STATISTIK TRANSFER PRICING

Melihat Tren Penerapan Safe Harbour dalam Regulasi Transfer Pricing

DDTC Fiscal Research and Advisory | Selasa, 18 Mei 2021 | 13:30 WIB
Melihat Tren Penerapan Safe Harbour dalam Regulasi Transfer Pricing

PENERAPAN prinsip arm’s length principle (ALP) dalam analisis transfer pricing kerap kali memberikan tantangan. Mulai dari kesulitan menemukan pembanding yang tepat hingga menimbulkan beban kepatuhan. Untuk mengatasi hal tersebut, berbagai negara menerapkan apa yang disebut sebagai safe harbour.

Mengacu pada Para 4.101 dan 4.102, OECD Guidelines 2017, safe harbour didefinisikan sebagai pilihan untuk mengikuti ketentuan transfer pricing yang lebih sederhana atau dibebaskan dari kewajiban ketentuan transfer pricing yang berlaku secara umum, bagi wajib pajak, sektor, atau transaksi tertentu. Harga atau nilai yang mengacu pada ketentuan safe harbour akan secara otomatis diterima oleh otoritas pajak.

Bagi wajib pajak, safe harbour memberikan berbagai manfaat antara lain menyederhanakan dan mengurangi biaya kepatuhan, serta memberikan kepastian. Sementara itu, ketentuan tersebut akan menciptakan efisiensi bagi otoritas pajak sehingga mereka bisa fokus dalam pemeriksaan transaksi antarafiliasi yang berisiko tinggi.

Namun, ketentuan tersebut mendapat kritik, terutama karena merupakan deviasi dari prinsip ALP, berpotensi menimbulkan pajak berganda, serta membuka peluang perencanaan pajak. Tak heran, jika pada OECD Guidelines 1995 dan 2010, safe harbour kurang disarankan (Darussalam, Septriadi, dan Kristiaji, 2013).

Seiring berjalannya waktu dan pengalaman di berbagai negara, safe harbour menjadi sesuatu yang direkomendasikan baik dalam OECD Guidelines maupun UN TP Manual. Bahkan, melalui UN TP Manual 2021 yang baru saja diperbarui, terdapat rekomendasi penerapan safe harbour bagi jasa yang memiliki nilai tambah rendah serta transaksi dengan nilai yang tidak materiel.

Hal ini juga dikarenakan tingginya biaya administrasi untuk analisis kedua transaksi tersebut yang kerap kali tidak sebanding dengan penerimaan yang akan diperoleh pemerintah. Lantas, bagaimana tren penerapan safe harbour di negara lain?

Informasi mengenai hal tersebut bisa diakses pada data Transfer Pricing Country Profiles yang dibangun OECD. Data tersebut terakhir diperbarui per 12 Januari 2021. Basis data ini pada dasarnya menghimpun regulasi transfer pricing di 57 negara dan menelaah sejauh mana kesesuaian regulasi tiap negara dengan OECD Guidelines.

Terdapat beberapa temuan yang perlu menjadi perhatian. Pertama, sebanyak 19 dari 57 negara (33,3%) memberlakukan ketentuan safe harbour. Proporsi itu mengindikasikan cukup banyak negara yang membuka ruang bagi penyederhanaan analisis transfer pricing.

Kedua, ketentuan safe harbour di 19 negara tersebut umumnya diterapkan bagi jenis transaksi tertentu, yaitu sebanyak 17 negara. Jenis transaksi yang tidak perlu dianalisis menggunakan prinsip ALP dan membutuhkan pembanding tersebut umumnya ialah jenis jasa intragrup baik jasa yang bersifat pendukung, rutin, dan/atau dengan nilai tambah rendah, serta transaksi pendanaan melalui pinjaman antarafiliasi.

Untuk jasa tertentu, ketentuan safe harbour diterapkan dengan margin tertentu, sedangkan pinjaman dengan karakteristik tertentu diimplementasikan (rentang) suku bunga tertentu yang dirilis oleh otoritas yang berwenang atau merujuk pada suku bunga pasar keuangan internasional.

Ketiga, ketentuan safe harbour yang menyasar kepada industri dan/atau wajib pajak tertentu tidak banyak diberlakukan. Tercatat hanya 4 negara yang menerapkan bagi wajib pajak tertentu. Contoh, opsi penggunaan safe harbour di Australia dapat diberikan kepada wajib pajak kecil atau distributor.

Sementara itu, Meksiko mengenakannya safe harbour terhadap perusahaan maquiladora. Sebagai informasi, maquiladora merupakan perusahaan padat karya, minim risiko, dan memiliki karakteristik seperti toll manufacturer (Hejazi, 2009)

Untuk jenis industri tertentu, terdapat 5 negara yang memberlakukan aturan safe harbour. Misal, Luksemburg menerapkan safe harbour bagi perusahaan yang bergerak dalam sektor pembiayaan dan keuangan.

Sebagai penutup, ketentuan safe harbour diprediksi kian populer dengan mempertimbangkan berbagai manfaat yang akan diterima. Ketentuan ini juga menawarkan suatu kepastian di tengah implementasi transfer pricing sebagai not exact science. (rig)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

25 Mei 2021 | 08:48 WIB

terima kasih telah melewati lebaran asyiiik somoga selanjutnya makiiin aaaasyyiiiiik

25 Mei 2021 | 08:48 WIB

terima kasih telah melewati lebaran asyiiik somoga selanjutnya makiiin aaaasyyiiiiik

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 24 Desember 2024 | 12:50 WIB STATISTIK TARIF PAJAK

Beban Pajak Perseroan dengan Pemegang Saham Orang Pribadi di Indonesia

Selasa, 24 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Tahapan Pendahuluan untuk Transaksi Jasa dalam Penerapan PKKU

Senin, 23 Desember 2024 | 15:45 WIB STATISTIK KEBIJAKAN PAJAK

Pelayanan Kesehatan Medis Bebas PPN Indonesia, Bagaimana di Asean?

Senin, 23 Desember 2024 | 11:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Keterangan Tertulis DJP soal Penyesuaian Tarif PPN, Unduh di Sini

BERITA PILIHAN
Rabu, 25 Desember 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah akan Salurkan KUR Rp300 Triliun Tahun Depan

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:30 WIB PSAK 201

Item-Item dalam Laporan Posisi Keuangan Berdasarkan PSAK 201

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra