Bambang Pratiknyo
,FUNGSI mengatur (regulerend) dalam pajak pertambahan nilai (PPN) antara lain diwujudkan dalam bentuk pemberian fasilitas PPN berupa PPN dibebaskan dan PPN terutang tidak dipungut. Dasar hukum pemberian kedua fasilitas ini diatur dalam Pasal 16B UU PPN. Sebagaimana dinyatakan dalam penjelasannya, terdapat empat tujuan utama diberikannya fasilitas PPN dibebaskan dan PPN terutang tidak dipungut.
Pertama, untuk memberikan fasilitas perpajakan yang benar-benar diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional. Kedua, untuk mendorong perkembangan dunia usaha. Ketiga, untuk memperlancar pembangunan nasional. Keempat, untuk menerapkan kelaziman internasional.
Pemberian fasilitas PPN dibebaskan dan PPN terutang tidak dipungut menyebabkan pajak keluaran yang terutang tidak perlu dibayar. Dalam penerapan PPN dibebaskan, pajak keluaran ini dianggap tidak ada. Sementara itu, dalam penerapan PPN terutang tidak dipungut, pajak keluaran ini tetap terutang, tetapi tidak dipungut. Namun, dari sisi pajak masukan, pemberian kedua fasilitas ini akan menghasilkan implikasi yang berbeda.
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 16B ayat (2) dan (3) UU PPN, pajak masukan terkait dengan penyerahan yang PPN-nya memperoleh fasilitas PPN dibebaskan tidak dapat dikreditkan. Sementara itu, pajak masukan terkait dengan penyerahan yang PPN-nya memperoleh fasilitas PPN terutang tidak dipungut dapat dikreditkan.
Adanya perbedaan implikasi terhadap pajak masukan ini membuat pihak yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP harus memperhatikan peraturan ini secara seksama. Kesalahan dalam pengimplementasian perlakuan pajak masukan ini akan berakibat adanya tagihan kurang bayar PPN ditambah sanksi administrasi.
Selain PPN dibebaskan dan PPN terutang tidak dipungut, terdapat bentuk fasilitas lain yang juga diterapkan dalam sistem PPN Indonesia, yaitu PPN ditanggung pemerintah (PPN DTP). Meskipun fasilitas ini tidak disebutkan dalam Pasal 16B UU PPN, pada kenyataannya, pemberian fasilitas PPN DTP telah diterapkan sejak lama. Bahkan, sejak Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 (UU No. 8/1983) sebagai UU PPN pertama Indonesia diberlakukan.
Dalam bagian konsiderans Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1985 tentang Pajak Pertambahan Nilai yang Terhutang atas Penyerahan dan Impor Barang Kena Pajak Tertentu yang Ditanggung oleh Pemerintah disebutkan bahwa alasan diberlakukannya PPN DTP pada masa itu adalah sebagai jalan keluar atau terobosan dari tidak adanya ketentuan pembebasan PPN pada UU No. 8/1983.
Sampai dengan diundangkannya UU Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan Kedua UU PPN (UU No.11/1994), PPN DTP menjadi satu-satunya fasilitas PPN yang berlaku. Sementara itu, semenjak berlakunya UU No. 11/1994 hingga saat ini, PPN DTP bersama dengan PPN dibebaskan dan PPN terutang tidak dipungut menjadi bagian dari kemudahan yang diberikan dalam bidang PPN di Indonesia.
Lantas, apa yang dimaksud dengan PPN DTP?
Pada dasarnya, tidak terdapat ketentuan yang mengatur secara khusus mengenai apa itu PPN DTP. Namun, pengertian pajak ditanggung pemerintah (pajak DTP) secara umum dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 228/PMK.05/2010 s.t.d.d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 237/PMK.05/2011. Yaitu, pajak terutang yang dibayar oleh pemerintah dengan pagu anggaran yang telah ditetapkan dalam APBN, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang mengenai APBN.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan fasilitas PPN DTP pada dasarnya sama dengan fasilitas PPN dibebaskan ataupun PPN terutang tidak dipungut, yaitu “meniadakan” PPN terutang yang menjadi beban pihak pembeli atau konsumen. Namun, bedanya, dalam PPN DTP, PPN terutang tersebut ditanggung atau dibayarkan oleh pemerintah dengan pagu anggaran yang ditetapkan dalam APBN .
Lebih lanjut, perbedaan lainnya antara fasilitas PPN dibebaskan, PPN terutang dipungut, dan PPN DTP juga terletak pada ketentuan mengenai perlakuan pajak masukannya. Jika fasilitas PPN dibebaskan dan PPN terutang dipungut perlakuan pajak masukannya telah diatur secara tegas dan jelas dalam UU PPN, tidak demikian dengan PPN DTP. Perlakuan pajak masukan terkait dengan penyerahan yang PPN-nya DTP bisa berbeda-beda antara satu peraturan dengan peraturan lainnya.
Beberapa peraturan yang memuat tentang pemberian fasilitas ini ada yang mengatur secara tegas bahwa pajak masukan terkait dengan penyerahan yang memperoleh fasilitas PPN DTP dapat dikreditkan. Sementara dalam peraturannya lainnya, pajak masukan tersebut tidak dapat dikreditkan. Bahkan, ada pula peraturan yang sama sekali tidak mengatur.
Contoh teranyar adalah pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.03/2020 s.t.d.d Peraturan Menteri Keuangan Nomor 143/PMK.03/2020 (PMK 28/2020 s.t.d.d PMK 143/2020) yang mengatur pemberian fasilitas PPN DTP atas penyerahan barang kena pajak dan jasa kena pajak (BKP/JKP) untuk penanganan Covid-19. Tidak ada satu pun pasal dalam peraturan ini yang menegaskan perlakuan pajak masukan terkait dengan penyerahan yang memperoleh fasilitas PPN DTP.
Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa persoalan perlakuan pajak masukan dalam penerapan fasilitas PPN DTP menarik untuk dibahas. Pasalnya, selain tidak terdapat pola atau “pakem” yang jelas atas perlakuan pajak masukannya seperti halnya pajak masukan atas penyerahan yang PPN-nya dibebaskan atau terutang tidak dipungut. Ketidakseragaman perlakuan pajak masukan ini nyatanya telah berlangsung sejak PPN DTP pertama kali diterapkan.
Untuk lebih jelas melihat ketidakseragaman ini, berikut akan dibahas perlakuan perlakuan pajak masukan terkait dengan penyerahan yang memperoleh fasilitas PPN DTP mulai dari periode sebelum dan sesudah berlakunya UU No.11/1994.
Pemilahan ini dilakukan mengingat sebelum UU No.11/1994 berlaku, PPN DTP menjadi satu-satunya fasilitas PPN yang diterapkan di Indonesia. Sementara, setelah berlakunya UU No.11/1994, fasilitas PPN dibebaskan dan PPN terutang tidak dipungutlah yang menjadi dua bentuk fasilitas yang secara “resmi" dikenal dalam UU PPN.
Perlakuan Pajak Masukan Terkait Penerapan PPN DTP Sebelum Berlakunya UU No. 11/1994
Periode sebelum berlakunya UU No.11/1994 merupakan periode berlakunya UU PPN pertama di Indonesia, yaitu UU No. 8/1983 yang mulai berlaku sejak April 1985. Di bawah ini disajikan tabel yang berisi rincian peraturan tentang penerapan fasilitas PPN DTP sebelum berlakunya UU No. 11/1994 beserta keterangan bagaimana perlakuan pajak masukan sehubungan dengan penerapan fasilitas tersebut.
Peraturan sehubungan dengan Penerapan Fasilitas PPN DTPSebelum Berlakunya UU No. 11/1994
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa perlakuan pajak masukan untuk penyerahan yang PPN-nya DTP tidak seragam atau tidak berpola. Ada peraturan yang mengatur tidak bisa dikreditkan dan ada pula yang menetapkan bisa dikreditkan. Bahkan, beberapa peraturan, seperti Keppres No. 2 Tahun 1990, tidak mengatur mengenai hal ini.
Kondisi demikian berlangsung hingga suatu ketika pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan yang mengatur tentang pedoman pengkreditan pajak masukan, yaitu Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1441b/KMK.04/1989 s.t.d.d KMK No. 296/KMK.04/1994 (KMK 1441b/1989 s.t.d.d KMK 296/1994) yang kemudian dicabut atau diganti dengan terbitnya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 643/KMK.04/1994 (KMK 643/1994).
Dalam peraturan tersebut ditetpkan bahwa perlakuan pajak masukan atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang PPN-nya DTP tidak dapat dikreditkan, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan. Dengan peraturan tersebut dapat disimpulkan bahwa perlakuan pajak masukan atas penyerahan yang PPN-nya DTP pada dasarnya tidak dapat dikreditkan. Pengecualian dari ketentuan ini hanya berlaku jika Menteri Keuangan menentukan lain.
Meskipun saat ini KMK 1441b/1989 s.t.d.d KMK 296/1994 serta KMK 643/1994 telah dicabut, tetapi setidaknya dapat diketahui bahwa pada periode sebelum berlakunya UU No. 11/1994, perlakuan pajak masukan terkait penerapan PPN DTP pernah ditegaskan secara khusus dalam suatu peraturan.
Perlakuan Pajak Masukan Terkait Penerapan PPN DTP Setelah Berlakunya UU No. 11/1994
Meskipun setelah berlakunya UU No. 11/1994 telah diatur ketentuan mengenai pemberian fasilitas PPN dibebaskan dan PPN terutang tidak dipungut, penerapan PPN DTP tetap berjalan dengan diterbitkannya berbagai peraturan sebagaimana tersaji pada tabel berikut.
Peraturan sehubungan dengan Penerapan Fasilitas PPN DTP Setelah Berlakunya UU No. 11/1994
Berdasarkan rincian dari peraturan pada tabel di atas, dapat disimpulkan sekali lagi bahwa ternyata setelah berlakunya UU No. 11/1994 pun perlakuan pajak masukan atas penyerahan yang PPN-nya DTP masih tidak berpola atau tidak seragam. Ada yang pajak masukannya dapat dikreditkan, ada yang tidak bisa dikreditkan, dan bahkan ada pula yang tidak diatur.
Menariknya, dalam perkara uji materi atas PP No. 31 Tahun 2007 yang merupakan perubahan keempat atas PP No. 12 Tahun 2000 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis, yang Dibebaskan dari Pengenaan PPN, pemerintah menyatakan bahwa dari segi pengkreditan pajak masukan tidak ada perbedaan antara PPN yang dibebaskan dengan PPN DTP, yaitu tidak dapat dikreditkan. Pernyataan ini sebagaimana tercantum dalam Putusan Mahkamah Agung No. 70 P/HUM/2013 yang merupakan putusan atas perkara uji materi tersebut.
Simpulan dan Saran
Meskipun dalam beberapa peraturan, seperti KMK 1441b/1989 s.t.d.d. KMK No.296/ 1994 dan KMK 643/1994 serta pernyataaan pemerintah dalam Putusan Mahkamah Agung No.70 P/HUM/2013 ditegaskan bahwa pajak masukan atas penyerahan yang memperoleh fasilitas PPN DTP tidak dapat dikreditkan, fakta yang ada berkata lain.
Sampai saat ini, antara satu peraturan dengan peraturan lainnya meskipun sama-sama mengatur penerapan PPN DTP, perlakuan pajak masukannya bisa berbeda-beda. Bahkan, ada peraturan yang sama sekali tidak menegaskan. Dengan kata lain, perlakuan pajak masukan atas penyerahan yang PPN-nya DTP masih mengandung ketidakjelasan.
Kondisi ini tentu dapat berdampak negatif karena menimbulkan ketidakpastian yang pada gilirannya menciptakan kesulitan dalam administrasi pajak. Bahkan, berpotensi pula menimbulkan sengketa pajak di kemudian hari. Terlebih lagi, pada masa ini, yaitu ketika fasilitas PPN DTP telah mulai dimanfaatkan dalam rangka penanganan Covid-19.
Sehubungan dengan persoalan ini, pemerintah diharapkan dapat segera mengatur dan menetapkan bagaimana sebenarnya perlakuan pajak masukan atas penyerahan yang PPN-nya DTP. Langkah ini dilakukan demi menciptakan kepastian hukum dalam penerapan fasilitas PPN DTP sekaligus menjaga agar penerapan insentif pajak dalam upaya penanganan Covid-19 berupa PPN DTP ini dapat berjalan dengan efektif dan tepat sasaran.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.