M. Rakha Ishlah Adimad
, Palu, Sulawesi TengahSEJAK 2003, Bank Dunia merilis laporan tahunan Doing Business yang mengukur seberapa suportif kebijakan negara di dunia terhadap kemudahan berbisnis. Pada 2020, Bank Dunia menempatkan Indonesia pada posisi ke-81 untuk aspek pembayaran pajak, dengan skor 75,8.
Skor ini merupakan akumulasi dari beberapa indikator di antaranya: 1) Payments (skor 61,7); 2) Time (78,1); 3) Total tax and contribution rate (94,5) dan 4) Postfiling index (68,8). Dari penilaian itu terlihat skor cukup rendah terdapat pada indikator payments dan postfiling index.
Indikator postfiling index didefinisikan Bank Dunia sebagai prosedur yang ditempuh setelah wajib pajak melaporkan pajaknya. Prosedur setelah pelaporan pajak di antaranya pemeriksaan pajak dan restitusi (pengembailan kelebihan pembayaran pajak pajak pertambahan nilai (PPN).
Restitusi PPN di Indonesia masih birokratis dan belum efisien. Perlu 48 minggu setara 1 tahun untuk menyelesaikan restitusi PPN. Padahal, Cox & Eger; Richardson (2006) menyatakan debirokratisasi sistem dan aturan perpajakan akan memudahkan wajib pajak meningkatkan kepatuhannya.
Penyebab lamanya penyelesaian restitusi itu adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak, Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-7/PJ/2011 dan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-36/PJ/2019.
Secara singkat, rangkaian prosedur pengembalian pajak dimulai saat wajib pajak melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) dengan status lebih bayar, dan memilih melakukan restitusi. Kemudian, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan melakukan pemeriksaan terhadap pengajuan restitusi tersebut.
Hasil pemeriksaan itu akan menjadi dasar diterbitkannya keputusan untuk dilakukan restitusi. Hanya, penyelesaian pemeriksaan seringkali memakan waktu lama. Ketiga peraturan tadi memberikan waktu penyelesaian pemeriksaan sampai maksimal 12 bulan sejak pemeriksaan dimulai.
Hal ini menunjukkan perlambatan dalam alur penyelesaian restitusi, yaitu pada tahap penerbitan keputusan restitusi. Pemeriksaan selesai dengan adanya hasil pemeriksaan. Setelah itu, DJP merilis Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPKPP).
SKPKPP digunakan untuk menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP) sebagai produk akhir restitusi. Ada satu tahap unik sebelum SPMKP terbit, yaitu permintaan rekening wajib pajak. SPMKP terbit apabila SKPKPP terbit dan wajib pajak telah menyerahkan rekening.
Dengan kata lain, DJP akan terus meminta rekening untuk pengembalian pajak pada setiap penerbitan SPMKP, bahkan jika SPMKP itu dilakukan terhadap wajib pajak yang sama. Di sini terlihat ada perlambatan lain dalam alur penyelesaian restitusi, yaitu pada tahap penerbitan SPMKP.
Dari penjelasan di atas, terdapat 2 isu perlambatan yang utama dalam rangkaian alur penyelesaian restitusi. Pertama, penyelesaian pemeriksaan dalam rangka penerbitan keputusan restitusi. Kedua, penerbitan SPMKP.
Melangkahi Pemeriksaan
DJP sendiri tampaknya telah memahami ini, dan telah berupaya menyederhanakan alur penyelesaian restitusi melalui skema pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak yang diatur dalam PMK-39/PMK.03/2018 sebagaimana telah diubah dengan PMK-117/PMK.03/2019.
Dalam skema ini, keputusan restitusi dapat diterbitkan hanya dengan melakukan penelitian terhadap PPN masukan (pajak masukan/PM). Penelitian tersebut meliputi pelaporan PM pada SPT dan validasi pembayaran PM melalui Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN).
Penelitian seharusnya semakin efektif dengan adanya terobosan baru dari DJP mengenai mekanisme prepopulated PM pada e-faktur. Prepopulated PM memungkinkan DJP melakukan 2 tahap penelitian sekaligus, yaitu memastikan pelaporan PM pada SPT dan memastikan validitas NTPN nya.
Melalui skema ini, waktu penyelesaian restitusi akan menjadi jauh lebih singkat, mengingat telah ‘dilangkahinya’ tahapan pemeriksaan untuk penerbitan keputusan restitusi, yang memang menjadi salah satu isu perlambatan penyelesaian restitusi.
Namun, DJP masih dihadapkan dengan isu perlambatan yang kedua, yaitu tahapan permintaan rekening yang harus terus dilakukan sebelum diterbitkannya SPMKP. Benarkah DJP harus berulang-ulang melakukan permintaan rekening wajib pajak sebelum menerbitkan SPMKP?
Rekening wajib pajak merupakan data yang sepatutnya dimiliki DJP sehubungan dengan tugasnya mengawasi wajib pajak. Dalam konteks PPN, wajib pajak yang telah dikukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) memiliki hak mengajukan restitusi jika ada kelebihan pembayaran pajak.
Artinya, prosedur restitusi ini merupakan salah satu prosedur yang sangat sering dihadapi DJP. Karena itu, sudah selayaknya DJP memiliki data rekening wajib pajak, mengingat rekening merupakan data yang terkait langsung dengan prosedur restitusi.
Memang selalu terdapat kemungkinan data yang dikumpulkan DJP mengalami perubahan atau penyesuaian, termasuk data rekening wajib pajak. Namun, DJP telah memiliki mekanisme untuk mengubah data wajib pajak seperti diatur Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-04/PJ/2020.
Yang harus dilakukan DJP selanjutnya adalah mengintegrasikan data rekening dengan mekanisme prepopulated PM, agar permintaan rekening tidak dilakukan terus-menerus. Dengan begitu, DJP dapat mengurangi repetisi permintaan rekening yang memperlambat alur penyelesaian restitusi.
Bukan mustahil pula jika proses restitusi PPN dapat berlangsung secara otomatis langsung masuk ke rekening wajib pajakk, bahkan kurang dari 24 jam sesaat setelah wajib pajak melaporkan SPT Masa PPN lebih bayarnya, tentu tidak lepas dari dukungan sistem KPPN sebagai validator SPMKP.
Pada akhirnya, reformasi perpajakan yang coba disuguhkan adalah pemanfaatan data, kebijakan dan kewenangan yang dimiliki DJP serta mengintegrasikannya menjadi suatu konsep automasi prosedur dalam percepatan penyelesaian restitusi.
Penyelesaian restitusi yang efektif dan efisien tentu berkontribusi positif pada kemampuan likuiditas wajib pajakk pelaku usaha, yang diharapkan dapat memperkuat denyut perekonomian negeri pada masa pandemi Covid-19 ini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Cukup setuju dengan penulis untuk kedepannya tentang berita ini, tetapi perlu diketahui apakah percepatan restitusi PPN hingga kurang dari 24 jam akan berimbas pada kantor pajak yang bersangkutan? Untuk saat ini, restitusi sudah cukup cepat pelaksanaannya terutama apabila wajib pajak sudah sesuai dengan kriteria tertentu sesuai pasal 9 ayat (4c) UU PPN/ pasal 17c/17d UU KUP. Menurut saya, concern utama untuk percepatan restitusi saat ini ialah di permintaan nomor rekening. Diketahui, beberapa wajib pajak mempunyai lebih dari satu nomor rekening untuk digunakan sebagai transaksi dan bahkan terdapat beberapa kasus di mana wajib pajak yang nomor rekeningnya sudah terdaftar untuk restitusi sebelumnya, mengubah nomor rekeningnya untuk dilakukan resitusi saat ini. Ini mungkin alasan kenapa dilakukan permintaan nomor rekening kembali, untuk memastikan apakah wajib pajak yang bersangkutan mengganti nomor rekeningnya atau tidak untuk dilakukan restitusi. Demikian, mohon maaf jika ada kesalahan