Ardhian Prima Satya
,PEMERINTAH berupaya mewujudkan pembangunan ekonomi inklusif sesuai dengan Sustainable Development Goals (SDGs). Salah satu pekerjaan yang paling berat dalam pembangunan ekonomi inklusif adalah pemberian peluang kerja yang lebih luas bagi difabel tanpa diskriminasi.
Menilik data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2020, jumlah penduduk difabel pada usia kerja di Indonesia sebanyak 17,74 juta. Tingkat partisipasi angkatan kerja penduduk difabel sebanyak 44% atau hanya 7,8 juta orang.
Dari total keseluruhan difabel yang berpartisipasi sebagai angkatan kerja, sebanyak 28,37% bekerja sendiri, 20,68% memiliki status sebagai karyawan, dan 19,79% berusaha dengan dibantu buruh tidak tetap. Pada 2019, BPS mencatat bahwa 72% kelompok difabel bekerja di sektor informal dengan tingkat kemiskinan 15% atau lebih tinggi dari rata-rata nasional sebesar 9,2%.
Berdasarkan pada data tersebut, sebagian besar difabel memilih memiliki usaha sendiri karena faktor rendahnya tingkat pendidikan dan minimnya penyerapan tenaga kerja difabel. Hal ini menyebabkan tingkat kemiskinan pada kelompok difabel jauh lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata nasional.
Pemerintah dapat membantu lebih banyak kelompok difabel bukan hanya melalui bantuan sosial serta kesempatan belajar dan bekerja, tetapi juga melalui pajak. Pemerintah dapat memberikan insentif pajak bagi perusahaan yang mempekerjakan difabel ataupun perusahaan yang dimiliki difabel.
Insentif pajak tersebut dapat berupa pengurangan pajak (tax deduction) seperti yang diterapkan di China. Penerapan pengurangan pajak tercatat makin meningkat sejak China menjadi tuan rumah Paralympic 2008.
Presiden China kala itu, Hu Jintao, menyerukan kesetaraan bagi warga difabel. Perusahaan yang mempekerjakan warga difabel lebih dari 1 tahun bisa mendapatkan fasilitas tax deduction sebesar 2 kali lipat dari perusahaan yang tidak mempekerjakan pegawai difabel.
Syaratnya, perusahaan itu juga membayarkan biaya sosial bulanan dan memberikan gaji minimal sama seperti pekerja lainnya. Skema kebijakan ini membuat China dapat berlari lebih cepat untuk meningkatkan kesempatan kerja bagi kelompok difabel.
Insentif juga bisa berupa kredit pajak seperti ketentuan di Amerika Serikat. Internal Revenue Service (IRS) mencatat usaha kecil di Amerika Serikat juga memiliki beberapa pilihan tax credit. Disabled access credit berlaku untuk usaha kecil yang menyediakan beberapa peralatan untuk kelompok difabel.
Ada pula barrier removal tax deduction untuk usaha kecil yang membantu pembangunan fasilitas-fasilitas umum untuk difabel. Usaha kecil dapat memilih kedua tax deduction tersebut dengan nilai kombinasi mencapai US$20.000 (sekitar Rp286 juta).
Kemudian, Amerika Serikat juga menyediakan skema work opportunity tax credit dengan kisaran US$1.200-US$9.600 (sekitar Rp17 juta- Rp137 juta) bagi pengusaha yang mempekerjakan secara konsisten kelompok difabel.
Pemberian insentif pajak bagi perusahaan yang mempekerjakan kelompok difabel akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja kelompok difabel. Meningkatnya kesempatan kerja bagi kelompok difabel akan meningkatkan pendapatan sehingga kemiskinan dan ketimpangan dapat menurun.
Kondisi tersebut pada gilirannya akan membuat pembangunan ekonomi inklusif dapat terwujud. Akibatnya, potensi penerimaan pajak juga bisa meningkat. Dengan demikian, pemberian insentif pajak ini akan memberikan daya ungkit ekonomi yang lebih bagi negara pada kemudian hari.
INSENTIF lain yang dapat diberikan pemerintah berupa penambahan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) untuk pekerja difabel atau tanggungan anggota keluarga difabel. Penambahan ini membuat dasar penetapan PTKP lebih tinggi dibandingkan dengan PTKP pekerja lain.
Skema ini dapat membantu meringankan beban baik pekerja difabel maupun keluarga yang memiliki tanggungan difabel. Bagaimanapun, membesarkan anggota keluarga yang difabel membutuhkan perhatian dan biaya yang ekstra.
Jika bekerja, kelompok difabel juga belum tentu mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan yang memadai. Sebagian besar negara maju sudah menerapkan kredit pajak untuk kelompok difabel, baik pekerja maupun anggota keluarganya, seperti Kanada, Irlandia, dan Amerika Serikat.
Pemerintah Kanada menyediakan disability tax credit senilai CA$8.576 (Rp 98,6 juta) per tahun bagi keluarga yang memiliki anggota difabel dengan pendapatan di bawah Rp427,5 juta. Apabila penghasilan bersih keluarga lebih dari Rp495,8 juta, disability tax credit tidak diberikan.
Selanjutnya, di Irlandia, keluarga dengan salah satu anggota difabel dengan penghasilan di bawah Rp267,5 juta akan mendapatkan kredit pajak senilai Rp4,1 juta. Di atas penghasilan tersebut, kredit pajak tidak berlaku. Bila anggota keluarga benar-benar tidak mampu berbuat banyak karena keterbatasannya, kredit pajak yang diberikan menjadi senilai Rp56,1 juta.
Kemudian, berdasarkan pada data IRS, Amerika Serikat memberikan kredit pajak senilai Rp51,7 juta per tahun bagi setiap satu anggota keluarga dengan kondisi difabel. Nilainya makin meningkat sesuai dengan jumlah anak difabel pada keluarga tersebut.
Pemerintah Indonesia dapat mengadopsi salah satu atau mengombinasikan skema insentif pajak dengan penyesuaian. Kebijakan itu tidak hanya mendorong pencapaian SDGs di Indonesia, tetapi juga akan makin memperkuat peran pajak untuk menurunkan tingkat kemiskinan dan ketimpangan.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2021. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-14 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.