FILOSOFI PAJAK

Mengapa Orang Kaya Semakin Sulit Dipajaki?

Redaksi DDTCNews | Jumat, 28 Oktober 2016 | 18:02 WIB
Mengapa Orang Kaya Semakin Sulit Dipajaki?

FILOSOFI mengenai pajak memang selalu kental dengan perdebatan, terutama ketika dikaitkan dengan masalah keadilan. Ketimpangan pendapatan dalam masyarakat menciptakan tekanan agar pajak semakin dibebankan pada orang kaya, dan sebaliknya meringankan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.

Hal ini mendorong agar kebijakan perpajakan tidak hanya ditujukan untuk tujuan penerimaan, namun juga pemerataan distribusi pendapatan masyarakat yang dianggap mencerminkan keadilan itu sendiri.

Ditinjau dari sejarahnya, kelompok pemikir liberal beranggapan bahwa pemerintah harus menghargai hasil kerja keras orang kaya, dan jangan sampai pajak justru mengurangi semangat masyarakat untuk bekerja keras. Pada akhirnya argumen tersebut menuntun kepada perdebatan untuk mempertanyakan definisi keadilan itu sendiri.

Baca Juga:
Download! PDF Buku Baru DDTC: Gagasan Perpajakan untuk Prabowo-Gibran

Salah satu pertanyaan yang paling sering didebatkan adalah: haruskah setiap orang memiliki beban tarif pajak yang berbeda yang disesuaikan dengan kemampuan, sehingga baru dapat dikatakan adil? Atau justru setiap orang berhak memiliki beban pengenaan tarif pajak yang sama?

Oleh kelompok liberal, atau yang biasa disebut The Right Wing, sistem pajak yang sangat membebani orang kaya dinilai mencederai keadilan itu sendiri.

Pendapat itu diutarakan oleh salah satu pemikir politik dan ekonomi Inggris pada abad 20, John Stuart Mill, yang juga salah satu pendukung demokrasi dan kebebasan. Filsuf tersebut setuju jika orang kaya harus membayar pajak lebih tinggi selama dalam progresivitas tarif pajak penghasilan yang tidak terlalu tinggi.

Baca Juga:
Dibagikan Gratis, 2 Buku DDTC ITM 2024 Dwibahasa Telah Diluncurkan

Pada intinya, kaum ini berpendapat setiap orang berhak mendapatkan perlakuan tarif pajak yang sama. Jika suatu individu dikenakan tarif pajak yang semakin tinggi seiring bertambahnya pendapatan, sama saja kekayaan tambahan mereka “dicuri” dan mengurangi motivasi masyarakat untuk menjadi produktif.

Lalu, bagaimana dengan pendapat kaum sosialis?

Seiring perkembangan zaman, pendapat mereka cenderung berubah-ubah, dan sering dianggap tidak konsisten oleh kelompok liberal. Kenneth Scheve dan David Stasavage dalam buku Taxing the Rich memaparkan secara mendalam dua alasan mereka yang menuntut agar orang kaya dikenakan pajak setinggi-tingginya.

Baca Juga:
Tersisa 2 Bulan untuk Manfaatkan PPN Rumah 100% Ditanggung Pemerintah

Pertama, yaitu compensatory theory. Teori ini beranggapan bahwa golongan orang kaya selalu menerima perlakuan yang lebih baik dari pemerintah, baik itu secara langsung maupun tidak langsung. Contohnya, mereka memiliki akses yang lebih baik dari fasilitas publik yang disediakan pemerintah. Selain itu, orang kaya juga cenderung memiliki akses dan hubungan yang lebih baik dengan pemerintah.

Maka tidak mengherankan jika pandangan ini berpendapat bahwa golongan masyarakat kaya seharusnya membayar dengan tarif lebih tinggi dibanding masyarakat pada umumnya. Hal ini dipandang sebagai kompensasi atas pengorbanan mereka agar sebanding dengan situasi yang dialami oleh lapisan masyarakat lainnya.

Pandangan ini mendominasi sistem perpajakan di berbagai negara Eropa dan Amerika Serikat, terutama pada masa Perang Dunia I dan II. Pada kurun waktu tersebut, kaum muda yang mayoritas merupakan masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah dikenakan wajib militer untuk turut berperang membela negara.

Baca Juga:
Meninjau Aspek Keadilan dari Konsensus Pajak Minimum Global

Melihat pengorbanan yang begitu besar dan melibatkan nasib hidup mati banyak orang, tuntutan sosial tertuju pada orang-orang kaya pada saat itu. Walaupun tidak harus mengorbankan hidup, mereka dituntut untuk “setidaknya” mengorbankan sebagian besar harta mereka untuk membiayai perang melalui pajak yang dibayar.

Setelah masa perang, orang kaya juga dianggap sebagai golongan yang dianggap paling menikmati perdamaian. Situasi masa ‘damai’ yang lebih kondusif untuk kelancaran bisnis orang kaya menjadi alasan agar mereka dipajaki lebih tinggi.

Kedua, yaitu konsep kemampuan membayar (ability to pay). Dalam perspektif ini, orang kaya dinilai perlu dikenakan tarif pajak lebih tinggi semata-mata karena memiliki kemampuan yang lebih besar ketimbang masyarakat pada umumnya. Semakin tinggi kemampuan finansial seseorang, maka makin tinggi juga kewajiban sosialnya untuk menolong masyarakat yang kurang mampu secara finansial.

Baca Juga:
DDTC Segera Terbitkan Buku Gagasan Perpajakan untuk Prabowo-Gibran

Akhirnya, perbedaan pemahaman mengenai definisi keadilan dalam pengenaan pajak selalu perdebatan antara dua kubu tersebut. Wajar saja, karena kaum liberal memegang prinsip bahwa setiap orang layak mendapatkan penghidupan sesuai usaha kerja kerasnya, sedangkan kaum sosialis percaya bahwa orang yang berpenghasilan lebih tinggi memiliki tanggung jawab sosial untuk menolong orang yang berpenghasilan rendah.

Bagaimana prospek keberadaan pajak terhadap orang kaya di masa mendatang? Kedua penulis tersebut berpendapat bahwa orang kaya akan semakin sulit dipajaki. Hal ini dikarenakan semakin tidak relevannya konsep compensatory theory pada saat ini yang cenderung berada pada saat damai atau tidak ada perang dalam skala besar.

Selain itu, semakin bertambahnya kebijakan pemerintah yang berpihak pada orang miskin juga menyebabkan konsep tersebut semakin kurang relevan. Akhirnya, hanya konsep ability to pay yang masih menjadi sumber alasan kuat bagi kaum sosialis untuk memajaki orang kaya.

Untuk memahami alasannya secara menyeluruh, silakan membaca buku yang diterbitkan oleh Princeton University Press pada 2016 ini di DDTC Library. (Amu)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Jumat, 18 Oktober 2024 | 10:45 WIB HUT KE-17 DDTC

Download! PDF Buku Baru DDTC: Gagasan Perpajakan untuk Prabowo-Gibran

Kamis, 17 Oktober 2024 | 10:30 WIB DDTC EXCLUSIVE GATHERING 2024

Dibagikan Gratis, 2 Buku DDTC ITM 2024 Dwibahasa Telah Diluncurkan

Kamis, 17 Oktober 2024 | 09:05 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Tersisa 2 Bulan untuk Manfaatkan PPN Rumah 100% Ditanggung Pemerintah

Rabu, 16 Oktober 2024 | 13:20 WIB BUKU PAJAK

Meninjau Aspek Keadilan dari Konsensus Pajak Minimum Global

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:45 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

Sah! Misbakhun Terpilih Jadi Ketua Komisi XI DPR 2024-2029

Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

PPN Mestinya Naik Tahun Depan, Gerindra akan Bahas Bareng Kemenkeu

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN