran

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:45 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

Sah! Misbakhun Terpilih Jadi Ketua Komisi XI DPR 2024-2029

Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

PPN Mestinya Naik Tahun Depan, Gerindra akan Bahas Bareng Kemenkeu

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN