Boy Valentin Purba
,TIDAK diperdebatkan lagi, negara-negara berkembang seperti Indonesia sangat membutuhkan investasi untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah melakukan berbagai cara untuk menarik investasi asing karena keterbatasan penanaman modal dalam negeri.
Salah satu cara ditempuh melalui kebijakan perpajakan. Pemerintah memberi insentif pajak (tax incentive) dan tingkat tarif pajak (tax rate) yang kompetitif. Oleh sebab itu, dalam beberapa dekade terakhir, terdapat tren peningkatan pemberian insentif pajak dan tren penurunan tarif pajak (race to the bottom).
Tren tersebut telah membuat banyak negara kehilangan potensi penerimaan pajak dari perusahaan multinasional (PMN). Oleh karena itu, negara-negara maju dan berkembang sepakat menghentikan tren tersebut agar penerimaan negara meningkat. Tujuannya untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan membantu pendanaan penanganan covid-19.
Kesepakatan untuk menghentikan tren tersebut dicapai melalui pertemuan virtual Inclusive Framework on BEPS OECD pada 1 Juli 2021. Sebanyak 131 negara (per 5 Juli 2021) menyepakati hak pemajakan yang adil melalui penerapan tarif pajak efektif (effective tax rate/ETR) minimum sebesar 15%.
ETR minimum global ini akan berlaku bagi PMN dengan pendapatan kotor di atas €750 juta atau sekitar Rp12,8 triliun. ETR sendiri merupakan perbandingan antara total pajak atas laba perusahaan yang dibayar kepada pemerintah dan laba komersial sebelum pajak.
Ketika ketentuan ini diberlakukan, setiap anak perusahaan dari PMN diharapkan akan membayar pajak penghasilan (PPh) badan setidaknya sebesar 15%. Batasan ini tentu mudah dicapai anak perusahaan yang ada di Indonesia karena tarif PPh badan sekarang adalah 22%, lebih tinggi dari tarif minimum 15%.
Namun, anak perusahaan tersebut kemungkinan membayar kurang dari tarif pajak efektif minimum karena memanfaatkan insentif pajak yang diberikan pemerintah Indonesia. Setidaknya ada 2 kategori insentif pajak yang diberikan. Kedua kategori ini kemungkinan akan terkena dampak akibat penerapan tarif pajak efektif minimum.
Kategori pertama adalah insentif yang tidak mengurangi atau tidak menghilangkan pajak yang dibayarkan atas keuntungan yang diperoleh. Salah satu contoh dari kategori insentif ini adalah penyusutan atau amortisasi dipercepat.
Insentif ini hanya bersifat menunda pajak terutang akibat perbedaan pengakuan antara komersial dan fiskal. Pemerintah Indonesia memberikan jenis insentif ini melalui penerbitan PMK 11/2020. Karena sifatnya hanya menunda pembayaran, insentif jenis ini tidak terlalu terpengaruh penerapan tarif pajak efektif minimum.
Kategori kedua adalah insentif berupa pengurangan, bahkan penghapusan pajak yang seharusnya dibayar dalam jangka waktu tertentu. Beberapa contoh insentif terkait kategori kedua ini yaitu tax holiday, tax allowance, tarif preferensi, dan superdeduction.
Pemerintah Indonesia sendiri telah memberikan beberapa jenis insentif tersebut. Sebagai contoh, ada tax holiday umum, tax holiday bagi industri di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), tax allowance umum, tax allowance bagi industri di KEK, superdeduction vokasi, serta tarif PPh listed company 3% lebih rendah dari tarif normal.
Implementasi tarif pajak minimum global akan menyebabkan jenis-jenis insentif yang ada di kategori kedua menjadi kurang efektif lagi untuk menawarkan biaya pajak rendah bagi calon investor. Hal ini terjadi karena PMN yang mendapat manfaat insentif jenis ini kemungkinan akan membayar pajak dengan ETR lebih rendah dari tarif efektif minimum 15%.
Alhasil, PMN tersebut akan membayar selisih pajak terutang ke yurisdiksi asing, yakni negara tempat induk PMN tersebut berlokasi. Tentu saja hal ini hanya akan menguntungkan negara induk PMN berlokasi dan merugikan negara pemberi insentif.
DENGAN adanya rencana penerapan tarif minimum global ini, pemerintah Indonesia harus mendesain ulang kebijakan pemberian insentif pajak. Kebijakan yang baru diharapkan dapat meminimalisasi pembayaran pajak tambahan di negara induk PMN berlokasi atas perusahaan-perusahaan anak di Indonesia.
Desain kebijakan tersebut dimaksudkan agar iklim investasi di Indonesia dapat terus terjaga. Bagaimana Indonesia mengubah rezim insentif pajak agar mendapatkan keuntungan daripada kerugian dari pemberlakuan ketentuan pajak minimum global?
Pertama, otoritas pajak Indonesia harus memastikan tarif PPh badan lebih tinggi dari tarif pajak minimum yang akan disepakati secara global. Saat ini, tarif PPh badan di Indonesia masih lebih tinggi dari tarif pajak minimum global yang direncanakan, yakni 22%.
Namun, jika tarif pajak minimum global kembali ke usulan awal, yakni 21%, Indonesia sebaiknya menaikkan tarif PPh badan kembali ke 25%. Alasannya adalah pajak minimum global didasarkan pada tarif pajak efektif (ETR) yang merupakan total pajak yang dibayarkan kepada pemerintah dibagi dengan laba perusahaan. ETR sangat mungkin menjadi lebih rendah dari tarif statutory akibat pemberian insentif.
Kedua, otoritas pajak perlu mendesain ulang skema insentif pajak yang selama ini berlaku di Indonesia. Insentif kategori kedua yang telah dijelaskan sebelumnya bukan hanya memiliki efektivitas yang terbatas dalam menarik investasi, melainkan juga berpotensi memunculkan pembayaran pajak tambahan di negara induk PMN berlokasi. Oleh karena itu, perlu dikaji ulang besarnya manfaat dari masing-masing insentif, khususnya insentif kategori kedua.
Ketiga, pemerintah Indonesia harus sudah memikirkan alternatif insentif lain yang tidak berkaitan dengan pendapatan perusahaan. Pajak minimum global hanya akan memengaruhi pajak yang dihitung atas laba perusahaan multinasional seperti PPh wajib pajak badan.
Ketentuan tersebut tidak berdampak terhadap pajak dan biaya yang tidak didasarkan pada pendapatan perusahaan seperti PPN, bea masuk, dan PPh atas gaji pegawai. Hal ini akan menjadi pertanyaan, apakah negara-negara akan bersaing untuk menarik investasi dengan menurunkan jenis pajak ini pada masa depan?
Rencana penerapan pajak minimum global akan mempersempit ruang pemberian insentif pajak. Oleh karena itu, Indonesia harus mendesain ulang skema pemberian insentif secara hati-hati agar pemberian insentif pajak dapat mencapai tujuannya secara efektif.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
well-researched piece of writing !!