Edmalia Rohmani
,“TIDAK ada yang pasti di dunia ini, kecuali kematian dan pajak.” Kutipan Daniel Defoe yang kemudian dipopulerkan Benjamin Franklin ini seakan menegaskan pentingnya peran pajak dalam kehidupan manusia. Namun, apakah hal itu benar-benar terjadi di Indonesia?
Faktanya, rasio kepatuhan formal, yakni penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan wajib pajak orang pribadi hingga 30 April 2022 baru mencapai 68,46% atau sebanyak 11,87 juta SPT. Persentase itu belum memenuhi target 80% yang diharapkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Selain itu, terdapat anomali antara struktur wajib pajak di Indonesia dan jenis pajak yang menopang penerimaan negara. Jumlah wajib pajak pada 2021 sebanyak 49,82 juta. Dari jumlah tersebut, wajib pajak orang pribadi mendominasi dengan jumlah 45,43 juta.
Namun, setoran dari wajib pajak orang pribadi nonkaryawan hanya sebesar 1,4% dari total penerimaan pajak hingga akhir April 2022. Porsi tersebut tidak jauh berbeda dengan kondisi pada 2 tahun terakhir. Kondisi ini menjadi pekerjaan besar otoritas pajak dalam mewujudkan keadilan.
Bagaimana caranya agar tidak ada lagi ‘penumpang gelap’ yang menikmati fasilitas umum dari uang pajak tanpa membayar pajak semestinya? Bagaimana pula agar wajib pajak orang pribadi yang belum memenuhi kewajiban formalnya menjadi sadar, bahkan memenuhi kewajiban secara materiel?
Otoritas perlu memberikan perhatian pada terciptanya iklim layanan kondusif untuk meningkatkan kepatuhan sukarela. Untuk mewujudkannya, otoritas dapat menyajikan semua informasi yang diperlukan bagi masyarakat agar berperilaku sesuai dengan peraturan yang berlaku (Gangl et al, 2015).
Penyediaan informasi ini bertujuan untuk menciptakan kesadaran pajak serta meningkatkan pengetahuan perpajakan. Dengan demikian, wajib pajak diharapkan akan cenderung lebih taat dalam menjalankan kewajibannya.
Hal tersebut sebagaimana diungkapkan Rahadi (2014) bahwa pengetahuan dan pemahaman pajak berpengaruh positif terhadap kepatuhan wajib pajak.
Namun demikian, terdapat sejumlah tantangan dalam penyediaan akses informasi perpajakan, seperti terbatasnya jumlah penyuluh pajak yang memberikan layanan edukasi atau sosialiasi. Kemudian, terbatasnya jumlah Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
Tantangan lain penyediaan akses informasi perpajakan adalah jauhnya jarak yang harus ditempuh oleh wajib pajak di daerah terpencil menuju KPP. Kemudian, terbatasnya kapasitas saluran dan jam layanan contact center.
Padahal, pada saat ini, terdapat lebih dari 16.000 aturan perpajakan yang harus dipahami. Jumlahnya juga makin bertambah. Kondisi ini dapat menimbulkan kebingungan bagi wajib pajak dalam memahami berbagai peraturan, sehingga berpeluang untuk menurunkan kepatuhan pajaknya.
PADA era digital, otoritas pajak perlu memanfaatkan teknologi asisten virtual yang didukung kecerdasan buatan. Teknologi asisten virtual itu digunakan sebagai pemandu wajib pajak dalam mengakses informasi perpajakan.
Apalagi, sekitar 73,7% dari total populasi atau 202,6 juta penduduk Indonesia adalah pengguna Internet. Kondisi ini akan mempermudah penggunaan layanan asisten virtual yang dapat diakses melalui jaringan Internet.
Salah satu contoh keberhasilan penggunaan asisten virtual berbasis kecerdasan buatan oleh otoritas pajak adalah Ask Alex yang diluncurkan oleh Australian Taxation Office (ATO). Sejak 2016, asisten virtual ini telah melayani lebih dari 8 juta percakapan dengan persentase pertanyaan berhasil dijawab sebesar 95%. Capaian ini juga berkontribusi dalam menurunkan permintaan layanan telepon call center rata-rata sebesar 9% dari tahun ke tahun.
Terdapat perbedaan karakteristik antara layanan asisten virtual dan petugas pajak. Layanan asisten virtual dapat diakses kapan saja selama wajib pajak terhubung dengan Internet. Biaya yang dikeluarkan wajib pajak juga lebih sedikit dibandingkan dengan pengeluaran pulsa apabila menelepon petugas pajak atau mendatangi KPP.
Namun, performa asisten virtual ini sangat tergantung dengan kecerdasan buatan dalam memahami pertanyaan yang diajukan dan menyediakan jawaban tepat. Pertanyaan yang bersifat kompleks, kasuistik, mengandung detail teknis, serta perlu bimbingan langsung petugas belum tentu dapat diselesaikan oleh asisten virtual tersebut.
Oleh sebab itu, perlu dilakukan integrasi sistem dengan saluran petugas pajak agar wajib pajak mendapatkan jawaban yang lebih komprehensif apabila asisten virtual tidak dapat menjawabnya.
Selain itu, perbaikan dan pengembangan konten jawaban harus senantiasa dilakukan agar kemampuannya makin meningkat. Dengan demikian, akan tercipta pengalaman pengguna yang mengesankan serta berdampak besar dalam mendongkrak kepatuhan sukarela dan mewujudkan keadilan pajak.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2022. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-15 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp55 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.