LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2021

Memungut Pajak Kekayaan dari Crazy Rich Asians

Redaksi DDTCNews | Selasa, 31 Agustus 2021 | 16:03 WIB
Memungut Pajak Kekayaan dari Crazy Rich Asians

Rudyant Siswanto Wijaya,
Jakarta Barat, DKI Jakarta

ISTILAH crazy rich populer berkat film Crazy Rich Asians (2018). Film ini diangkat dari novel dengan judul yang sama karya Kevin Kwan. Film ini menceritakan kisah seorang gadis berkunjung dari New York ke Singapura untuk menemui keluarga pacarnya yang merupakan orang superkaya.

Di dunia nyata, ada berbagai ukuran seseorang bisa disebut sebagai crazy rich. Pada April 2021, Majalah Forbes merilis World's Billionaires List - The richest in 2021. Pada masa pandemi, jumlah miliarder dunia justru bertambah menjadi 2.755 orang atau 660 orang lebih banyak dari tahun lalu.

Sebanyak 21 orang Indonesia masuk dalam daftar tersebut sebagai orang terkaya dunia. Untuk masuk ke dalam daftar tersebut, seseorang harus mempunyai kekayaan bersih minimal US$1 miliar atau sekitar Rp14,4 triliun.

Lain lagi dengan Knight Frank yang pada Maret 2021 menerbitkan Wealth Report 2021. Dalam laporan tersebut, crazy rich dikategorikan secara spesifik sebagai ultra high net worth individual (UHNWI). Mereka merupakan orang-orang dengan kekayaan bersih diatas US$30 juta atau sekitar Rp432 miliar).

Istilah Crazy Rich Asians tampaknya juga akan makin relevan pada masa depan. Knight Frank Wealth Sizing Model memproyeksi wilayah regional dengan pertumbuhan UHNWI terbesar pada 2020 – 2025 adalah kawasan Asia (39%) dan disusul Afrika (33%).

Adapun proyeksi pertumbuhan UHNWI terbesar terjadi di Indonesia (67%). Kemudian, disusul India (63%), Polandia (61%), Swedia (59%), Perancis (53%), Selandia Baru (52%), China (46%), Turki (43%), Yunani (41%), dan Italia (41%).

Proyeksi tersebut tentunya membangkitkan harapan dan optimisme mengenai masa depan Indonesia yang lebih baik. Ada beberapa faktor kunci yang dapat mendukung bangkitnya Indonesia sebagai raksasa ekonomi dunia pada masa depan.

Mulai dari meningkatnya jumlah penduduk usia muda dan kelas menengah, besarnya pasar domestik, munculnya unicorn bidang teknologi, hingga masifnya pembangunan infrastruktur. Namun, mimpi kita harus tertunda sementara, sampai selesainya vaksinasi dan program pemulihan ekonomi nasional.

Di sisi lain, ada masalah kemiskinan dan ketimpangan yang masih harus ditangani. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah penduduk miskin secara nasional pada Maret 2021 sebanyak 27,54 juta orang atau meningkat 1,12 juta orang dari posisi Maret 2020.

Pada Maret 2021, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur dengan gini ratio sebesar 0,384. Angka tersebut meningkat 0,003 poin dibandingkan dengan posisi gini ratio pada Maret 2020 sebesar 0,381.

Tantangan ada pada kinerja fiskal negara. Pada semester I/2021, dengan pendapatan negara Rp886,9 triliun dan belanja negara Rp1170,1 triliun maka terdapat defisit anggaran senilai Rp283,2 triliun. Defisit anggaran tentu saja dipicu besarnya kebutuhan belanja negara pada saat pandemi Covi-19.

Sumber Baru Penerimaan Pajak

DENGAN kondisi tersebut, negara sangat memerlukan sumber baru penerimaan pajak. Salah satu alternatifnya adalah dengan memungut pajak superkaya. Hal ini sejalan dengan rencana reformasi perpajakan pada 2022 yang mencakup aspek administratif dan kebijakan.

Meskipun meminta crazy rich untuk membayar pajak lebih banyak sangat penting, kebijakan ini juga harus dilakukan dengan cara yang benar. Ada beberapa argumentasi sekaligus pilihan yang bisa ditempuh.

Pertama, pajak langsung atas kekayaan secara progresif. Saat ini, Indonesia mengenakan pajak penghasilan (PPh) orang pribadi (personal income tax) sebesar 30% bagi masyarakat berpenghasilan di atas Rp 500 juta per tahun.

Hal tersebut berarti tingkat PPh orang pribadi di Indonesia masih termasuk yang terendah di dunia bila bandingkan dengan tarif di India (42,75%), Jepang (55% – 60%), atau beberapa negara di Eropa (45%– 55%).

Saat ini, pemerintah sudah mengusulkan pengenaan PPh orang pribadi dengan tarif 35% untuk wajib pajak berpenghasilan lebih dari Rp 5 miliar per tahun. Usulan itu sudah masuk dalam RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Kedua, pendekatan yang dibahas dalam OECD Tax Policy Studies: The Role and Design of Net Wealth Taxes in the OECD (2018). Dalam laporan ini diusulkan pemungutan pajak kekayan bersih (net wealh tax) secara efisien.

Pemungutan itu antara lain melalui pajak atas keuntungan modal (capital gain) ditambah dengan pungutan atas transfer kekayaan melalui hadiah (gift) dan warisan (inheritance). Skema kebijakan ini dapat meningkatkan pajak secara signifikan dengan dampak negatif yang minimal.

Ketiga, reformasi perpajakan seperti gagasan Morris Pearl dan Erica Payne dalam Tax the Ric!: How Lies, Loopholes, and Lobbyists Make the Rich Even Richer (The New Press, 2021). Mereka menunjukkan crazy rich dan politisi bekerja sama memanipulasi peraturan dan pajak.

Negara harus melakukan reformasi dengan metode perpajakan baru sehingga dapat mengenakan pajak lebih besar kepada orang superkaya. Ada beberapa mekanisme yang dapat ditempuh, salah satunya adalah merevisi ketentuan PPh di atas US$1 juta per tahun.

Kemudian, ada kebijakan yang menyentuh skema pajak atas keuntungan modal berdasarkan pada apresiasi nilai aset (bukan saat aset dijual/realisasi keuntungan) serta pajak transfer kekayaan lintas generasi. Pemerintah juga harus menghilangkan celah perpajakan.

Sebuah peluang tentu hadir bersama tantangan. Pertama, adanya risiko arus modal ke luar negeri sebagai reaksi terhadap kenaikan pajak. Namun, Indonesia telah mengimplementasikan automatic exchange of information (AEOI) sehingga mempersulit penyembunyian aset di luar negeri.

Kedua, ketika nilai aset dan kekayaan harus diukur dan diperbarui secara berkala, perlu adanya mekanisme pajak superkaya yang sederhana dan mudah dikelola. Perbaikan bisa dilakukan dengan reformasi administrasi perpajakan berbasis teknologi dengan desain yang lebih baik.

Kembali lagi, pajak adalah sarana yang tepat untuk mengurangi ketimpangan pendapatan dan redistribusi kekayaan. Di tengah momentum pemulihan ekonomi nasional, sekarang adalah waktu yang tepat bagi pemerintah untuk menutup banyak celah dan mulai menerapkan pajak superkaya.

Tujuan akhirnya adalah untuk menciptakan sistem yang lebih adil sehingga dapat mewujudkan stabilitas, kemakmuran, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

31 Agustus 2021 | 21:53 WIB

Artikel yang menarik sekali untuk dibaca dan mencedaskan serta memberikan informasi yg objective

31 Agustus 2021 | 21:52 WIB

artikel yang menarik sekali untuk di baca ternyata indonesia bisa maju dengan faktor pendukung sumber daya alam dan sumber daya manusia nya

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

BERITA PILIHAN