SELAMA Juni-Juli lalu kita menyaksikan gelombang reformasi pajak internasional. Forum G-7, G-20, serta mayoritas negara anggota BEPS Inclusive Framework (IF) secara berturut-turut menyatakan dukungan mengenai pajak minimum global.
Soal pajak minimum global tentu tidak dapat dilepaskan dari agenda mewujudkan konsensus pajak digital yang tahun lalu gagal tercapai. Walau berada dalam kerangka proposal pajak digital, pajak minimum global punya misi yang lebih besar. Hal itu ialah mengurangi kompetisi pajak, khususnya pajak penghasilan (PPh) badan.
Secara sederhana atau setidaknya yang dipahami oleh banyak pihak, bakal ada tarif pajak efektif minimum sebesar 15% bagi perusahaan multinasional dengan kriteria tertentu, di manapun lokasi investasinya. Komitmen soal ini tinggal selangkah lagi difinalkan di Oktober 2021.
Lantas, bagaimana cara kerja pajak minimum global tersebut? Bagaimana implikasi dan cara pandang Indonesia?
PAJAK minimum global merupakan bagian dari proposal pajak digital yang disusun oleh OECD dengan dukungan dari G-20. Proposal tersebut terdiri atas dua pilar. Pajak minimum global, yang dibahas dalam tulisan ini, merupakan Pilar 2 dari proposal tersebut.
Kehadiran Pilar 2 bisa dianggap sebagai ‘pelengkap’ dari solusi pemajakan di era digital. Sebagaimana kita ketahui, pembicaraan soal pajak digital awalnya fokus pada upaya menemukan nexus baru yang menjamin hak pemajakan serta bagaimana mengalokasikan laba perusahaan digital supaya lebih adil. Ini terbukti dari dokumen Aksi 1 Proyek BEPS (2015) hingga Laporan Interim (2018).
Baru pada 2019, muncul gagasan perlunya skenario lain yang secara bersama-sama dilakukan guna menjamin sistem pajak global yang lebih adil. Apa sebab? Penerapan Pilar 1 dirasa masih menyisakan peluang terjadinya praktik penghindaran pajak. Khususnya selama belum ada koordinasi erat tentang preferensi kebijakan PPh badan tiap negara.
Inilah yang kemudian mendorong ide pajak minimum global. Perlu dipahami bahwa ide ini secara resmi justru digaungkan oleh IMF melalui publikasinya yang berjudul Corporate Taxation in the Global Economy (2019). Sebulan setelah publikasi IMF, OECD mulai merumuskan program kerja penyelesaian konsensus pajak digital, termasuk pajak minimum dalam Pilar 2 (OECD, 2019).
Setelah melalui negosiasi panjang, IF -yang merepresentasikan lebih dari 90% PDB dunia- merilis pernyataan dukungan atas kerangka Pilar 1 dan Pilar 2 pada Juli lalu. Secara khusus, Pilar 2 diperkirakan akan memberikan tambahan penerimaan pajak global sebesar USD150 miliar per tahun. Manfaat lainnya adalah adanya kestabilan sistem pajak global yang biasanya terdistorsi oleh upaya menciptakan daya saing.
Walau memberikan dampak penerimaan pajak yang lebih besar dari Pilar 1, Pilar 2 bersifat common approach yang tidak wajib diimplementasikan. Skenario pajak minimum global hanya diterapkan bagi negara yang menyetujui atau dalam situasi ketika terdapat interaksi dengan negara lain yang sudah menerapkan hal tersebut. Singkat kata, setuju atau tidak, setiap negara akan terdampak dan tunduk dengan aturan main tersebut.
Pilar 2 akan diberlakukan bagi perusahaan multinasional dengan nilai penghasilan bruto sebesar EUR750 juta (Rp11 triliun) per tahun. Nilai ini merujuk pada batasan (threshold) yang sudah diberlakukan melalui laporan per negara (country by country reporting/CbCR) dokumentasi transfer pricing pada Aksi 13 Proyek BEPS.
Pilar 2 tidak berlaku bagi perusahaan multinasional yang ultimate parent-nya merupakan entitas pemerintah, organisasi internasional, lembaga nirlaba, lembaga dana pensiun dan dana investasi. Pengecualian penerapan Pilar 2 diberikan melalui skema carve-out, yaitu pengecualian bagi imbal hasil yang berasal dari kegiatan ekonomi yang substantif sebesar 5,0-7,5% dari penghasilan perusahaan multinasional. Selain itu, pengecualian juga diberikan bagi shipping industry.
Pilar 2 terdiri dari dalam 2 elemen utama. Pertama, elemen yang nantinya diterapkan melalui ketentuan domestik tiap negara. Elemen ini kerap disebut sebagai global anti-base erosion rule (GloBE) yang menjadi inti dari pajak minimum global.
GloBE akan memaksa seluruh perusahaan multinasional untuk membayar pajak secara efektif di angka tertentu, yaitu 15%. Perlu dipahami bahwa tarif pajak efektif berbeda dengan tarif PPh badan yang diatur secara umum melalui UU. Tarif pajak efektif nilainya bisa jadi lebih rendah, semisal dengan adanya fasilitas atau perlakuan pajak tertentu. Oleh sebab definisi penghasilan kena pajak di setiap negara bisa berbeda-beda, nantinya tarif pajak efektif akan dihitung berdasarkan suatu definisi bersama (common definition).
GloBE diterapkan dari sudut pandang negara domisili perusahaan multinasional. Hal ini guna mencegah praktik penggerusan basis pajak dan pengalihan laba ke negara dengan tarif pajak rendah. Jika ternyata tarif pajak efektif negara tujuan investasi lebih rendah dari 15%, atas selisih tarif tersebut dapat dipajaki oleh negara domisili. Ini disebut sebagai income inclusion rule (IIR).
Dalam elemen yang sama, terdapat pula skema undertaxed payment rule (UTPR). Artinya, biaya yang dibayar oleh perusahaan multinasional di negara domisili kepada afiliasinya di negara dengan tarif pajak efektif di bawah 15% menjadi non-deductible.
Kedua, elemen yang disebut sebagai subject to tax rule (STTR). Berbeda dengan GloBE, implementasi STTR akan dilakukan secara bilateral (melalui P3B) dan melihat dari sisi negara sumber. Negara sumber dapat memajaki penghasilan afiliasi yang berlokasi di negara domisili. Syaratnya, atas penghasilan yang diterima afiliasinya tersebut ternyata tidak atau dipajaki di bawah tarif pajak efektif sebesar 7,5-9,0%.
Skema ini agaknya bertujuan untuk mewujudkan single tax principle (Garcia, 2019). Pasalnya, bisa jadi negara yang sesungguhnya memiliki hak untuk memajaki -berdasarkan P3B- ternyata tidak atau mengenakan pajak secara minim. Model P3B yang saat ini berlaku mengatur tentang subjek pajak dalam negeri/SPDN (resident) dengan menggunakan terminologi liable to tax dan bukan subject to tax. Akibatnya, tidak ada suatu kewajiban untuk mengenakan pajak secara aktual atas penghasilan yang diterima oleh SPDN.
PAJAK minimum global adalah terobosan signifikan dalam melindungi basis pajak Indonesia. Dengan adanya tarif pajak minimum, tekanan untuk terlibat dalam kompetisi pajak -demi jargon daya saing- akan berkurang.
Hal tersebut juga akan mereduksi peran tax haven serta mengurangi insentif praktik BEPS yang selama ini marak terjadi. Sebagai akibatnya, pajak minimum global diperkirakan dapat menambal ‘kebocoran pajak’ yang diakibatkan globalisasi.
Oleh sebab itu, langkah Indonesia dalam mendukung kerangka pajak minimum global adalah tepat. Kini tinggal bagaimana kesepakatan final di Oktober 2021 nanti sejalan dengan kepentingan Indonesia. Setidaknya terdapat tiga catatan yang perlu dicermati dari pajak minimum global.
Pertama, Pilar 2 berpotensi mengubah pola aliran modal global. Daya tarik tax haven yang berkurang diperkirakan akan membuat skema investasi menjadi lebih ringkas dan direct. Tidak seperti sebelumnya, -didorong motif pajak- aliran modal cenderung berputar-putar dan kerap mampir ke negara-negara dengan rezim pajak yang ‘ramah’. Data Coordinated Direct Investment Survey (CDIS) yang dirilis oleh IMF telah memperlihatkan kontribusi besar dari tax haven sebagai sumber investasi di berbagai negara.
Di kemudian hari, ada prospek cerah bahwa aliran modal dan repatriasi akan mengalir secara proporsional ke negara-negara yang secara substansi memiliki size ekonomi yang besar seperti Indonesia. Kuncinya? Membentuk iklim usaha yang lebih baik dan berkepastian. Dalam hal ini, UU Cipta Kerja sudah menyediakan landasan hukumnya, tinggal mengatasi tantangan dalam penerapannya.
Kedua, skema GloBE akan cenderung mengamankan kepentingan negara domisili perusahaan multinasional. Pertanyaannya, bagaimanakah karakteristik perusahaan multinasional di Indonesia? Apakah perusahaan multinasional di Indonesia merupakan BUT, subsidiary, entitas perantara (derajat menengah) dalam struktur grup perusahaan multinasional, atau justru menjadi kantor pusat? Dalam bisnis global, apakah Indonesia lebih kerap berperan sebagai negara domisili atau negara sumber?
Satu hal yang pasti, mayoritas perusahaan multinasional berasal dari capital exporting countries. Skema GloBE, terlepas dari gagasannya yang ideal, bisa jadi menyiratkan kepentingan hegemoni ekonomi dari negara maju.
Jangan-jangan tidak hanya basis pajak yang secara artifisial diparkir di negara tax haven saja yang akan ditarik ke negara maju. Akan tetapi, mencakup juga basis pajak dari kegiatan ekonomi substantif yang dilakukan di negara-negara berkembang. Titik equilibrium pascapajak minimum global tetap berpotensi tidak adil.
Solusinya? Indonesia dapat menggagas peninjauan kembali besaran carve-out yang akan disepakati secara global. Persentase carve-out yang meningkat akan membuat keleluasaan Indonesia -dan juga negara berkembang lainnya- dalam memberikan berbagai insentif pajak untuk kegiatan ekonomi yang bersifat substantif akan tetap terjaga.
Ketiga, skema STTR harus menjadi perhatian dari negara berkembang, termasuk Indonesia. STTR relatif lebih menjamin basis pemajakan Indonesia sebagai negara sumber, sekaligus bersifat netral bagi daya saing Indonesia.
Oleh karena itu, Indonesia perlu mendorong adanya kesepakatan dan komitmen instrumen multilateral untuk mengubah Pasal 4 ayat (1) dari P3B. Khususnya mengubah terminologi liable to tax menjadi subject to tax. Tanpa adanya skema instrumen multilateral, jalan panjang perjuangan Indonesia akan terkendala oleh waktu negosiasi dengan berbagai negara mitra P3B.
Pada akhirnya, berbagai tantangan dan risiko di atas tidak perlu berujung pada simpulan bahwa Indonesia harus menarik diri dari kesepakatan pajak global minimum. Kita justru harus memperjuangkan secara aktif kepentingan Indonesia di putaran akhir pembicaraan pajak digital global serta mengantisipasi berbagai implikasi yang dapat timbul.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.