Ilustrasi.
PARIS, DDTCNews - Data country-by-country reporting (CbCR) menunjukkan adanya indikasi praktik penggerusan basis dan pengalihan laba (base erosion and profit shifting/BEPS) oleh para perusahaan multinasional.
Merujuk laporan Corporate Tax Statistics - 4th Edition, OECD menemukan adanya ketidakselarasan data—seperti jumlah pegawai, nilai aset berwujud, dan nilai profit—antara lokasi dilaporkannya laba dan lokasi terjadinya aktivitas ekonomi.
"Meski temuan tersebut bisa jadi mencerminkan adanya pertimbangan komersial dari perusahaan multinasional, temuan itu juga mengindikasikan adanya praktik BEPS," tulis OECD dalam laporan tersebut, dikutip pada Jumat (18/11/2022).
Sebagai contoh, laba yang dibukukan oleh perusahaan multinasional di yurisdiksi investment hub mencapai 29% dari total laba. Namun, jumlah pegawai yang berlokasi di yurisdiksi tersebut hanya sebanyak 4% dari total pegawai.
Tak hanya itu, aset berwujud yang berlokasi di investment hub hanya sebanyak 15% dari total aset perusahaan multinasional.
Lebih lanjut, OECD mencatat rasio pendapatan per pegawai di negara tanpa pajak penghasilan badan cenderung lebih tinggi ketimbang rasio pendapatan per pegawai di negara yang mengenakan pajak penghasilan badan.
"Nilai median pendapatan per karyawan di yurisdiksi tanpa PPh badan adalah senilai US$2 juta dibandingkan dengan senilai US$300.000 untuk yurisdiksi dengan tarif PPh badan di atas 0%," tulis OECD dalam keterangan resmi.
Selanjutnya, OECD juga mencatat 35% dari pendapatan yang diterima perusahaan di negara-negara investment hub adalah related party revenue. Pada negara-negara berpenghasilan tinggi, sedang, dan rendah, related party revenue hanya berkontribusi sebesar 15% terhadap total pendapatan.
"Walau tingginya related party revenue di investment hub mungkin saja didorong oleh faktor-faktor komersial, hal tersebut juga mengindikasikan adanya tax planning dari perusahaan multinasional," tulis OECD.
Terlepas dari temuan tersebut, OECD mengimbau para stakeholder untuk tidak langsung mengambil kesimpulan perihal indikasi BEPS. Menurut OECD, sebagian data CbCR bersifat agregat sehingga tidak dapat menjadi dasar untuk menginvestigasi praktik BEPS.
OECD juga memandang praktik BEPS tidak dapat diidentifikasi menggunakan data yang yang hanya mencakup beberapa tahun pajak saja. Hingga saat ini, OECD tercatat baru memublikasikan data CbCR 2016 hingga 2018.
"Bahkan dengan tambahan data dari tahun selanjutnya, sejumlah peristiwa lain (seperti Covid-19 dan penetapan TCJA 2017) akan memengaruhi data dan akan mempersulit identifikasi praktik BEPS," tulis OECD.
Terlepas dari permasalahan tersebut dan adanya time lag dari publikasi data CbCR, OECD menilai data-data CbCR memberikan motivasi bagi setiap yurisdiksi untuk menangani masalah BEPS lewat kerja sama multilateral.
Data-data terbaru ini menunjukkan CbCR masih perlu terus diperkuat pada tahun-tahun yang akan datang guna mendukung reformasi perpajakan internasional dan memerangi BEPS. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.