ANALISIS PAJAK

Memahami Pemajakan Ekonomi Digital Berdasarkan Pasal 12B UN Model

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:45 WIB
Memahami Pemajakan Ekonomi Digital Berdasarkan Pasal 12B UN Model

Khisi Armaya Dora,
DDTC Consulting.

SEJAK disetujui sebagai pasal baru dalam UN Model, Pasal 12B cukup banyak menarik perhatian para pakar pajak internasional. Bahkan, Finley dan Smith (2021) menyebut pasal ini sebagai ‘the more controversial new provision to be included in 2021 version of the U.N model treaty and commentary’.

Pasal 12B ditambahkan dalam UN Model oleh Komite Perpajakan PBB atau UN Tax Committee pada April 2021. Pasal ini berisi ketentuan pemajakan atas penghasilan dari jasa digital otomatis atau automated digital services (ADS) yang diterima oleh perusahaan digital.

Cakupan dari ADS ini antara lain jasa periklanan digital, penyediaan data pengguna, online search engine, media sosial, jasa konten digital, game online, cloud computing, serta kegiatan-kegiatan lain yang tidak terlalu memerlukan intervensi manusia dalam pelaksanaannya.

Terdiri atas 11 ayat, Pasal 12B UN Model berfokus pada pembagian hak pemajakan antara negara domisili dan negara sumber atas penghasilan dari ADS. Hal ini terlihat dari ayat (1) yang pada prinsipnya memberikan hak pemajakan atas penghasilan dari ADS kepada negara domisili.

Perlu diperhatikan, ketentuan dalam ayat (1) itu tidak memberikan hak pemajakan secara eksklusif hanya kepada negara domisili. Sebab, berdasarkan pada ayat (2), penghasilan dari ADS dapat juga dikenakan pajak di negara sumber dengan dasar bruto melalui pemotongan pajak (withholding tax/WHT)

Tarif yang ditetapkan dalam pasal tersebut akan didasarkan pada negosiasi antara kedua negara yang mengadakan P3B. Terkait dengan tarif pajak ADS, UN Tax Committee merekomendasikan tarif antara 3%-4% (UN Commentary atas Pasal 12B ayat (2), Paragraf 18).

Berkebalikan dengan ayat (2), Pasal 12B ayat (3) UN Model memberikan ruang kepada beneficial owner penghasilan dari ADS untuk mengenakan pajak di negara sumber dengan basis penghasilan bersih (net income) dan tarif pajak yang ditentukan berdasarkan undang-undang domestik negara sumber.

Selanjutnya, ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) membahas mengenai definisi dari beberapa istilah yang digunakan dalam Pasal 12B UN Model. Ayat (4) menjelaskan definisi dari istilah ‘multinational enterprise group’, sedangkan ayat (5) dan ayat (6) mengenai istilah ‘automated digital services’.

Kemudian, ayat (7) juga mengatur batasan dari pemberlakuan Pasal 12B UN Model, yaitu ketentuan dalam pasal ini tidak dapat diterapkan jika pembayaran atas ADS dikategorikan sebagai royalti atau penghasilan dari jasa teknik. Atas pemajakan atas pembayaran keduanya, berlaku pasal lainnya dalam UN Model. Adapun Pasal 12 untuk royalti dan Pasal 12A untuk penghasilan dari jasa teknis.

Batasan pemberlakuan dari Pasal 12B juga diatur dalam ayat (8). Batasan ini berlaku apabila beneficial owner dari penghasilan ADS memiliki BUT di negara sumber atau melakukan pekerjaan bebas melalui suatu tempat tetap di negara sumber tersebut.

Dalam kasus pembayaran penghasilan tersebut kepada beneficial owner memiliki hubungan efektif dengan: (i) BUT atau tempat tetap yang dimilikinya di negara sumber atau (ii) kegiatan usaha yang dijalankan BUT, ketentuan yang berlaku untuk memajaki penghasilan tersebut bukan lagi Pasal 12B, melainkan Pasal 7 dan Pasal 14 UN Model.

Tidak sampai di situ. Pasal 12B UN Model juga mengatur mengenai ‘sourcing rule’ dalam ayat (9). Sementara ayat (10) dari pasal ini menetapkan batasan dari ‘sourcing rule’ tersebut. Terakhir, ayat (11) dari Pasal 12B UN Model membahas mengenai pemajakan atas penghasilan dari ADS dalam kondisi yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa.

Kelebihan dan Kekurangan

PADA dasarnya, Pasal 12B UN Model merupakan respons alternatif atas proposal Pilar 1: Unified Approach usulan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). Skema pemajakan pada Pilar 1 dipandang terlalu kompleks sehingga sulit untuk diterapkan yurisdiksi pasar yang notabene adalah negara berkembang.

Sementara itu, pendekatan yang diusung Pasal 12B UN Model adalah kemudahan administrasi sehingga banyak negara, terutama negara berkembang, dapat mengadopsi ketentuan ini (Ponomareva, 2022). Pasal 12B UN Model pun diimplementasikan melalui kesepakatan bilateral antarnegara mitra P3B, bukan melalui konsensus multilateral seperti yang tertuang pada Pilar 1.

Kelebihan dari Pasal 12B UN Model sebagai salah satu dari tiga pendekatan pemajakan ekonomi digital di negara berkembang juga diungkapkan oleh Mpoha (2021) dalam jurnal berjudul Article 12B of the UN Model (2021): A Simplified Solution for Developing Countries to Tax Income from Digital Economy?.

Pertama, memberikan cara pemajakan yang lebih sederhana serta menghasilkan penerimaan pajak yang lebih stabil atas penghasilan dari ADS. Kedua, tidak memerlukan perubahan yang signifikan terhadap pasal-pasal dalam P3B sehingga lebih mudah diimplementasikan.

Ketiga, memberikan kestabilan pada kerangka pajak internasional akibat melemahnya peran BUT. Keempat, memberikan perlindungan pada hak pemajakan sekaligus basis pemajakan, terutama bagi negara sumber.

Meskipun memiliki beberapa kelebihan dalam penerapannya, rumusan Pasal 12B UN Model juga tidak lepas dari kritikan. Beberapa kalangan bahkan berpendapat penerapan Pasal 12B UN Model memiliki kekurangan.

Menurut Chand dan Vilaseca (2021), dari sisi kebijakan pajak, Pasal 12B UN Model dianggap tidak efisien dan tidak efektif untuk diaplikasikan dalam beberapa situasi. Misal, dalam skenario B2C, mekanisme WHT sebagaimana diatur dalam Pasal 12B sulit untuk diterapkan.

Pasalnya, pengguna banyak kegiatan ADS, seperti online platforms, periklanan digital, media sosial, konten digital, dan lain sebagainya, adalah orang pribadi. Akibatnya, ketika Pasal 12B UN Model diterapkan, orang pribadi sebagai pemberi penghasilan memiliki kewajiban untuk melakukan pemotongan dan penyetoran pajak atas penghasilan dari ADS yang diserahkan oleh perusahaan digital.

Tentu saja skema di atas dapat menimbulkan isu kepatuhan dan administrasi pajak yang serius. Sebab, dalam praktik, umumnya orang pribadi tidak ditunjuk sebagai pemotong pajak. Selain itu, adanya keterbatasan pengetahuan dan kapasitas orang pribadi dalam mengadministrasikan pajak yang dipotong juga menjadi alasan sulitnya penerapan Pasal 12B UN Model dalam skenario B2C.

Terlepas dari kelebihan dan kekurangan tersebut, disetujuinya Pasal 12B dalam UN Model 2021 menunjukkan adanya kulminasi keresahan negara-negara berkembang mengenai pemajakan ekonomi digital yang tak kunjung memiliki kepastian. Di sisi lain, Pilar 1 yang direkomendasikan OECD pun belum juga disepakati.

Meskipun demikian, memperhatikan masih adanya kekurangan dalam penerapannya, akan lebih bermanfaat jika pemerintah suatu negara mempertimbangkan penerapan alternatif pemajakan ekonomi digital lainnya, misal mekanisme pajak tidak langsung atas barang dan jasa (Mpoha, 2022). Tentunya pertimbangan ini dilakukan untuk menemukan cara yang paling efektif dan efisien dalam pemungutan ekonomi digital.

Sebagai informasi, artikel analisis ini merupakan hasil keikutsertaan penulis dalam IFA Branch Indonesia: Annual International Tax Seminar. Keikutsertaan penulis merupakan bagian dari Human Resources Development Programme (HRDP) DDTC

Melalui HRDP, DDTC rutin memberangkatkan para profesionalnya dengan beasiswa penuh untuk mengikuti berbagai pelatihan, kursus, hingga studi lanjut S-2 di berbagai universitas ternama di dalam dan luar negeri.

(Disclaimer)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR

0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

BERITA PILIHAN