LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2021

Mengoptimalkan Penerimaan Pajak dari Digitalisasi Ekonomi

Redaksi DDTCNews | Senin, 20 September 2021 | 16:04 WIB
Mengoptimalkan Penerimaan Pajak dari Digitalisasi Ekonomi

Surono,
Pati, Jawa Tengah

MENTERI Keuangan dan Ekonomi Italia Daniele Franco menyatakan dukungannya terhadap solusi atas tantangan perpajakan yang timbul akibat digitalisasi ekonomi. Hal ini disampaikan dalam pertemuan G-20 Finance Ministers and Central Bank Governors (FMCBGs) 2021, 9-10 Juli 2021 di Venice, Italia.

Solusi atas tantangan pajak akibat digitalisasi ekonomi tercantum dalam pernyataan yang telah dirilis oleh OECD/G-20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (BEPS).

Solusi yang dimaksud adalah realokasi laba perusahaan multinasional yang dapat dipajaki tanpa menuntut kehadiran fisik (Pilar 1) dan pajak minimum global yang efektif untuk menghindari BEPS (Pilar 2). Perincian teknis kedua pilar akan dibahas lebih lanjut pada Oktober 2021.

FMCBGs 2021 yang dihadiri seluruh menteri keuangan dan bank sentral, termasuk dari Indonesia, menjadi momentum sangat penting. Hal ini dikarenakan sebagai negara pasar, Indonesia mempunyai potensi besar terkait dengan pajak dari digitalisasi ekonomi yang makin marak.

Sayangnya, potensi tersebut harus hilang karena praktik BEPS. Potensi penerimaan negara setara 4%-10% dari total produk domestik bruto (PDB) secara global diestimasi hilang. Jika melihat PDB Indonesia pada kuartal I/2021, jumlahnya mencapai Rp3.969,1 triliun (Kemenkeu, 2021).

Atas besaran PDB tersebut dan disandingkan dengan perkiraan World Bank, kerugian potensi pajak sekitar Rp158 triliun hingga Rp396 triliun. Proyeksi itu belum sampai ke akhir tahun yang bisa jadi makin besar potensi kerugiannya.

Sebenarnya, skema pajak terhadap digitalisasi ekonomi telah diterapkan terhadap perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) sesuai dengan Undang-Undang (UU) 2/2020. Setidaknya ada 3 jenis pajak atas transaksi PMSE.

Ketiga jenis pajak yang dimaksud adalah pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan (PPh) dengan pendefinisian ulang bentuk usaha tetap (BUT), serta pajak transaksi elektronik (PTE) apabila tidak terutang PPh badan karena perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) antarnegara.

Namun, hingga saat ini, pemerintah baru menerapkan PPN. Sudah 83 badan usaha yang ditunjuk sebagai pemungut PPN produk digital dalam PMSE. Menurut penulis, banyak perusahaan yang belum terjangkau sebagai pemungut PPN dan mempunyai kewajiban PPh atas pendapatan yang bersumber dari Indonesia.

Salah satu contohnya adalah Match Group. Perusahaan Amerika Serikat (AS) ini mempunyai produk aplikasi kencan bernama Tinder. Aplikasi ini berada pada peringkat ke-10 terlaris pada kategori gaya hidup (perangkat android) dan peringkat ke-2 (perangkat iPhone).

Sensor Tower (2021) menyebut pendapatan Tinder sebulan terakhir mencapai US$13 juta atau sekitar Rp188,67 miliar. Jumlah unduhan menyentuh 4 juta melalui android. Jika digabungkan dengan pengguna Tinder di Apple Store, pendapatan total bisa mencapai US$65 juta atu sekitar Rp754,67 miliar dengan total unduhan sebanyak 7 juta.

Berdasarkan pada proporsi pembagian pendapatan, pengembang aplikasi mendapat hak dengan porsi 70% dari total pendapatan dan 30% sisanya adalah hak toko, baik Google Play Store maupun Apple App Store (Utami, 2021).

Kita ambil contoh pada pendapatan Tinder dan Google Play Store (Android). Tinder Inc. sebagai pengembang mendapat porsi Rp132,06 miliar (70% dari total Rp188,67 miliar). Proporsi 30% sisanya, yakni Rp56,61 miliar menjadi hak pendapatan Google Play Store.

Dari jumlah pendapatan tersebut, tentu saja ada porsi pajak yang seharusnya menjadi hak otoritas pajak Indonesia. Hak diperoleh dari penggunaan aplikasi oleh warga negara Indonesia atau penggunaan dari wilayah Tanah Air.

Sebagian hak pemajakan tersebut bisa saja ditagihkan ke Tinder Inc. ataupun Google Inc. selaku penerima pendapatan sesuai dengan porsi masing-masing. Akan tetapi, sistem hukum kita belum memfasilitasi implementasi hal tersebut.

KONDISI tersebut dikarenakan adanya hambatan syarat bentuk usaha tetap (BUT) secara fisik dan fokus pengenaan belum mengarah pada PPh. Organisasi internasional pun belum mencapai kesepakatan terkait dengan redefenisi BUT.

Tanpa Kehadiran Fisik

KONSENSUS yang melibatkan negara-negara G-20 dan OECD menyepakati atas laba perusahaan multinasional dapat dipajaki tanpa kehadiran fisik di negara sumber dan dikenakan tarif pajak minimum global.

Hal tersebut selaras dengan penerbitan hukum domestik kita untuk mendorong keadilan dan optimalisasi pemajakan dalam pemulihan ekonomi nasional. Salah satunya dilakukan melalui pajak digital.

Pemerintah Indonesia juga sedang mengajukan revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Sebelum pengesahan hukum domestik, pemerintah punya tugas dalam negosiasi ataupun usulan terhadap perincian ketentuan kedua pilar yang disepakati paada Oktober nanti.

Dalam lingkup yang lebih kecil, ada negara yang telah menerapkan kesepakatan prinsip tersebut. Negara itu adalah Amerika Serikat dengan tax nexus-nya. Sengketa pernah terjadi. Mahkamah Agung AS memenangkan otoritas dalam kasus South Dakota melawan Wayfair Inc..

Mereka memutuskan penjual dalam jumlah bisnis yang signifikan di suatu negara bagian mungkin diharuskan untuk memungut dan menyetorkan pajak meskipun tidak memiliki kehadiran fisik di negara bagian tersebut (South Dakota v. Wayfair, Inc., 2018).

Setidaknya, para hakim mendasarkan putusan pada 2 pendapat. Pertama, kehadiran fisik bukanlah interpretasi hubungan substansial dengan negara bagian yang mengenakan pajak. Pernyataan tersebut bisa diartikan hubungan substansial seharusnya berdasarkan pada manfaat ekonomi yang diperoleh suatu entitas di negara sumber.

Kedua, bisnis dengan kehadiran fisik dapat dikatakan mengalami kerugian kompetitif dibandingkan dengan penjual jarak jauh (atau secara daring saja). Kerugian tersebut bisa berupa biaya pembukaan perusahaan baru, biaya operasional, rekrutmen pegawai, dan lain sebagainya. Biaya-biaya tersebut tentunya bisa tidak ada jika perusahaan hanya beroperasi secara digital.

Berdasarkan pada kasus-kasus yang pernah terjadi, Indonesia sebagai negara pasar tentu punya bargain power terkait dengan pengoptimalan pajak atas kegiatan digital ini. Sinergi antara otoritas pajak, organisasi internasional, dan lembaga hukum yang menangani kemungkinan-kemungkinan sengketa perpajakan adalah kuncinya.

Segala keputusan dan kebijakan yang diambil harus didasarkan pada prinsip keadilan dalam perlakuan, tanpa diskriminasi. Apabila semua berjalan sesuai harapan, penerimaan negara dari laba perusahaan multinasional dapat digenjot secara maksimal. Efek signifikan setidaknya terasa pada 2023.

Sementara itu, sekarang, implementasi pajak digital atas PMSE akan makin maksimal. Hal ini dikarenakan negara-negara secara global, tidak terkecuali Indonesia, telah duduk bersama dan bersepakat mengenai solusi atas masalah hak pemajakan mereka.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

BERITA PILIHAN