Kepala Subdirektorat Penyuluhan Perpajakan DJP Inge Diana Rismawanti.
PENYULUHAN menjadi makin krusial di tengah masih berlanjutnya reformasi pajak. Maklum, dalam kerangka reformasi, banyak kebijakan pajak yang berubah, bahkan baru muncul. Dinamika tersebut perlu dibarengi dengan pemahaman dari wajib pajak, salah satunya melalui kegiatan penyuluhan.
Di sisi lain, reformasi pajak yang terjadi pada masa pandemi Covid-19 juga menuntut penyesuaian proses bisnis penyuluhan. Adanya upaya membatasi interaksi langsung atau tatap muka telah direspons dengan pemanfaatan teknologi informasi.
Berbagai penyesuaian terkait dengan penyuluhan juga dimanfaatkan untuk memperkuat inklusi kesadaran pajak yang masih menjadi tantangan sejak lama. Selaku otoritas, DJP juga tidak ingin kehilangan momentum bonus demografi untuk membangun masyarakat sadar pajak melalui edukasi.
Bertepatan dengan momentum Hari Pajak pada 2022, DDTCNews berkesempatan mewawancarai Kepala Subdirektorat Penyuluhan Perpajakan DJP Inge Diana Rismawanti untuk membahas berbagai aspek mengenai penyuluhan pajak. Berikut petikannya.
Menurut Anda, mengapa edukasi pajak masih cukup krusial di Indonesia?
Sebetulnya alasannya bisa banyak. Kita bicara kepatuhan yang masih rendah. Kemudian, bicara tax ratio yang diharapkan lebih tinggi itu juga butuh edukasi. Enggak semua orang tiba-tiba dicolek dikit langsung bayar pajak. Perlu diedukasi dulu, baru mereka bisa meningkatkan kepatuhannya. Kita ingin edukasi pajak sejak dini.
Bagaimana upaya yang sudah dijalankan?
Kami sudah mulai dengan program inklusi perpajakan di perguruan tinggi. Sampai dengan 2021, sudah ada 492 perguruan tinggi sebagai mitra inklusi telah bekerja sama dengan Kanwil DJP di seluruh Indonesia. Saat ini, kami dalam proses untuk piloting program inklusi kesadaran pajak di SMA dan sederajat. Kami sudah membuat buku pengayaan kesadaran pajak untuk pendidikan tingkat dasar dan menengah dan sedang menunggu hasil penilaian oleh Pusat Perbukuan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebelum disebarluaskan ke sekolah-sekolah yang akan mengikuti program inklusi ini.
Dalam laporannya, OECD menegaskan edukasi tidak hanya mengenai dorongan untuk membayar pajak, tetapi menyampaikan tentang pajak dan posisinya di tengah masyarakat. Bagaimana menurut Anda?
Setuju. Makanya ada tema-tema dalam edukasi pajak yang kita jalankan. Kita lebih banyak bicara soal manfaat pajak. Misalnya, masyarakat sudah divaksin gratis, itu dari uang pajak. Kegiatan inklusi juga akan terus diperluas, sehingga sampai level SD.
Kita bicarakan hanya manfaat pajak. Kalau bicara ke anak-anak perguruan tinggi, kami cuma menanamkan supaya mereka enggak jadi free riders. Konsep free riders selalu saya kemukakan kalau berbicara kepada calon wajib pajak.
Harapannya, para calon wajib pajak mengerti bahwa mereka selama ini sudah menikmati uang pajak. Jangan cuma mau menikmati uang pajak tetapi tidak mau berkontribusi seperti konsep free riders itu.
Apa saja tema-tema yang Anda maksud?
Kalau bicara mengenai edukasi, itu kami bagi menjadi 3 tema. Tema pertama terkait dengan peningkatan kesadaran pajak melalui pengetahuan perpajakan. Ini biasanya ditujukan kepada para calon wajib pajak. Bentuknya seperti tax goes to school, tax goes to campus, atau kegiatan untuk para UMKM pemula.
Tema kedua itu peningkatan pengetahuan dan keterampilan. Ini lebih kepada mereka yang sudah settled dengan [urusan] perpajakannya, tetapi kami berikan informasi kebijakan baru atau kami lakukan Bimtek seandainya ada aplikasi baru.
Tema ketiga tentang perubahan perilaku, baik lapor atau bayar. Nah, CRM (compliance risk management) sangat membantu. Kami bisa melihat wajib pajak mana yang enggak pernah lapor atau enggak pernah bayar. Kita jadikan mereka sasaran edukasi. Jadi, bisa lebih fokus dan tidak asal menyebar undangan.
Apakah CRM edukasi perpajakan sudah digunakan?
Sudah, CRM edukasi kami gunakan untuk menentukan sasaran edukasi. Identifikasi dan pemetaan risiko kepatuhan wajib pajak diukur dengan menggunakan variabel kepatuhan pelaporan, kepatuhan pembayaran, dan kepatuhan kebenaran pelaporan.
CRM menghasilkan 9 kelompok wajib pajak berdasarkan risiko kepatuhannya. Adapun 3 kelompok wajib pajak yang berisiko tinggi menjadi sasaran edukasi yang utama. Kami dapat melihat tingkat kepatuhannya rendah karena tidak melakukan pelaporan atau pembayaran atau tidak menyampaikan laporan yang benar. Dengan CRM ini, kami berharap edukasi dapat dilakukan lebih fokus.
Kalau mau mencari wajib pajak yang pelaporannya tidak patuh, berarti kami manfaatkan CRM berdasarkan kepatuhan pelaporan. Setelah itu, dapat ditentukan tema edukasinya, misalnya mengenai pelaporan SPT Tahunan atau SPT Masa.
Kalau mau lihat wajib pajak yang sama sekali tidak pernah bayar, kami pakai CRM kepatuhan pembayaran. Dalam satu wilayah itu dimungkinkan ada orang yang mempunyai NPWP tetapi enggak pernah membayar pajak sama sekali. Dari situ kita bisa memberikan edukasi terkait dengan pembayaran.
Selain itu, kalau ada kebijakan baru atau hanya ingin memberikan pengetahuan teknis, kami bisa mengambil kelompok wajib pajak yang ‘kuning’ atau berisiko sedang. CRM sudah dimanfaatkan sejak tahun lalu dan bahkan sudah diintegrasikan ke dalam aplikasi Sisuluh.
Apa fungsinya masuk aplikasi Sisuluh?
Aplikasi Sisuluh merekam seluruh rangkaian pelaksanaan edukasi perpajakan mulai dari perencanaan sampai dengan pelaporan. Hal penting yang ingin kami rekam adalah adanya histori edukasi. Wajib pajak itu kadang-kadang kalau diperiksa bilang tidak tahu aturannya karena tidak pernah diberikan sosialisasi. Nah, sekarang, begitu sudah mendapat edukasi, kami rekam, sehingga terlihat histori edukasinya. Dari situ kami punya bukti bahwa terhadap wajib pajak sudah pernah dilakukan edukasi.
Penggunaan teknologi informasi terlihat cukup masif, terutama pada saat pandemi. Apakah artinya ini memudahkan penyuluhan? Atau justru ada tantangan lain yang muncul?
Jelas kami terbantu dengan adanya teknologi. Namun, ada pula tantangannya. Apalagi, kalau edukasi online, kami enggak tahu mereka menyimak dengan baik atau tidak. Namun, kami selalu menggunakan pre-test dan post-test dalam setiap kegiatan edukasi. Dari situ kami bisa mengetahui materi yang disampaikan sudah dipahami atau belum.
Tantangan lain juga terkait dengan teman-teman penyuluh sendiri, yakni bagaimana memberikan edukasi secara online meskipun dalam beberapa hal sudah ada yang offline. Sekarang ini berbagai kanal dipakai, termasuk melalui IG live. Tentu saja ada pula tantangan dari sisi pemilihan materi yang dibutuhkan wajib pajak.
Artinya ada pergeseran skema penyuluhan…
Betul.
Di sisi lain, adanya reformasi pajak berdampak pada dinamisnya perubahan aturan. Bagaimana penyuluh menyikapinya?
Sebenarnya dengan adanya penyuluh ini, teman-teman di kantor pusat, terutama Direktorat PP (Peraturan Perpajakan) itu senang. Begitu aturan sudah jadi, mereka melalukan internalisasi peraturan baru kepada seluruh pegawai, tetapi khusus untuk para penyuluh biasanya saya minta tambahan waktu khusus supaya lebih paham.
Isu-isu baru muncul setelah penyuluh berhubungan dengan wajib pajak…
Kami ada grup. Biasanya teman-teman kantor pusat memfasilitasi. Kami buatkan FAQ (frequently asked questions) yang sifatnya internal. Ini karena bener banget, begitu ketemu dengan wajib pajak, bisa ada permasalahan baru. Ini kami komunikasikan. Jadi, kami mencoba menjembatani atau memfasilitasi teman-teman di seluruh Indonesia supaya punya akses ke kantor pusat melalui teman-teman punyuluh di kantor pusat.
Berapa jumlah penyuluh di DJP pada saat ini?
Penyuluh sekarang ada 2.283 orang. Di [kantor] pusat ada 16, sisanya di Kanwil dan KPP. Itu masih dirasakan kurang sebetulnya karena harus melakukan kegiatan melayani permohonan administrasi wajib pajak. Itu kan lumayan memakan waktu.
Permohonan administrasi apa yang dimaksud?
Seperti permohonan Pbk (pemindahbukuan) atau pengembalian pendahuluan, itu yang ngerjain fungsional penyuluh. Kalau dulu kan ada AR (account representative) Waskon I. Sekarang, semua kerjaan AR Waskon I diambil penyuluh, sehingga di beberapa tempat yang banyak permohonan, waktu penyuluh banyak dipakai untuk itu.
Harapan kami nanti, dengan coretax, pekerjaan permohonan itu akan sangat terbantu. Paling tidak, yang harusnya dikerjakan butuh waktu 3 hari, nanti jadi cuma sehari. Ada beberapa yang akan full electronic, sehingga semuanya di sistem. Itu akan sangat membantu pekerjaan penyuluh, sehingga mereka bisa lebih konsentrasi ke edukasi.
Apakah artinya pembaruan coretax system juga akan berdampak positif pada proses bisnis yang dijalankan penyuluh?
[Berdampak positif] banget kalau untuk penyuluh. Salah satunya terkait dengan akses. Dengan terintegrasi, mereka tidak dibedakan dengan yang lain karena memiliki akses yang sama. Kalau wajib pajak dapat SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan) dan mau konsultasi ke penyuluh, nantinya penyuluh juga bisa tahu data apa yang sebelumnya diberikan oleh AR.
Dengan coretax semua diharapkan terintegrasi dan semua punya akses yang sama. Jadi, bisa melakukan kegiatan dengan sinergi yang lebih enak. Apalagi, layanannya akan diautomasi sistem. Itu yang akan sangat membantu. Harapan kami sangat tinggi untuk coretax ini. Sistem administrasi lebih baik, sehingga kegiatan edukasi bisa lebih banyak dilakukan teman-teman penyuluh.
Dengan sistem fungsionalisasi, penyuluh sekarang menjadi salah satu jabatan fungsional. Apakah sistem ini lebih tepat?
Kalau kita bicara penyuluh, saya setuju [lebih tepat]. Ini karena selama ini fungsi penyuluhan itu boleh dibilang siapa yang sempat, dia yang ngerjain. Ada AR, pelaksana, kadang-kadang fungsional pemeriksa. Pokoknya siapapun yang bisa ngomong dia pasti disuruh memberi penyuluhan. Paling tidak sekarang kami sudah fokus bahwa yang melakukan edukasi adalah teman-teman penyuluh.
Apakah sudah banyak kerja sama yang telah dijalin dengan pihak lain?
Kalau di kantor pusat, kami sebenarnya belum ada yang secara khusus dengan PKS. Namun, kami aktif dengan asosiasi. Untuk UMKM, kami sekarang sedang fokus juga ke marketplace. Ada beberapa marketplace yang punya seperti corporate university-nya lah.
Kami berikan konten-konten tentang perpajakan. Mereka simpan di webnya dan segala macam. Kadang-kadang mereka juga mengumpulkan para pelaku e-commerce-nya. Kemudian, kami datang untuk bisa memberikan edukasi, tergantung pada apa yang mereka butuhkan.
Apakah langkah tersebut juga bagian dari program Bussines Development Service (BDS)?
Untuk BDS, kalau itu lebih kepada UMKM-nya. Harapan kami, BDS itu bukan hanya mengundang UMKM, memberi edukasi, terus selesai.
Konsep BDS sekarang itu lebih yang berkelanjutan. Artinya, kami undang, mungkin pertama belum ber-NPWP. Kemudian, kami asistensi sampai mereka ber-NPWP dan mulai bayar PPh final PP 23 misalnya. Kami berharap mereka terus naik kelas sehingga nantinya bukan UMKM lagi.
Kalau kerja sama dengan perguruan tinggi, apakah domain dari Kanwil dan KPP?
Betul. Kerja sama tax center biasanya dengan Kanwil.
Bagaimana penyuluhan kelompok wajib pajak high wealth individual (HWI)?
Kalau HWI, biasanya mereka lebih memilih one on one dan mereka enggak mau secara online, apalagi kalau punya data. Seperti [pengalaman salah satu penyuluhan terkait] PPS (Program Pengungkapan Sukarela) kemarin, kami pilih nasabah prioritas di salah satu perbankan.
Waktu itu kami mengundangnya ramai-ramai. Mereka datang cuma dengerin. Namun, kami kerja sama dengan banknya, kalau misalnya ada yang butuh one on one, tolong diinfokan. Sebetulnya bank juga enggak mau kan nasabah prioritasnya diedukasi ramai-ramai.
Bagaimana roadmap inklusi perpajakan?
Roadmap inklusi perpajakan ini sebenarnya berhubungan dengan persiapan terkait dengan momentum bonus demografi karena 70% penduduk Indonesia usia produktif. Ada beberapa masa dalam roadmap. Sekarang ini masa edukasi sampai nanti 2030.
Kita terus melakukan kegiatan edukasi supaya dengan momentum bonus demografi, perpajakan siap. Jangan sampai mereka kita cuekin dari sekarang dan pada saat mereka masuk usia produktif enggak ngerti pajak. Kita enggak mau itu terjadi. Kita ingin mempersiapkan calon-calon wajib pajak dengan tingkat kesadaran lebih tinggi tentang pajak.
Bersamaan dengan momentum Hari Pajak, sebagai pegawai DJP, bagaimana Anda memaknai Hari Pajak?
Saya sudah dibesarkan oleh pajak. Pada Hari Pajak, kita diajak mengingat sejarah mengapa dulu pajak ini ada. Buat kami orang pajak, makin mengetahui sejarah mengapa diperlukan pajak seharusnya bisa lebih semangat lagi. Kalau dalam posisi saya, paling tidak, semangat untuk mengedukasi. Pentingnya sejarah ini bisa memengaruhi cara kita bekerja. Bisa memengaruhi banyak hal.
DJP mengambil tema Semangat dalam Kebersamaan, Pulihkan Ekonomi untuk tahun ini…
Betul, kita memang masih dalam suasana pandemi. Apalagi, bulan-bulan ini kan [kasus konfirmasi positif Covid-19] mulai naik lagi. Di sisi lain, pemulihan ekonomi tetap menjadi momentum yang akan terus dijaga. Itu menjadi tema nasional.
Kaitannya dengan semangat kebersamaan, kami sedang mengusung banyak sinergi dengan berbagai pihak. Pak Dirjen [Suryo Utomo] juga sedang bersemangat keliling ke berbagai Rakorda (rapat koordinasi daerah) agar bisa lebih dekat dengan seluruh pegawai.
Dengan adanya kebersamaan, sinergi terbangun. Harapannya, semua tujuan dan target bisa tercapai. Apalagi, jika berkaca pada capaian penerimaan pada tahun lalu, itu merupakan suatu hal yang berdampak positif kepada semua teman-teman Direktorat Jenderal Pajak.
Artinya lebih banyak ke aspek internal DJP…
Sebetulnya pada Hari Pajak, banyak kegiatan yang kami lakukan untuk internal. Ada beberapa lomba seni dan olahraga untuk lebih menguatkan kekompakan kami semua di internal. Artinya, ada semangat kompetisi, tetapi tetap untuk kebersamaan.
Namun, untuk eksternal juga ada, seperti kegiatan yang sifatnya kemanusiaan. Mulai dari DJP Peduli, donor darah, dan lain-lain. Selain itu, beberapa hal juga akan di-launching pada saat Hari Pajak, seperti penandatanganan [kerja sama] interoperabilitas, peluncuran buku, dan hal lainnya.
Apa pesan yang ingin Anda sampaikan untuk wajib pajak pada momentum Hari Pajak tahun ini?
Dengan adanya temen-teman penyuluh, sebetulnya kami berharap bisa sedikit mengubah image DJP yang barangkali untuk sebagian orang masih belum menyenangkan. Menyapa wajib pajak dengan ramah. Ini supaya mereka enggak khawatir dan enggak takut lagi sama orang pajak.
Harapannya, kalau mereka butuh informasi, bisa datang ke kami. Jangan mencari ke tempat yang salah juga. Intinya kami sangat terbuka kepada wajib pajak untuk memberikan edukasi apapun bentuknya. Jadi, mereka jangan lari lah dari kami. Jangan takut sama kami. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.