SELAIN self assessment system, Indonesia juga menganut withholding tax system (WHT). WHT merupakan sebuah sistem dengan menunjuk pihak ketiga untuk melakukan pemotongan dan/ atau pemungutan (potput) pajak kepada negara.
WHT diadopsi guna mengamankan penerimaan negara sehingga setiap transaksi dengan objek pajak penghasilan (PPh) akan langsung dipotong dan/atau dipungut oleh pihak lain yang ditunjuk berdasarkan ketentuan perpajakan.
Namun, wajib pajak dalam kondisi khusus dapat mengajukan permohonan pembebasan potput PPh oleh pihak lain kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Dirjen Pajak No. PER-21/PJ/2014.
Nah, DDTCNews kali ini akan menjelaskan cara mengajukan pembebasan potput PPh. Setidaknya terdapat 3 jenis kondisi wajib pajak dapat mengajukan pembebasan potput tersebut. Pertama, tidak terutang PPh karena mengalami kerugian fiskal.
Kerugian fiskal dapat terjadi dengan alasan usaha yang dijalankan wajib pajak masih baru dan dalam tahap investasi, belum sampai tahap produksi komersial, atau mengalami force majeure.
Pembebasan potput bagi wajib pajak yang mengalami kerugian fiskal sesuai dengan asas convenience dalam pemungutan pajak. Asas convenience menyatakan pemungutan pajak seharusnya dilakukan saat wajib pajak dalam kondisi yang menyenangkan atau tidak kesulitan.
Untuk dapat mengajukan permohonan pembebasan potput, wajib pajak tersebut harus menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Tahun Pajak terakhir sebelum tahun diajukan permohonan, kecuali wajib pajak masih baru berdiri dan dalam tahap investasi.
Kedua, tidak akan terutang PPh karena memiliki hak untuk melakukan kompensasi kerugian fiskal. Dalam hal ini, wajib pajak dapat memberikan bukti berupa perhitungan kerugian tahun-tahun pajak sebelumnya yang dapat dikompensasikan dalam SPT Tahunan PPh; Surat Ketetapan Pajak (SKP); Surat Keputusan Keberatan; Putusan Banding; atau Putusan Peninjauan Kembali.
Ketiga, tidak akan terutang PPh karena wajib pajak dapat membuktikan PPh yang telah dibayar ternyata lebih besar dari PPh yang akan terutang.
Keempat, wajib pajak yang atas penghasilannya hanya dikenakan pajak final juga dapat mengajukan permohonan pembebasan potput PPh yang dapat dikreditkan kepada dirjen pajak.
Untuk diperhatikan, permohonan pembebasan potput PPh oleh wajib pajak dengan empat kondisi tertentu yang telah dijelaskan sebelumnya tersebut, tidak berlaku terhadap potput PPh yang bersifat final.
Lebih lanjut, wajib pajak dapat melakukan pengajuan secara tertulis kepada Kepala KPP tempat wajib pajak terdaftar. Permohonan diajukan untuk setiap potput PPh Pasal 21, Pasal 22, Pasal 22 impor, dan/atau Pasal 23 dengan memakai formulir dalam Lampiran I PER-1/PJ/2011.
Jangan lupa, wajib pajak juga harus melampirkan perhitungan PPh yang diperkirakan akan terutang untuk tahun pajak diajukannya permohonan.
Setelah itu, kepala KPP akan memberikan keputusan dalam jangka waktu paling lama 5 hari sejak permohonan diterima secara lengkap. Keputusan kepala KPP dapat berupa Surat Keterangan Bebas (SKB) bila diterima atau surat penolakan permohonan SKB bila ditolak.
Apabila kepala KPP masih belum memberikan keputusan, permohonan wajib pajak secara otomatis dianggap diterima. Kepala KPP harus menerbitkan SKB dalam jangka waktu 2 hari setelah jangka waktu pemberian keputusan berakhir.
Permohonan tidak berlaku atas potput PPh final. Namun, wajib pajak yang penerimaannya hanya dikenakan PPh final dapat mengajukan permohonan pembebasan pemotongan dan/atau pemungutan PPh yang dapat dikreditkan kepada DJP. (vallen/rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.