Mohamad Nasir
,BEBERAPA hari terakhir ini, media massa dan media sosial diramaikan dengan pembicaraan isu pajak atas barang-barang kebutuhan pokok.
Seperti yang diberitakan media, pemerintah akan mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) atas barang kebutuhan sembako dan jasa pendidikan. Pengenaan PPN itu bahkan disebut akan menggunakan tarif lebih tinggi dibandingkan dengan yang saat ini berlaku normal 10%.
Berita telah menyebar begitu mudah sehingga menimbulkan pertanyaan dan respons beragam di masyarakat. Dengan kata lain, menimbulkan kontroversi. Informasi yang diterima masyarakat masih sepotong-potong sehingga menimbulkan pemahaman yang kurang dalam.
Di samping itu, pemerintah saat ini sedang memfokuskan diri pada pemulihan ekonomi nasional dengan perhatian pada upaya untuk membantu pada masyarakat yang terdampak pandemi Covid-19.
Namun, tersebarnya berita tersebut juga dapat memberikan hikmah umpan balik yang baik bagi pemerintah agar pengambilan kebijakan dilakukan dengan lebih berhati-hati, pemikiran yang dalam, serta memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat kurang mampu.
Di sisi lain, perlu disadari pula, isu perpajakan bukanlah hal sederhana dan perkara yang mudah dipahami dengan baik oleh masyarakat. Secara umum, masyarakat nampak belum memahami betul tentang perpajakan. Tidak menutup kemungkinan terdapat masyarakat yang belum memahami apa itu fungsi pajak, jenis-jenis pajak, dan penerapan masing-masing pajak.
Artikel ini akan mengupas tentang pajak, khususnya PPN, secara dalam. Harapannya, masyarakat dapat memahami dan mensikapi isu-isu PPN dengan lebih baik. Lebih penting lagi, jangan sampai masyarakat terperangkap pada kepentingan tertentu karena kurangnya pemahaman terhadap PPN.
Tidak Hanya Penerimaan Negara
SECARA umum, pajak mempunyai 2 fungsi utama, yaitu fungsi budgetair (sumber penerimaan negara) dan fungsi regulerend (fungsi mengatur). Pajak merupakan salah satu sumber utama penerimaan negara. Pemerintah menggunakannya untuk membiayai segala jenis pengeluaran negara.
Poin penting dari fungsi ini adalah distribusi pendapatan. Artinya, mengambil uang dari masyarakat kaya lalu mendistribusikan atau membelanjakan untuk masyarakat miskin. Belanja itu seperti pengeluaran pendidikan, bantuan sosial, subsidi, dan lainnya. Pajak juga untuk kepentingan bersama misalnya belanja perbaikan jalan, pembelian alat-alat keamanan dan ketahanan, dan lainnya.
Selain berfungsi sebagai penerimaan, pajak juga berfungsi regulerend. Artinya, pajak negara dapat mengatur dan menargetkan sebuah tujuan tertentu. Hal ini dapat ditunjukan dengan kebijakan PPN ditanggung pemerintah atas barang kena pajak berupa rumah dengan harga di bawah Rp 2 miliar saat pandemi Covid-19. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mendorong permintaan dan mempertahankan produksi rumah. Ketika produksi rumah bertahan, laju peningkatan pengangguran dapat ditahan.
Selain itu, pemungutan pajak juga berasaskan pada keadilan dan daya pikul masyarakat. Masyarakat kaya akan dikenakan pajak atau beban pajak yang lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat kurang mampu.
Dalam beberapa kasus tertentu, masyarakat miskin dikenakan pajak lebih kecil, bahkan kemungkinan tidak diwajibkan membayar pajak. Sebagai contoh, masyarakat yang berpenghasilan di bawah batasan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) tidak diwajibkan membayar pajak penghasilan (PPh).
Karakteristik PPN
NEGARA-negara di dunia, termasuk Indonesia, mengenakan beberapa jenis pajak, seperti PPh, PPN, serta pajak bumi dan bangunan (PBB). Jenis-jenis pajak itu berlaku bagi semua warganya. Masing-masing jenis pajak ini mempunyai karakter yang berbeda.
PPh dikenakan pada penghasilan yang didapat warganya (individu dan badan usaha) dan PBB dikenakan atas pemanfaatan tanah dan/atau bangunan. Sementara itu, PPN dikenakan pada transaksi konsumsi sehingga disebut sebagai pajak konsumsi.
PPN sendiri mempunyai 3 karakter utama yang menyebabkannya menarik. Salah satunya terkait dengan objek PPN. Untuk dikenakan PPN, barang atau jasa harus menjadi objek PPN. Objek PPN sendiri adalah barang dan atau jasa yang telah ditetapkan sebagai barang atau jasa kena pajak (BKP/JKP). Barang yang tidak ditetapkan sebagai objek pajak disebut non-BKP/JKP.
Yang menarik dari PPN adalah meskipun sudah ditetapkan sebagai BKP/JKP dalam peraturan perundang-undangan, suatu barang atau jasa bisa saja tidak dikenakan PPN melalui status BKP yang dibebaskan.
Status BKP/JKP yang dibebaskan memiliki manfaat lebih baik dari sisi pengawasan dibandingkan status non-BKP/JKP. Hal ini dikarenakan BKP/JKP yang dibebaskan menuntut adanya laporan sehingga menghindari penghindaran pajak.
Selanjutnya, PPN menarik karena melibatkan proses pengkreditan PPN, yaitu mengurangkan PPN masukan terhadap PPN keluaran. Pengusaha kena pajak (PKP) dipungut PPN ketika melakukan pembelian (PPN masukan) dan akan memungut PPN kepada pembeli ketika melakukan penjualan (PPN keluaran). PKP akan mengkreditkan PPN masukan yang sudah dibayarkan sehingga pengkreditan ini tidak akan berdampak pada penambahan biaya PKP.
Karakteristik menarik yang terakhir adalah adanya penyerahan BKP/JKP dari PKP kepada pembeli. Dengan kata lain, harus terdapat kegiatan penjualan dan pembelian.
Keberpihakan
MESKIPUN merupakan pajak konsumsi dan berlaku bagi seluruh masyarakat, pengenaan PPN mempunyai keberpihakan kepada pelaku usaha kecil atau masyarakat kecil. Hal ini terjadi pada syarat pemungut PPN, yaitu PKP.
Telah diuraikan di atas bahwa pihak yang berhak memungut PPN kepada pembeli adalah pelaku usaha yang berstatus PKP. Untuk mendapatkan status PKP harus mendapatkan penetapan dari Ditjen Pajak (DJP). Untuk mendapatkan status ini, salah satu syaratnya adalah omzet penjualan yang dipenuhi minimal Rp4,8 miliar setahun.
Omzet minimal Rp4,8 miliar ini menjadi poin keberpihakan PPN pada pelaku usaha kecil yang tidak berstatus PKP. Pelaku usaha kecil tidak wajib memungut PPN pada pembeli sehingga BKP/JKP yang dijual mempunyai harga lebih murah dibandingkan dengan yang dijual pedagang besar beromzet di atas Rp4,8 miliar.
Hal menarik untuk dikaji dan dipertimbangkan adalah dampak pengaturan saat ini pada beberapa barang, seperti daging sapi. Pada peraturan perundang-undangan saat ini, daging sapi merupakan non-BKP. Kebutuhan dalam negeri juga disediakan melalui impor.
Dengan mengubah peraturan perundang-undangan dan menjadikannya sebagai BKP, daging sapi yang berasal dari impor dapat dikenakan PPN. Sementara daging sapi yang berasal dari peternak kecil dan dijual pedagang kecil tidak akan dikenakan PPN karena peternak tidak berstatus PKP.
Logikanya, masyarakat akan membeli daging sapi yang lebih murah. Hal ini bisa berdampak pula pada pasar tradisional yang diisi pedagang-pedagang kecil. Pasar-pasar tradisional akan makin ramai didatangi pembeli. Rencana pengenaan PPN dengan tarif lebih besar justru akan meningkatkan daya saing pedagang-pedagang kecil.
Sebaliknya, ketika peraturan perundang-undangan tidak berubah (daging sapi tetap non-BKP), aspek keadilannya lebih rendah. Hal ini dikarenakan harga daging sapi yang dijual di pasar tradisional tidak mempunyai daya saing harga dengan daging sapi yang dijual di pasar-pasar modern.
Selain itu, daging sapi produk dalam negeri akan bersaing langsung dengan daging sapi produksi impor. Pada akhirnya, produksi daging sapi masyarakat kebanyakan tidak terlindungi.
Agar makin mendukung masyarakat kecil, kebijakan ini dapat didukung dengan kebijakan pengeluaran. Hasil pemungutan PPN atas BKP/JKP didistribusikan kepada masyarakat kurang mampu dalam bentuk bantuan sosial, subsidi, dan lain sebagainya.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.