Rizmy Otlani Novastria
,WACANA pengenaan multitarif pajak pertambahan nilai (PPN) sempat mencuat dalam RUU KUP. Keadilan menjadi pertimbangan utama pemerintah saat mengusulkan kebijakan tersebut. Namun, usulan itu akhirnya dihapus melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disahkan pada 7 Oktober 2021.
Munculnya wacana kebijakan multitarif PPN berawal dari riset terhadap beberapa negara seperti India, China, dan Islandia. Kebijakan tersebut dikenal dengan istilah reduced rate. Secara singkat, kebijakan ini menerapkan tarif PPN yang berbeda terhadap beberapa jenis barang.
Untuk mengurangi regresivitas, negara yang menerapkan multitarif akan mengenakan tarif lebih rendah terhadap barang tertentu seperti buku dan makanan. Sementara barang premium, seperti sepeda, dikenakan tarif lebih tinggi.
Sayangnya, skema kebijakan multitarif PPN ini menimbulkan kontroversi terkait dengan kompleksitasnya. Adapun kompleksitas tersebut mencakup peningkatan biaya kepatuhan, biaya administrasi, dan inefisiensi ekonomi.
Biaya kepatuhan menjadi isu utama yang diperdebatkan. Ketika PPN menerapkan tarif yang berbeda-beda, potensi kesalahan implementasi bisa terjadi. Pengusaha harus menyiapkan sistem yang mampu mengakomodasi perbedaan tarif atas barang yang berbeda.
Selain itu, tarif yang berbeda meningkatkan salah tarif peraturan antara petugas dan wajib pajak. Perbedaan penafsiran akan meningkatkan risiko kesalahan dalam pemenuhan kewajiban pajak. Pada akhirnya, kesalahan tersebut akan berimbas pada peningkatan biaya kepatuhan.
Data European Parliamentary Research Service (2021) menyatakan biaya kepatuhan di Uni Eropa meningkat hingga 4% dari omset perusahaan. Sebelumnya, Uni Eropa telah menerapkan kebijakan multitarif PPN sejak 1990.
Inggris juga telah menerapkan kebijakan multitarif PPN sejak 1974. Biaya kepatuhan di Inggris pun meningkat 7,6% atas perubahan skema tarif tersebut. Dalam hal ini, perusahaan kecil menanggung proporsi biaya kompleksitas yang lebih tinggi atas automasi sistem dan biaya jasa konsultan.
Islandia mengalami kesulitan dalam penafsiran ketentuan multitarif PPN. Di Islandia, tur mengendarai kuda termasuk dalam klasifikasi industri transportasi. Oleh karena itu, industri ini berhak atas insentif tarif pajak lebih rendah sebesar 11%.
Jika perusahaan tersebut adalah klub olahraga, akan dikenakan tarif 25%. Pertanyaan muncul terkait dengan besaran tarif yang harus dikenakan jika perusahaan menjalankan 2 aktivitas bisnis secara bersamaan. Mekanisme pengkreditan pajak masukan pun menjadi makin kompleks karena adanya proporsionalitas.
Hafsteinsson dan Steinsson (2014) mengukur kesenjangan kepatuhan (compliance gap) akibat penerapan multitarif PPN di Islandia. Dalam studinya ditemukan kesenjangan kepatuhan untuk industri restoran mencapai 42%.
Kesenjangan tersebut muncul akibat kerumitan dalam penggolongan tarif pajak atas produk makanan dan minuman dengan karakteristik yang beraneka ragam. Akibatnya, celah penghindaran pajak pun menjadi makin lebar.
Kompleksitas berikutnya terkait dengan biaya administrasi pemerintah, khususnya otoritas pajak. Kebijakan multitarif menimbulkan kesulitan dalam pengawasan pajak. Negara yang menerapkan multitarif PPN juga membutuhkan lebih banyak petugas pajak untuk memproses restitusi pajak.
Riset International Monetary Fund (IMF) (1993) menyatakan perubahan dari 1 ke 2 jenis tarif akan meningkatkan biaya administrasi hingga 5 kali lipat. Dengan perubahan ke 3 jenis tarif, biaya administrasi pemerintah mencapai 10 kali lipat. Potensi peningkatan penerimaan, karena ada barang yang dikenakan tarif lebih tinggi, akan tergerus kenaikan biaya administrasi.
Potensi lobi dan kecurangan dapat makin intens. Berbagai pihak akan memengaruhi pembuat kebijakan untuk menempatkan industrinya pada lapisan tarif yang lebih rendah. Asistensi teknis dari IMF kepada negara Islandia menunjukkan lobi politik menyebar luas sejak penerapan multitarif PPN.
Kerugian bobot mati (deadweight loss) menjadi risiko selanjutnya dari penerapan multitarif PPN. Kerugian bobot mati terjadi akibat pengurangan surplus konsumen dan produsen. Hal ini dikarenakan barang premium dan mewah akan dikenakan tarif PPN yang lebih tinggi di samping pengenaan PPnBM.
Studi di Norwegia (2011) menunjukkan kerugian bobot mati meningkat 2% dibandingkan dengan ketika Norwegia menerapkan tarif tunggal. Proporsi terbesar adalah pada sisi permintaan karena berkurangnya konsumsi barang premium akibat harga yang makin tinggi.
PENERAPAN multitarif PPN memang ditujukan untuk mengurangi dampak regresivitas dan menciptakan keadilan. Akan tetapi, negara yang akan mengubah skema dari tarif tunggal ke multitarif perlu melakukan langkah antisipatif dan persiapan teknis yang matang. Hal ini untuk mengurangi dampak kompleksitas dan inefisiensi ekonomi.
Biaya kepatuhan dapat direduksi dengan menyederhanakan proses pelaporan. China telah berhasil meringankan beban kepatuhan bagi pengusaha kecil dan menengah melalui penyederhanaan pelaporan pajak. Perusahaan kecil di China dapat melaporkan PPN setiap kuartal alih-alih bulanan.
Pengembangan sistem teknologi informasi yang efisien juga diperlukan. India telah mengembangkan sebuah sistem Goods and Services Tax Network (GSTN) yang memudahkan pengusaha mencetak bukti tagihan secara terintegrasi dengan sistem pajak. Sistem manajemen informasi yang andal dan sejalan dengan kebijakan pemerintah akan mengurangi potensi kesalahan manual.
Reformasi pajak serta pengembangan sistem administrasi akan mengurangi dampak biaya administrasi yang timbul. Melalui sistem pengawasan yang terintegrasi dengan sistem wajib pajak, celah penghindaran pajak dapat diminimalisasi.
Selain itu, kapasitas pemahaman petugas pajak terhadap proses bisnis dan kebijakan perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, kewajiban pelaporan proses bisnis secara berkala menjadi krusial. Aturan turunan terkait dengan beleid ini juga harus didefinisikan secara detail, terutama terkait klasifikasi barang dan jasa. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan penafsiran antara petugas pajak dan wajib pajak.
Peningkatan kerugian bobot mati memang tidak berdampak terlalu signifikan. Akan tetapi, peningkatan tersebut tetap menimbulkan efek bagi ekonomi makro. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan nonpajak seperti kemudahan perizinan, kemudahan investasi dan pemasaran, serta insentif.
Dengan mempertimbangkan berbagai risiko penerapan kebijakan multitarif PPN di atas, bijak jika pemerintah saat ini menghapuskan wacana multitarif PPN tersebut dari UU HPP. Jika pada masa depan, Indonesia memiliki mimpi untuk mewujudkan keadilan dengan penerapan multitarif PPN, diperlukan langkah-langkah antisipatif yang matang agar risiko kompleksitas dan inefisiensi dapat direduksi.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Terima kasih untuk pencerahannya yaang telah memberikan pencerahan