PANDEMI Covid-19 mendorong adanya penyesuaian kebijakan pajak sejalan dengan kondisi perekonomian masyarakat, sembari tetap memaksimalkan potensi pendapatan daerah. Kota Tangerang menjadi salah satu daerah yang melakukan penyesuaian tersebut.
Salah satu penyesuaian dilakukan melalui pembebasan pajak atas objek PBB yang ketetapannya tergolong minim. Makin besar ketetapan pajak, makin kecil keringanan yang diberikan. Desain ini diharapkan dapat menciptakan pemberian insentif yang tepat sasaran.
Sementara untuk merespons ketidakpatuhan wajib pajak yang masih tergolong tinggi, langkah-langkah lanjutan diambil untuk mencegah makin tingginya piutang pajak. Identifikasi objek pajak dilakukan agar bisa diketahui potensi riil dari PBB.
DDTCNews kali ini berkesempatan mewawancarai Kepala Bapenda Kota Tangerang Kiki Wibhawa. Berikut petikannya:
Bagaimana kinerja penerimaan pajak di Kota Tangerang saat ini?
Mungkin agak berbeda dibandingkan dengan bapenda-bapenda kota yang lain karena kami hanya mengelola 2 jenis pajak, yaitu pajak bumi dan bangunan (PBB) dan bea perolehan hak tanah dan bangunan (BPHTB).
Sementara itu, untuk pajak lainnya seperti pajak hotel, pajak restoran, dan seterusnya itu dikelola Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD).
Kedua jenis pajak tersebut memang dominan menopang pendapatan daerah. Partisipasinya relatif besar. Saat pandemi, hampir Rp1 triliunan. Sekarang sudah mendekati normal dan kami ada di posisi target Rp1,3 triliun khusus untuk PBB dan BPHTB.
Keseluruhan pajak ada Rp2,3 triliun. [Itu] targetnya kalau termasuk pajak hotel, pajak restoran, dan lain-lain. Pendapatan untuk PBB dari bandara relatif besar, tetapi di sana ada juga pajak reklame dan sebagainya itu juga terus berkontribusi.
Bagaimana kinerjanya untuk 2 jenis pajak tersebut?
Pada 2020, daya beli masyarakat sedang rendah, termasuk bayar pajaknya. Belum lagi, ada refocusing yang sempat Rp390 miliar untuk PBB. Kala itu, kami juga berikan stimulus untuk meringankan beban wajib pajak.
Kami berikan pengurangan kewajiban membayar pajak. PBB itu ada klaster-klaster per buku, mulai buku 1 hingga buku 5. Buku 1 di Kota Tangerang adalah objek PBB sampai dengan Rp100.000,00. Ketetapannya itu kami gratiskan, tidak dipungut.
Untuk yang masuk buku 2 itu, ketetapannya Rp100.000 hingga Rp500.000,00. Kalau buku 2 itu, kami beri pengurangan kewajiban sampai 20%, buku 3 sebesar 15%, buku 4 sebesar 10%, dan buku 5 sebesar 5%.
Ini proporsional. Buku 5 kan nilainya fantastis. Kalau semua diberi 20%, pemda tidak dapat apa-apa. Kami juga menamai buku besar banyak dari pengusaha. Banyak yang mengajukan keringanan, tetapi itulah kebijakan yang bisa kami berikan.
Bagaimana kepatuhan pembayar PBB?
Kami di sini melihat kepatuhan pajak berdasarkan pelunasan atas Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT). Kami melihat tren dari tahun ke tahun, kisarannya bisa 75% sampai dengan 80%. Rata-rata sebesar itu.
Apa yang membuat sebagian wajib pajak belum patuh membayar PBB?
Kalau kami sisir, ada beberapa yang objek itu yang dobel anslah sehingga sepertinya terlihat ada ketidakpatuhan di data kami. Contoh, Si A punya tanah 1000 meter persegi. Dijual 5 petak masing-masing 200 meter persegi.
Itu sudah dijual habis, tetapi SPPT induknya masih muncul dan di sini terbit nomor objek pajak (NOP) baru. Nah, salah satu indikasinya itu. Ada juga dari sisi wajib pajak yang sudah tidak aktif lagi badan usahanya, tetapi ada kejadian seperti itu.
Kami pun menyisir data tersebut tidak hanya di belakang meja. Hanya saja, ada keterbatasan SDM. Sejak 2018, kami mencoba mengambil data spasialnya menggunakan drone. Data itu kami notasikan nantinya setiap objek itu punya catatannya.
Ada yang beberapa tahun tidak membayar pajak, kami beri warna tersendiri. Perlu diakui, seperti di daerah lain juga, pelimpahan data PBB pada 2013 sampai dengan saat ini mungkin belum semuanya selesai. Cleansing datanya belum selesai.
Bisa dielaborasi lagi mengenai pelimpahan data tersebut?
Ini kan administrasi negara ya. Ada proses administrasi yang dilalui untuk menyelesaikan data itu dan tidak bisa dipukul rata atau kasuistis. Jadi, antara objek satu dan lainnya selalu ada dinamikanya sendiri-sendiri.
Waktu kami mendapatkan pelimpahan dari KPP Pratama waktu itu, sebanyak 210.000 objek kami respons. Kami sisir data itu untuk mengindentifikasi subjek dan objeknya.
Namun demikian, dengan waktu dan tenaga yang ada, rupanya enggak kekejar. Sebab, kami juga harus menerbitkan SPPT itu setiap tahun. Alhasil, piutang makin lama makin numpuk-numpuk.
Pada posisi 2022, kami akhirnya buka ke masyarakat. Dalam penerbitan SPPT 2022 ini, kami lampirkan berikut piutangnya. Tingginya SPPT tersebut karena kumulatif bukan dikarenakan ada kenaikan.
Kami melihat sesungguhnya banyak wajib pajak yang rapi menyimpan pembayaran. Dulu, waktu PBB masih di pemerintah pusat, ada bank yang jadi penerima pembayaran PBB, seperti BRI, BNI, dan Bank Mandiri.
Namun, data antarbank ini ternyata enggak terintegrasi. Kalau saya bayar BRI terus masuk cek di BNI atau Bank Mandiri, nama saya di situ muncul belum bayar. Kalau di BRI, sudah bayar. Jadi datanya enggak nyambung.
Memang pada serah terimanya, sudah ada kompilasinya piutang lancar, kurang lancar, segala macam, tetapi pada faktanya kami perlu identifikasi kembali.
Respons masyarakat atas SPPT 2022 memang beragam dan respons itu manusiawi. Emosional seperti itu kami pahami, tetapi begitu dijelaskan sudah sama-sama mengerti. Ke depan, akan kami kelompokkan utang lancar, kurang lancar, dan yang tidak mungkin tertagih.
Dalam melakukan hapus buku juga harus hati-hati karena ini keuangan negara. Ada batasan nilai tertentu dari sisi kewenangan. Contoh, kalau nilai hingga Rp5 miliar cukup persetujuan kepala daerah. Di atas Rp5 miliar, harus ada persetujuan dewan. Nah, proses menuju seperti apa itu harus kami cermati.
Harga properti terus naik, tetapi daya beli masyarakat masih belum pulih sepenuhnya karena pandemi. Apakah hal ini berdampak terhadap kinerja BPHTB?
Kami melihat BPHTB ini sulit diprediksi. Objeknya segitu-segitu aja dan kondisi ekonomi juga berpengaruh. Kami mencoba menstimulus untuk menarik para investor berinvestasi di Tangerang, salah satunya melalui relaksasi kewajiban.
Tahun kemarin, kami memberikan 2 kali relaksasi. Tren secara tahun ke tahun ya memang perlu ditingkatkan kembali. Sebab, kami di satu sisi juga enggak bisa memprediksi siapa yang mau beli tanah.
Apakah ada indikasi ketidakpatuhan dalam pembayaran BPHTB, contohnya lewat transaksi bangunan hanya menggunakan PPJB tanpa AJB atau cara-cara lain?
Memang ada keluhan dari sisi penghuni apartemen. Beberapa datang ke sini mengeluhkan tentang penyelesaian. Mereka ternyata masih pakai PPJB, belum dipecah juga dan mereka menanyakan solusinya seperti apa?
Tentu, ini menjadi hal yang positif buat kami. Ini sebagai feedback. Ada satu dua yang sudah merespons, tetapi ada juga yang belum merespons. Alasannya itu, pembeli belum menyelesaikan kewajibannya.
Sejak 2020, banyak pemda yang menjalin kerja sama dengan DJP dan DJPK untuk pertukaran data perpajakan. Bagaimana implementasinya di Kota Tangerang?
Ada MoU yang ditandatangani oleh Dirjen Perimbangan Keuangan, Dirjen Pajak, dan wali kota pada 2021. Sesungguhnya, kami sudah punya perjanjian dengan Kanwil DJP Banten-nya pada 2020, tetapi 2021 ditarik oleh DJP dan DJPK.
Saat ini, dokumen resminya yang sudah ditandatangani. Namun, kami belum terima karena informasinya begitu ditandatangani akan dinomori. Nah, sampai dengan saat ini belum. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.