PESATNYA digitalisasi telah membuka sekat wilayah antaryurisdiksi. Hal ini berdampak pada tingginya mobilitas perusahaan dan sumber daya manusia. Perusahaan di yurisdiksi terpencil dapat menjangkau pasar global dengan menggaet konsumen di seluruh penjuru dunia.
Alhasil, perusahaan di yurisdiksi yang ‘ramah’ beban pajak akan lebih diuntungkan bila dibandingkan dengan perusahaan di yurisdiksi lainnya. Untuk itu, diperlukan suatu kesepakatan bersama untuk mewujudkan alokasi beban pajak yang adil sehingga menciptakan pendapatan global yang optimal dan menguntungkan banyak pihak.
Rilis Organisation of Economic Co-operation and Development/OECD berjudul Tax Challenges Arising from Digitalisation – Economic Impact Assessment memaparkan analisis implikasi ekonomi dan penerimaan pajak atas proposal pilar pertama dan kedua yang menjadi bahasan di dalam OECD/G20 Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting/BEPS. Kedua proposal merupakan bagian dari upaya mengatasi tantangan pajak yang muncul akibat digitalisasi ekonomi.
Pilar pertama mengedepankan alokasi pemajakan yang adil antaryurisdiksi sehingga berujung pada penerimaan pajak global yang optimal. Di sisi lain, pilar kedua lebih memfokuskan pada adanya skema pajak penghasilan (PPh) badan antaryurisdiksi sehingga mengurangi praktik profit shifting, yaitu pemindahan laba ke yurisdiksi bertarif pajak rendah.
Tabel berikut menjabarkan estimasi penerimaan pajak global yang dihasilkan dari beberapa skenario. Pertama, estimasi yang hanya memperhitungkan dampak pilar pertama. Kedua, estimasi yang hanya memperhitungkan dampak pilar kedua. Terakhir, estimasi yang memperhitungkan dampak penggabungan kedua proposal.
Dari hasil estimasi yang dikalkulasi oleh Sekretariat OECD, proposal pilar pertama diestimasi dapat meningkatkan penerimaan PPh badan secara global sebanyak 0,2% hingga 0,5% atau setara dengan US$5 miliar hingga US$12 miliar.
Di sisi lain, pilar kedua diestimasikan berkontribusi pada peningkatan penerimaan PPh badan global sebesar 1,7% hingga 2,8% atau setara dengan US$42 miliar hingga US$70 miliar. Selanjutnya, penggabungan kedua proposal diestimasikan dapat meningkatkan pendapatan PPh badan global sebesar 1,9% hingga 3,2% atau setara dengan US$47 hingga US$81 miliar per tahun.
Meski demikian, rezim Global Intangible Low Tax Income (GILTI) di Amerika Serikat menyebabkan laba anak perusahaan yang berdomisili di luar domisili tidak terkena pajak domestik (income inclusion rule/IIR) sehingga penerimaan pajak global akibat pilar kedua tidak melibatkan perusahaan-perusahaan multinasional yang berasal dari Amerika Serikat.
Oleh karena itu, dalam menghitung dampak penerapan proposal secara lebih akurat dan menyeluruh, perlu dilihat pula dampak kedua proposal dengan dampak yang dihasilkan oleh rezim GILTI. Rezim ini sendiri berkontribusi dalam peningkatan penerimaan PPh badan global sebesar 0,4% hingga 0,8%.
Alhasil, dampak menyeluruh yang ditimbulkan oleh kedua proposal tersebut meningkat menjadi 2,3% hingga 4,0% pada peningkatan PPh badan global atau setara dengan US$56 – US$102 miliar per tahun.
Menariknya, ada beberapa poin yang dapat diambil dari hasil perhitungan tersebut. Pertama, dampak pilar kedua lebih efektif dalam meningkatkan penerimaan PPh badan secara global apabila dibandingkan dengan dampak pilar pertama.
Kedua, kontribusi dari perusahaan multinasional Amerika cukup besar dan tidak dapat diabaikan. Hal ini terlihat dari lebih tingginya dampak rezim GILTI apabila dibandingkan dengan dampak pilar pertama pada peningkatan PPh badan global tersebut.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.