BAGAI bumi dan langit. Begitulah kiasan yang terlintas jika membandingkan metode Comparable Uncontrolled Price (CUP) dan Transactional Net Margin Method (TNMM) dalam dunia transfer pricing sebelum rezim Base Erosion and Profit Shifting (BEPS), tepatnya setelah dirilisnya edisi perdana panduan oleh OECD (OECD Guidelines) pada 1995.
Pada era tersebut, aplikasi analisis transfer pricing menggunakan pendekatan hierarcy of methods sehingga metode CUP memiliki ‘takhta’ tertinggi. Sementara itu, TNMM dianggap sebagai ‘anak bawang’ karena dijadikan sebagai opsi terakhir dalam pemilihan metode transfer pricing (methods of last resort).
CUP merupakan metode perbandingan tingkat harga transaksi barang atau jasa di antara pihak afiliasi dan pihak independen. Sementara itu, TNMM merupakan metode perbandingan margin laba operasi antarperusahaan.
Dengan kata lain, dalam struktur laporan laba rugi suatu perusahaan pun dapat dilihat bahwa metode CUP menduduki posisi teratas karena berada pada tingkat pendapatan. Sementara itu, TNMM menempati pada posisi terbawah karena berada pada tingkat laba atau rugi operasi. Kiasan bagai bumi dan langit pun makin relevan.
Superioritas CUP salah satunya karena sifat metode ini yang dapat menguji kewajaran secara langsung atas suatu transaksi dan para pihak yang bertransaksi. Dengan demikian, aplikasi CUP akan memberikan informasi detail transaksi yang lebih mendalam dan simpulan hasil analisis dengan akurasi tinggi.
Hal tersebut tidak berlaku untuk TNMM karena tidak dapat secara langsung mencerminkan kewajaran masing-masing transaksi afiliasi yang sedang diuji (Darussalam, Septriadi, Kristiaji, dan Marhani, 2023). Alhasil, pada era terdahulu, TNMM hanya dipandang ‘sebelah mata’.
Memasuki era pasca-BEPS, TNMM telah tumbuh menjadi primadona dalam dunia transfer pricing sehubungan dengan telah diakuinya pendekatan the most appropriate method sejak dirilisnya OECD Guidelines 2010. Pesona TNMM bahkan dianggap telah menyaingi CUP yang dianggap sebagai metode paling superior sebelumnya.
Dewasa ini, penentuan metode transfer pricing yang paling sesuai juga telah menjadi elemen yang diperdebatkan dalam sebagian besar sengketa di Pengadilan Pajak Indonesia. Penentuan tersebut termasuk antara pemilihan metode CUP atau TNMM (Sukardi dan Daholi, 2024).
Pendekatan the most appropriate method diadopsi ke dalam peraturan domestik seperti Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-43/PJ/2010 s.t.d.d Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-32/PJ/2011 serta Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-22/PJ/2013.
Melalui pendekatan tersebut, prinsip yang digunakan dalam penentuan metode transfer pricing adalah metode yang paling sesuai dengan fakta dan kondisi yang mempertimbangkan empat faktor.
Adapun keempat faktor yang dimaksud di antaranya (i) kelebihan dan kekurangan setiap metode, (ii) kesesuaian metode dengan sifat dasar transaksi, (iii) ketersediaan informasi yang andal, dan (iv) tingkat kesebandingan.
Prinsip the most appropriate method tersebut membuat kedudukan semua metode menjadi sejajar atau seimbang. Meskipun demikian, Paragraf 2.4 OECD Guidelines 2022 juga menyebutkan bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu, transactional profit methods (seperti TNMM) juga dapat dianggap lebih tepat untuk diaplikasikan jika dibandingkan dengan traditional transaction method (seperti CUP).
Sifat TNMM dianggap ‘seksi’ karena menawarkan fleksibilitas dan tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap faktor-faktor kesebandingan dibandingkan metode lainnya, seperti CUP. Dengan demikian, tidak mengherankan jika dalam praktik saat ini, TNMM lebih sering digunakan daripada CUP karena mempertimbangkan ‘keseksiannya’ tersebut.
Kondisi itu tentunya dapat membuat wajib pajak berada dalam posisi dilematik. Hal ini dikarenakan wajib pajak perlu untuk melihat helicopter view atau keseluruhan aspek dari masing-masing metode terhadap transaksi yang akan diuji. Dengan demikian, diperlukan argumen yang lebih komprehensif dalam penentuan metode transfer pricing.
SENGKETA transfer pricing antara wajib pajak dan otoritas pajak pun akhirnya dapat terpicu, apalagi ketika metode yang sudah dipilih memberikan hasil analisis yang tidak konsisten atau tidak masuk akal. Lantas, bagaimana upaya untuk mengantisipasi hal tersebut?
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menggunakan lebih dari satu metode secara bersamaan (corroborative method). Misalnya, penerapan metode CUP yang ditujukan sebagai sanity check terhadap metode TNMM yang telah diaplikasikan sebelumnya. Hal ini mengingat bahwa pada dasarnya juga tidak terdapat larangan penggunaan lebih dari satu metode, baik dalam OECD Guidelines maupun peraturan domestik yang berlaku.
Dari sisi manajemen risiko, corroborative method dapat sangat membantu ketika wajib pajak dihadapkan pada hasil analisis yang dirasa kurang andal atau sulit dipastikan kesimpulannya.
Pendekatan corroborative dapat meningkatkan keandalan analisis transfer pricing dengan memastikan bahwa transaksi antarperusahaan sejalan dengan nilai arm’s length principle, baik dari sudut pandang profil fungsional maupun perspektif harga (Pozzi dan Consalter, 2023).
Paragraf 2.12 OECD Guidelines 2022 mengakui bahwa pendekatan yang fleksibel berdasarkan gabungan berbagai metode dapat membantu meningkatkan keandalan hasil analisis transfer pricing. Meskipun demikian, pada dasarnya OECD tidak mensyaratkan penggunaan lebih dari satu metode secara wajib. Umumnya, wajib pajak disarankan untuk menerapkan metode yang memberikan estimasi arm’s length paling andal.
Pada hakikatnya, sengketa transfer pricing adalah sengketa fakta. Dengan demikian, penelaahan fakta-fakta atau substansi transaksi yang memadai menjadi penting untuk dilakukan dalam rangka pencegahan sengketa pajak (Darussalam, Septriadi, dan Yuki, 2023).
Atas hal tersebut, penggunaan corroborative method dapat menunjukkan bahwa wajib pajak telah berusaha mengidentifikasi ketersediaan informasi dan fakta-fakta yang paling relevan dan dapat diandalkan untuk tujuan penilaian kewajaran suatu transaksi afiliasi.
Pada akhirnya, wajib pajak dapat mengonvergensikan metode CUP dan TNMM pada satu titik temu yang saling mendukung meski sebelumnya dianggap bagai bumi dan langit.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis internal bertajuk Gagasan Pajak dalam Satu Pena DDTC. Lomba ini merupakan bagian dari acara peringatan HUT ke-17 DDTC. (kaw)
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.