KEPASTIAN sistem pajak merupakan hal yang paling utama bagi wajib pajak dan otoritas pajak untuk menjalankan kewajiban dan hak perpajakan dengan baik. Wajib pajak ingin melaksanakan kewajiban dan hak perpajakannya dengan nyaman tanpa sengketa atau proses yang berlarut-larut.
Otoritas pajak juga ingin melaksanakan tugasnya tanpa menemukan kendala perbedaan interpretasi dengan wajib pajak. Namun, hal tersebut dapat terjadi dan menjadi masalah ketika sistem pajak tidak pasti dan tidak terperinci. Pada akhirnya, merugikan wajib pajak dan otoritas pajak.
Salah satu asas pemungutan pajak adalah asas ease of administration yang salah satu indikator di dalamnya adalah asas certainty (Rosdiana & Irianto, 2012). Pada asas certainty (kepastian), bahwa dalam pemungutan pajak harus ada kepastian, baik bagi otoritas pajak maupun wajib pajak.
Asas certainty ini meliputi kepastian mengenai siapa yang harus dikenakan pajak, apa saja yang dijadikan sebagai objek pajak, besarnya jumlah pajak yang harus dibayar, dan bagaimana jumlah pajak yang terutang itu harus dibayar.
Oleh karena itu, bukan hanya kepastian mengenai subjek, objek, dasar pengenaan, dan tarif pajak. Tetapi juga kepastian prosedur pemenuhan kewajiban dan hak perpajakan seperti cara pembayaran dan pelaporan, syarat dan tata cara pengembalian, bantuan, serta hak hak perpajakan lainnya.
Bagi otoritas pajak, dalam mengawasi kewajiban perpajakan wajib pajak dan dalam melayani haknya akan menjadi sulit. Tanpa prosedur yang jelas, wajib pajak dan otoritas pajak akan sulit menjalankan kewajiban dan haknya. Karena itu, dibutuhkan peningkatan kepastian sistem pajak.
Kepastian sistem pajak akan berdampak pada pelaksanaan kewajiban dan hak perpajakan yang lebih efisien dalam fiscal cost yaitu biaya untuk melaksanakan kewajiban dan hak perpajakan, time cost, lamanya waktu, dan psychological cost, ketidaktenangan, kegelisahan, dan ketidakpastian.
Dari perspektif itu, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan untuk membangun kepastian sistem pajak. Pertama, peraturan yang lebih jelas dan tidak tumpang tindih. Salah satu bentuk ketidakpastian pajak adalah ada dua hukum atau lebih yang mengatur interpretasi wajib pajak dan otoritas pajak.
Sebagai contoh, pemotongan pajak penghasilan (PPh) atas pembayaran imbalan kepada arsitek orang pribadi menurut Pasal 3 huruf c angka 1 PMK No. 252/PMK/2008 jo Pasal 3 huruf c angka 1 Perdirjen 31/PJ/2009, pembayaran imbalan menjadi objek PPh Pasal 21.
Namun, menurut Pasal 4 ayat 2 UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, pembayaran itu menjadi objek PPh final. Oleh karena itu, yang perlu diperhatikan adalah peraturan yang dibuat tidak boleh lex posteriori derogate lex priori yaitu hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama.
Karena itu, diperlukan tinjauan peraturan secara berkala sebelum membuat peraturan yang baru. Tinjauan peraturan tersebut dilakukan dengan tujuan menyempurnakan secara terus menerus peraturan perpajakan untuk menyesuaikan dengan perkembangan dinamika bisnis dan ekonomi.
Secara lebih khusus lagi diperlukan tim peninjau peraturan yang dibantu peneliti, akademisi untuk mengindentifikasi masalah di lapangan. Dengan demikian, peraturan baru akan menyempurnakan peraturan lama dan membantu mempermudah penyelesaian masalah yang terjadi.
Pengawasan Birokrasi
KEDUA, penyederhanaan birokrasi tanpa mengurangi pengawasan. Birokrasi akan memaksimalkan pengawasan terhadap wajib pajak. Namun, efeknya menyebabkan proses yang cukup lama. Misalnya restitusi PPN di PMK No. 72/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan PPN/PPnBM.
Dalam PMK itu, Ditjen Pajak (DJP) setelah meneliti harus merilis Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak 1 bulan sejak diterimanya permohonan. Setelah memeriksa, DJP harus merilis Surat Ketetapan Pajak paling lama 12 bulan sejak permohonan diterima lengkap.
Penelitian dan pemeriksaan restitusi itu sejatinya merupakan birokrasi pengawasan yang maksimal. Namun, apabila menghabiskan waktu cukup lama, hal tersebut dapat merugikan. Penyederhanaan birokrasi dapat dilakukan sebagai upaya mempercepat proses tersebut.
Dengan demikian, wajib pajak dapat menjalankan usahanya tanpa terkendala anggaran dan otoritas pajak bisa mengalokasikan sumber daya manusianya untuk tugas lain. Hal tersebut juga bisa dilakukan tanpa mengurangi pengawasan, karena pengawasan dilakukan selama dan setelah proses restitusi.
Ketiga, penggunaan teknologi sebagai penunjang peningkatan peraturan, birokrasi, dan pengawasan yang lebih baik. Bagi wajib pajak, aplikasi tersebut bisa digunakan sebagai tempat untuk mendapatkan informasi, akses peraturan, dan tata cara perpajakan.
Bagi otoritas pajak, aplikasi tersebut sebagai tempat untuk menyempurnakan peraturan yang lama yang dapat diakses wajib pajak. Akhirnya, aplikasi tersebut dapat membantu wajib pajak dan otoritas pajak menggunakan satu peraturan yang sama dan tidak menimbulkan perbedaan interpretasi lagi.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.