LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2019

Meminimalisasi Sengketa Transfer Pricing Melalui Safe Harbour

Redaksi DDTCNews | Senin, 06 Januari 2020 | 11:45 WIB
Meminimalisasi Sengketa Transfer Pricing Melalui Safe Harbour

Bayu Andikara, Kota Surakarta

ARM’S length principle atau prinsip kewajaran dan kelaziman usaha telah menjadi konsensus internasional untuk menentukan kewajaran transfer pricing dengan lebih dari 3.000 tax treaty yang mengadopsi prinsip tersebut (Schoueri, 2015).

Terlepas dari segala kelebihannya, penerapan arm’s length principle dianggap sangat rumit oleh wajib pajak. Dari sisi otoritas pajak, semakin banyaknya perusahaan multinasional berinvestasi di Indonesia menambah beban Ditjen Pajak (DJP) dalam melakukan pengawasan dan pemeriksaan transfer pricing.

Transfer pricing juga rentan memicu sengketa. Di ranah internasional, pada 2019 terdapat 930 kasus transfer pricing dalam mutual agreement procedure, naik 20% dari tahun sebelumnya, termasuk waktu penyelesaiannya (OECD, 2019).

Karena itu, untuk memangkas cost of compliance bagi wajib pajak dan cost of administration bagi otoritas pajak, perlu ada simplifikasi dalam sistem perpajakan (Avi Yonah, 2007). Salah satu bentuk simplifikasi yang diusulkan IMF, OECD maupun UN adalah safe harbour (OECD, 2017).

Secara umum, safe harbour memberikan perlakuan atau menetapkan batasan yang lebih sederhana bagi wajib pajak untuk menguji apakah penentuan harga transfernya sudah sesuai dengan arm’s length principle.

Meski pada awal kemunculannya konsep safe harbour dipandang negatif karena tidak sesuai dengan arm’s length principle secara umum, tetapi lambat laun dengan semakin besarnya kebutuhan akan kemudahan dalam berusaha, konsep ini menjadi semakin populer.

Bahkan satu proposal ekonomi digital OECD yang dirilis triwulan akhir 2019, ada unsur safe harbour, yaitu fixed remuneration untuk distribusi dan pemasaran. Karena itu, agar tepat sasaran, regulasi safe harbour harus dirancang cermat. Dasar hukum, cakupan, dan nilai wajarnya perlu diperhatikan.

Klausul Lain

REGULASI safe harbour sangat terkait dengan Pasal 18 Ayat (3) UU Pajak Penghasilan (PPh), di mana Dirjen Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan bagi wajib pajak yang mempunyai hubungan istimewa sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha.

Agar dapat mengakomodasi penerapan safe harbour yang notabene agak menyimpang dari arm’s length principle, perlu ditambahkan klausul pada Pasal 18 Ayat (3) yang memungkinkan penggunaan nilai lain yang dianggap telah memenuhi prinsip tersebut.

Langkah selanjutnya adalah menentukan kriteria wajib pajak atau transaksi yang dicakup oleh safe harbour. Salah satu bentuk konkret safe harbour yang direkomendasikan OECD adalah penentuan remunerasi untuk jasa intra-grup bernilai rendah (low value-adding services/LVAS).

LVAS adalah jasa yang diberikan pihak afiliasi yang bersifat sebagai pendukung, bukan bisnis inti, tidak melibatkan atau menciptakan barang tidak berwujud yang unik dan berharga, dan tidak melibatkan resiko yang signifikan bagi penyedia jasa. Australia, Israel, dan Singapura adalah beberapa negara yang telah mengadopsi safe harbour untuk LVAS. Di 3 negara ini, biaya mark-up bagi LVAS ditentukan 5%.

Jenis safe harbour lain yang dapat diterapkan adalah untuk pabrik manufaktur berisiko rendah (low risk manufacturer). Perlu diperhatikan kriteria perusahaan yang akan dicakup harus disebutkan secara jelas, misalnya dengan mengadopsi kriteria safe harbour untuk perusahaan maquiladora di Meksiko.

Kriteria tersebut antara lain barang jadi hanya akan dimiliki pihak ketiga di luar negeri yang membuat pesanan ke induk perusahaan di luar negeri dan perusahaan di dalam negeri memiliki risiko yang minimal terkait dengan pembelian dan penjualan.

Laba wajar perusahaan maquiladora, pabrikan manufaktur untuk tujuan ekspor di daerah kawasan perdagangan bebas perbatasan Meksiko-Amerika Serikat ini, ditentukan sebesar nilai yang lebih tinggi antara 6,9% dari nilai aset tetap atau 6,5% dari total biaya.

Batasan Omzet

SELAIN itu, seperti di India dan Singapura, perlu dipertimbangkan opsi batasan nilai tertentu baik dari omzet maupun nilai transaksi. Misalnya diselaraskan dengan threshold kewajiban penyelenggaraan dokumen penentuan harga transfer (TP Doc) seperti diatur dalam PMK No.213/PMK.03/2016.

Penetapan batasan omzet atau nilai transaksi itu tentu akan sangat berdampak bagi perusahaan kecil yang mungkin membutuhkan biaya yang tidak proporsional dengan laba usahanya untuk memenuhi aturan transfer pricing normal.

Aspek selanjutnya adalah terkait dengan besaran nilai arm’s length. Penetapan suatu nilai wajar, misalnya 5% biaya mark-up untuk LVAS atau 6,5% dari total biaya low-risk manufacturer, perlu didasari dengan kajian terlebih dahulu.

Dengan memanfaatkan data di DJP atau data lain, akan diperoleh sebaran margin laba perusahaan sejenis, baik di Indonesia atau wilayah terdekat selama beberapa tahun. Jika dari analisis ditemukan varian yang signifikan antarsektor industri, penerapan nilai wajar yang berbeda per sektor industri dapat dipertimbangkan.

Untuk memberi kepastian dan keadilan, perlu dibuka opsi bagi wajib pajak memilih mengaplikasikan safe harbour atau memakai metode transfer pricing umumnya (opt-in/opt-out). Agar fitur ini tidak disalahgunakan, jika wajib pajak telah memilih safe harbour tidak boleh berpindah ke aturan umum.

Meski safe harbour secara domestik dapat mengurangi sengketa transfer pricing, masih ada risiko terjadinya pajak berganda. Misalnya, ketika margin wajar yang ditetapkan di Indonesia berbeda dengan negara mitra P3B. Untuk mencegah adanya sengketa transfer pricing, wajib pajak dapat didorong menerapkan safe harbour melalui skema advance pricing agreement bilateral.

Regulasi safe harbour yang dirancang cermat akan menguntungkan wajib pajak dan juga otoritas pajak. Dengan safe harbour, DJP dapat mengalokasikan sumber dayanya pada kegiatan penggalian potensi dan pemeriksaan bagi wajib pajak yang memiliki risiko tinggi. Dari sisi wajib pajak, regulasi ini akan memberikan kemudahan dalam menentukan kewajaran transaksi.

Penggunaan nilai tertentu untuk menentukan margin wajar juga akan mengurangi sengketa transfer pricing akibat perbedaan penafsiran antara wajib pajak dan DJP terkait dengan penerapan arm’s length principle. Hal-hal ini tentu akan mengurangi cost of compliance dan meningkatkan kepastian hukum bagi wajib pajak dibandingkan dengan jika harus memenuhi aturan transfer pricing umum.

(Disclaimer)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 18 Desember 2024 | 11:45 WIB LITERATUR PAJAK

Perlukah Aturan Transfer Pricing di Indonesia Mengadopsi Safe Harbour?

Sabtu, 05 Oktober 2024 | 09:45 WIB LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2024

Memunculkan Fitur Transparansi Pajak di Platform Online Terintegrasi

Jumat, 04 Oktober 2024 | 17:15 WIB LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2024

Menyusun Strategi Jangka Pendek hingga Panjang Peningkatan Tax Ratio

Jumat, 04 Oktober 2024 | 13:48 WIB LOMBA MENULIS DDTCNEWS 2024

Menggagas Pajak Produk Rekayasa Genetika di Indonesia

BERITA PILIHAN