Qriza Satifah
,TARIK ulur implementasi pengenaan cukai plastik—yang telah diusulkan pemerintah kepada DPR sejak 2016—masih belum berakhir. Tahun ini saja, target penerimaan dari cukai plastik sudah masuk dalam APBN 2023 senilai Rp980 miliar. Namun, implementasinya tak kunjung dilakukan.
Eksekusi atas kebijakan itu juga masih tidak pasti mengingat pada tahun depan, Indonesia akan menggelar pemilihan umum (pemilu) serentak. Tahun politik sering kali menjadi momentum bagi pemerintah untuk tidak meluncurkan kebijakan yang strategis, bahkan berisiko.
Di sisi lain, sampah plastik terus meningkat dari tahun ke tahun. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sepanjang 2022, jumlah sampah yang dihasilkan oleh masyarakat Indonesia mencapai 69 juta ton.
Dari jumlah tersebut, plastik menjadi penyumbang sampah terbesar kedua setelah sisa makanan. Proporsinya sebesar 18,55% atau setara dengan 12,54 juta ton. Dalam kurun 10 tahun terakhir terjadi peningkatan proporsi jumlah sampah plastik dari 11% menjadi 18,55%.
Program kantong plastik berbayar yang telah digagas pada kenyataannya belum cukup optimal mengurangi sampah plastik. Kebijakan ini hanya berfokus pada titik konsumsi sehingga lebih mengatur terkait dengan penjualan dan penyediaan ke konsumen.
Kebijakan tersebut juga tidak berlaku secara nasional. Tidak semua tempat perbelanjaan menerapkan kebijakan kantong plastik berbayar. Di pasar tradisional dan di e-commerce misalnya, penggunaan kemasan plastik masih sangat besar.
Lebih lanjut, ketentuan dari KLHK tidak memuat mekanisme pengelolaan dana kantong plastik. Alhasil, pengelolaan dana plastik yang dilakukan oleh pengusaha ritel tidak terlalu jelas dan tidak transparan.
Penulis mendapat informasi dari salah satu pengusaha ritel bahwa selama ini dana yang terkumpul dialokasikan kembali untuk membeli kantong plastik dan membiayai program corporate social responsibility (CSR) pada bidang pengelolaan dan perbaikan lingkungan hidup.
Pada dasarnya, CSR adalah tanggung jawab perusahaan terhadap sosial ataupun lingkungan sekitar tempat perusahaan berada. Penggunaan dana dari kantong plastik berbayar untuk program CSR kurang tepat karena konsumen secara tidak langsung mendanai program CSR perusahaan ritel yang sebenarnya merupakan kewajiban dari perusahaan tersebut.
Ada potential loss karena dana tersebut seharusnya bisa masuk ke pendapatan negara yang dikelola oleh pemerintah pusat. Dana tersebut seharusnya juga dapat digunakan sebagai kompensasi biaya eksternalitas negatif yang ditimbulkan dari konsumsi plastik.
BERPIJAK pada kondisi tersebut, pengenaan cukai plastik merupakan kebijakan yang mendesak untuk diterapkan. Tidak dimungkiri, dalam penerapannya, kebijakan cukai plastik akan berdampak terhadap berbagai pihak.
Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik (Inaplas) pernah menyebut adanya cukai plastik akan turut meningkatkan biaya produksi, menurunkan permintaan, dan melemahkan daya saing industri nasional.
Dalam hal ini, industri atau kementerian terkait harus dapat diyakinkan bahwa pengenaan cukai bukan untuk mematikan usaha, melainkan untuk mengendalikan konsumsi atas barang kena cukai. Adanya cukai justru akan ada mendorong tumbuhnya produk-produk alternatif yang lebih ramah lingkungan.
Dana yang didapat dari pemungutan cukai tersebut, sebagian dapat dialokasikan untuk mendorong pengembangan produk yang ramah lingkungan dan mendorong upaya-upaya pengelolaan sampah plastik yang lebih baik.
Dampak bagi konsumen atas pengenaan cukai plastik sangat berpotensi menaikkan inflasi dan menurunkan daya beli. Situasi ini dapat terjadi seiring dengan makin tingginya harga barang yang harus dibayarkan.
Komunikasi yang efektif mengenai manfaat lingkungan dan penghematan jangka panjang dari pengurangan atas penggunaan plastik sangat penting untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Tujuan pemungutan cukai, selain sebagai sumber pendapatan negara, juga untuk mengontrol konsumsi barang yang menimbulkan eksternalitas negatif pada skala pribadi ataupun korporasi. Dengan diterapkannya cukai plastik ini, konsumsi plastik diharapkan dapat terkontrol dengan efektif.
Efektivitas penerapan cukai plastik dalam mengurangi penggunaan plastik dapat bervariasi tergantung pada beberapa faktor. Adapun faktor itu di antaranya tarif cukai, kepastian hukum, penegakan hukum, kesadaran masyarakat, dan ketersediaan alternatif.
Ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan. Pertama, tingkat tarif cukai sebagai faktor yang penting. Besaran tarif cukai yang lebih tinggi umumnya akan lebih efektif dalam mengurangi konsumsi plastik dan dapat mendorong konsumen untuk beralih ke barang pengganti lainnya.
Peralihan konsumsi ke barang pengganti yang tidak terkena cukai pada gilirannya berdampak pada pengurangan basis pengenaan cukai. Penetapan tarif cukai yang rendah akan memberikan dampak positif terhadap bisnis yang nantinya akan menguatkan basis pajak.
Kedua, penegasan terkait dengan definisi dan klasifikasi terhadap produk plastik yang dikenakan cukai. Pengaturan secara jelas dan komprehensif sangat penting untuk menghindari kebingungan dan perselisihan dalam mendapatkan kepastian hukum.
Penentuan produk plastik yang dikenakan cukai dan yang dikecualikan dapat menjadi tantangan. Diperlukan perluasan pengenaan cukai pada produk pastik sekali pakai seperti sedotan, wadah dan alat makan minum dari styrofoam atau plastik, kemasan sachet, dan sebagainya.
Di Inggris misalnya, telah diperkenalkan pajak kemasan plastik pada April 2022. Pajak ini berlaku untuk kemasan plastik dengan kandungan daur ulang kurang dari 30%. Kebijakan ini bertujuan untuk mendorong penggunaan bahan kemasan yang lebih ramah lingkungan
Ketiga, pengawasan atas cukai plastik yang bisa jadi rumit. Hal ini memerlukan pemantauan dan pengaturan berbagai macam lini bisnis, mulai dari produsen hingga pengecer. Pemerintah perlu memastikan mereka mematuhi ketentuan perpajakan.
Perlu ada pengukuran atau pengawasan fisik oleh otoritas untuk menentukan kewajiban cukai dan memastikan peraturan telah ditaati. Bentuk pengawasannya tidak hanya dengan pita cukai, tetapi juga keberadaan petugas bea dan cukai di pabrik.
Selain itu setiap pengangkutan akan selalu disertai dengan dokumen pelindung dengan tujuan tidak ada pelanggaran. Pengawasan di negara maju dilakukan dengan memeriksa pembukuan. Pengawasan secara fisik juga diperlukan supaya semua pihak mengetahui tentang pembayaran cukai.
Keempat, peningkatan kesadaran masyarakat tentang dampak kantong plastik terhadap lingkungan dan manfaat penggunaan kantong plastik alternatif. Ketika masyarakat memahami alasan di balik kebijakan, mereka cenderung akan mengubah perilakunya.
Kelima, keberhasilan cukai plastik juga bergantung pada ketersedian alternatif yang terjangkau dan nyaman. Hal ini seperti tas yang dapat digunakan kembali atau kantong kertas. Jika alternatif yang layak dapat diakses dengan mudah, kemungkinan besar konsumen akan melakukan peralihan
Pada akhirnya, tidak dimungkiri, butuh waktu agar perubahan perilaku dapat tertanam secara mendalam. Efektivitas cukai juga bergantung pada dukungan dan komitmen masyarakat yang berkelanjutan untuk mengurangi penggunaan kemasan kantong plastik.
Pemerintah perlu melakukan perencanaan yang matang, komunikasi yang efektif, dan evaluasi dampak pengenaan cukai yang berkelanjutan. Pemerintah sering kali perlu mencapai keseimbangan antara mendorong perubahan perilaku, menghasilkan pendapatan, serta meminimalkan gangguan terhadap dunia usaha dan konsumen.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2023. Lomba diselenggarakan sebagai bagian dari perayaan HUT ke-16 DDTC. Anda dapat membaca artikel lain yang berhak memperebutkan total hadiah Rp57 juta di sini.
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.