OPINI PAJAK

Mengakselerasi Kebijakan Pajak Ekonomi Digital

Selasa, 11 Agustus 2020 | 09:20 WIB
Mengakselerasi Kebijakan Pajak Ekonomi Digital

Arief Hakim P. Lubis, Pegawai Ditjen Pajak

TEKNOLOGI informasi dan komunikasi berkembang dengan sangat cepat dan mentransformasi banyak aktivitas ekonomi konvensional. Transformasi yang dikenal dengan digitalisasi ekonomi ini membentuk beragam model bisnis baru yang belum pernah ada sebelumnya.

Teknologi artificial intelligence, internet of things, blockchain, hingga big data and analytics membawa perubahan pada banyak proses bisnis. Hadirnya cryptocurrency seperti bitcoin serta berkembangnya sharing and gig economy turut menambah hegemoni ekonomi digital.

Perkembangan ini menghadirkan tantangan baru di bidang perpajakan, seperti penentuan dasar pengenaan (nexus) atas kehadiran ekonomi pada suatu yuridiksi, ketergantungan pada aset tidak berwujud, kehadiran model bisnis baru, hingga transaksi lintas yuridiksi (Hadzhieva, 2019).

Digitalisasi memungkinkan terjadinya transaksi tanpa kehadiran fisik. Perusahaan dapat melakukan penjualan dan meraih laba tanpa hadir di negara konsumen. Kondisi ini menyulitkan penentuan di mana nilai tambah diperoleh. Akibatnya, timbul kerancuan yuridiksi mana yang berhak memajaki.

Sistem perpajakan saat ini masih mengandalkan kehadiran fisik sebagai dasar subjek pajak. Celah ini banyak dimanfaatkan perusahaan multinasional khususnya raksasa teknologi digital untuk menghindari pajak dan mengalihkan kewajibannya ke yuridiksi dengan tarif rendah.

Pada dasarnya, digitalisasi tidak menimbulkan bentuk penghindaran pajak yang benar-benar baru. OECD menyebutkan beberapa fitur ekonomi digital memperburuk risiko pada skema penggerusan basis pemajakan dan pengalihan keuntungan/base erosion and profit shifting (BEPS).

Kebijakan Futuristik
ERA ekonomi digital dimulai seiring dengan kehadiran World Wide Web (www) pada 1990-an. Fenomena ini terus berkembang dan menghadirkan beragam bisnis baru seperti e-commerce, periklanan online, hingga cloud computing.

Mengantisipasi isu perpajakan yang timbul dari digitalisasi, OECD pada 1998 telah melaksanakan konferensi tingkat menteri di Ottawa, Kanada, yang menghasilkan kerangka perpajakan berjudul Electronic Commerce: Taxation Framework Conditions.

Dua dekade setelahnya, perdebatan pemajakan digital belum juga menghasilkan konsensus. OECD dan G20 masih berembuk mencari kesepakatan memajaki ekonomi digital. Hal ini menunjukkan kebijakan dan sistem perpajakan saat ini belum mengimbangi laju perkembangan ekonomi digital.

Ekonomi digital berevolusi dan mendisrupsi banyak aspek. Ekonomi digital tumbuh eksponensial dan terjadi pembauran cepat pada teknologi digital (Hadzhieva, 2019). Ia mendisrupsi dunia pekerjaan, mengubah sistem perdagangan dan meningkatkan jumlah pekerja bebas. (McKinsey, 2019)

Perubahan tersebut menimbulkan pertanyaan akan eksistensi sistem perpajakan saat ini. Cepatnya evolusi ekonomi digital memicu kekhawatiran instrumen perpajakan yang dikenalkan saat ini bisa saja dengan cepat ditinggalkan evolusi ekonomi digital selanjutnya (Jones et al., 2018).

Karena itu, otoritas pajak, akademisi serta praktisi di bidang perpajakan sebaiknya duduk bersama memikirkan rancangan kebijakan serta sistem perpajakan yang dapat diaplikasikan mengikuti perkembangan ekonomi digital di masa depan.

Rancangan tersebut ditujukan untuk mengatasi penghindaran pajak, mengamankan penerimaan negara serta tidak mendistorsi keputusan dunia usaha dalam berinvestasi dan mengembangkan bisnisnya.

Kebijakan dan sistem yang dirancang itu harus dapat mengantisipasi hadirnya beragam model bisnis baru termasuk bisnis multi-sided, menyepakati dasar pengenaan (nexus) atas suatu kehadiran ekonomi, serta menentukan hak pemajakan dalam transaksi lintas yuridiksi.

Hal yang tidak kalah penting mengadopsi teknologi digital pada sistem administrasi perpajakan. Digitalisasi perpajakan menjadi tidak terhindarkan di era serba digital ini. Teknologi digital dapat dimanfatkan dalam penegakan hukum dan mengatasi perencanaan pajak agresif (Cockfield, 2014).

Kolaborasi Internasional
KONSENSUS global sangat dibutuhkan untuk mengatasi tantangan perpajakan di tengah digitalisasi ekonomi. Konektivitas yang semakin tinggi membuat negara-negara sulit mengatasi risiko yang timbul tanpa adanya kesepakatan internasional.

Kedaulatan pajak tiap yuridiksi memang harus dihormati. Namun, aksi unilateral yang dilakukan dapat memicu kompetisi pajak dan retaliasi. Tanpa konsensus, aksi ini berpotensi menimbulkan pajak berganda yang akhirnya merugikan serta menghambat dunia usaha untuk terus berkembang.

Di tengah kebutuhan dana untuk mengatasi krisis akibat pandemi Covid-19, pemajakan ekonomi digital menjadi sangat mendesak direalisasikan. World Economic Forum (WEF) mengestimasi nilai yang dihasilkan dari transformasi digital secara global akan mencapai US$100 triliun pada 2025.

Ekonomi digital akan terus bertumbuh. Akselerasi pada kebijakan serta sistem perpajakan perlu dilakukan untuk mengimbangi laju evolusi ekonomi digital. Dengan penerapan kebijakan dan sistem yang tepat, tantangan perpajakan yang timbul akan dapat diatasi dengan baik.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Kamis, 12 Desember 2024 | 17:55 WIB KEBIJAKAN PAJAK

DJP Tunjuk Amazon Jepang Hingga Huawei Jadi Pemungut PPN PMSE

Selasa, 19 November 2024 | 18:30 WIB PENERIMAAN PAJAK

Pemerintah Sudah Kumpulkan Pajak Sektor Digital Hingga Rp29,97 Triliun

Selasa, 12 November 2024 | 09:57 WIB OPINI PAJAK

Terbitnya PMK 79/2024 Perjelas Aspek Pajak Kerja Sama Operasi (KSO)

Jumat, 18 Oktober 2024 | 15:30 WIB SERBA-SERBI PAJAK

Langganan Platform Streaming Musik, Kena PPN atau Pajak Hiburan?

BERITA PILIHAN