LITERASI keuangan di Indonesia saat ini makin meningkat seiring dengan berjalannya penetrasi industri keuangan di tengah masyarakat, khususnya milenial, dan teknologi informasi yang kian berkembang pesat.
Berkat dorongan internet, pemahaman mengenai cara mengelola keuangan yang benar dapat didiseminasikan secara lebih luas. Internet juga membuka pintu bagi masyarakat untuk mengenal instrumen-instrumen keuangan baru yang sebelumnya belum pernah mereka gunakan.
Namun, data OJK menunjukkan literasi keuangan masyarakat Indonesia masih relatif rendah. Masih ada orang yang tergiur dengan produk-produk keuangan ilegal dan tidak berizin yang menawarkan imbal hasil yang sangat tinggi.
Hal ini menunjukkan Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah besar untuk meningkatkan literasi keuangan masyarakat.
DDTCNews berkesempatan mewawancarai Budi Raharjo, seorang perencana keuangan yang juga menjabat sebagai Director & Founder Oneshildt. Dia menjelaskan pentingnya literasi keuangan dan tantangan-tantangan pengelolaan keuangan yang perlu diantisipasi di tengah pandemi Covid-19. Berikut petikannya.
Menurut Anda, bagaimana literasi keuangan pada masyarakat Indonesia saat ini?
Dibandingkan dengan beberapa tahun lalu ketika internet belum menjangkau daerah, tentu sekarang sudah lebih baik. Selama ini akses informasi seperti financial service, insurance, lebih mudah di kota-kota besar. Namun, kita tak bisa abaikan daerah lain.
Berdasarkan data OJK, tingkat literasi keuangan masyarakat masih rendah. Artinya, kemampuan untuk memakai produk keuangan, membuat keputusan keuangan yang bijaksana dari penghasilan mereka, bahkan untuk penempatan masih rendah. Mereka mungkin bahkan tidak tahu fungsi lembaga keuangan selain bank.
Bank mungkin sudah banyak cabangnya di mana-mana karena orang butuh tempat untuk simpanan. Bank juga sering digunakan untuk sarana pendanaan pembiayaan rumah dan mobil. Jadi interaksi antara masyarakat dan bank cukup tinggi.
Kalau lembaga keuangan lain kan beda ya. Asuransi, asset management, sekuritas, dana pensiun, itu belum aware. Akibatnya, investasi yang legal tidak mudah diakses dibandingkan dengan investasi bodong.
Jadi sangat bisa orang bukan menempatkan di tempat yang proper, tetapi justru malah ke tempat yang kadang dijangkau lewat gosip, teman, kerabat, saudara. Efek negatifnya, kalau kita amati, dari tahun ke tahun investasi bodong tidak ada habisnya.
Dengan ada era digital, literasi keuangan seharusnya bisa ditingkatkan karena sekarang semua orang bisa mengakses informasi yang sama. Dulu saya seminar hanya bisa di area kota besar. Sekarang bisa lewat monitor webinar. Bisa dari manapun.
Dari situ saya rasakan gap nya jauh sekali antara kota besar dan tempat yang lain. Tetapi enggak apa-apa. Itu PR kita untuk bareng-bareng educate sehingga literasi masyarakat makin meningkat. Karena kalau akses meningkat, tetapi literasinya rendah, ini juga enggak bagus.
Contoh, pada awal karir, orang itu seharusnya punya tabungan dulu. Namun, karena tergoda investasi legal dan ilegal, mereka malah beralih kesana. Yang paling parah mempertaruhkan segala keuangan mereka disitu. Itu tidak wise.
Bukan untuk belajar, tetapi karena serakah. Ingin return sebesar-besarnya. Mereka berpikir “kenapa enggak semua saja ditaruh situ?” Atau bisa juga karena kepepet. Misal orang pensiun, dapat pesangon besar. Dia berpikir bagaimana uang pensiun ini bisa muter. Yang dipikir muter-nya.
Ini PR yang panjang untuk bisa membuat masyarakat indonesia lebih tinggi literasi keuangannya seperti negara-negara tetangga kita. Harapannya ini bisa dilakukan bareng-bareng. Teman-teman di financial service, pemerintah, OJK, dan praktisi juga sharing terus.
Informasi tersedia luas sekarang. Tinggal motivasi setiap individu untuk belajar sebelum melakukan keputusan keuangan. Kita tidak bisa pungkiri, banyak masyarakat kita yang ingin instan, termasuk dalam hal saran keuangan.
Misal sedang tren saham. Alih-alih belajar fundamental, bagaimana tidak rugi, dan menentukan jumlah uang untuk belajar dulu, mereka ingin dengar kesimpulannya saja. Ini membahayakan mereka sendiri karena itu uang dari kerja keras, tabungan, hasil dari menunda konsumsi.
Perilaku ikut-ikutan dan instan ingin menjadi kaya ini bisa menimbulkan kerugian. Untuk itu, literasi memang harus ditingkatkan terus dengan berbagai akses.
Bagaimana literasi masyarakat Indonesia terkait dengan pasar modal?
Sebenarnya akhir-akhir ini terjadi peningkatan investor di pasar modal. Sudah mulai ada kepercayaan untuk selain bank. Bila dibandingkan 15 tahun lalu sekarang sudah lebih educated, tetapi yah belum merata.
Di pasar modal, kita lihat sekarang banyak investor muda. Mereka lebih cepat memahami. Tanggung jawab keuangan masih ringan. Berani mencoba ini itu, ini adalah hal yang positif. Yang muda ini lebih dinamis dan cepat merespons. Cuma mereka sekarang mengikuti apa yang sedang tren.
Untungnya karena tanggung jawab keuangannya masih rendah. Jadi ya enggak masalah. Cuma kalau sudah berkeluarga, dia harus lebih waspada. Ingat tanggungan dan ingat umur. Kalau masih single bisa fleksibel, coba ini itu.
Kalau punya tanggungan jangan sampai ganggu uang dapur, uang masa depan, dan yang mau pensiun juga jangan gegabah mengikuti apa yang sedang tren di pasar tanpa tahu ini barangnya apa.
Dalam beberapa tahun terakhir, exposure masyarakat atas instrumen keuangan sangat tinggi dengan menjamurnya start-up. Menurut Anda?
Positif sekali. Dulu investasi itu hanya untuk orang kaya. Orang mau investasi saham harus punya uang sekian juta dulu. Sekarang mau Rp50.000 sudah bisa akses instrumen investasi.
Ini ada plus minusnya. Zaman dulu, orang yang punya uang segitu adalah orang kaya. Ketahan dari aspek finansialnya. Sekarang, semua bisa menjangkau instrumen investasi. Jadi dulu itu benar-benar ter-filter.
Namun, karena mudah diakses muncul greed. Ekspektasi tingkat keuntungannya sudah di atas rata-rata. Tidak puas dengan return 10% setahun. Mereka ingin lebih tinggi lagi, padahal kan hukum dasarnya selalu ada korelasi.
Kalau ingin keuntungan besar maka ada risiko lebih besar yang harus dipertimbangkan. Jadi hukum low risk low return dan high risk high return ini tidak banyak dipahami masyarakat. Jadi jargon saja, tidak betul-betul dipahami oleh masyarakat luas.
Soal cryptocurrency, apakah aset tersebut patut dipertimbangkan?
Kalau bicara memilih instrumen investasi itu sama seperti ketika memilih kendaraan. Kendaraan itu membantu kita dari satu tempat ke tempat lain. Investasi juga seperti itu. Membantu mencapai tujuan kita mau kemana.
Kalau dari rumah mau ke Indomaret maka kita perlu pilih kendaraan yang tepat juga. Tidak mungkin pakai pesawat jet. Tak ada tempat landing-nya. Milih itu harus sesuai mau buat apa. Seberapa penting itu untuk sampai di sana dengan selamat, dan seberapa paham dia. Apakah harus diatur sendiri atau diaturin orang lain?
Perencana keuangan biasanya membuat rencana keuangan untuk hal-hal yang penting. Misal untuk pendidikan anak. Itu jelas waktunya kapan dan tidak bisa diundur-undur. Kalau sudah waktunya, biaya sekolah harus kita bayarin.
Oleh karena itu karakteristik instrumennya itu tidak bisa yang sembrono. Kalau ada kerugian kan jadinya harus ditomboki sendiri. Kalau kita tidak bisa prediksi maka instrumen ini tidak tepat untuk tujuan itu.
Lantas, boleh orang punya kripto? Boleh, tapi untuk tujuan berbeda seperti spekulasi. Kalau untung dinikmati dan kalau rugi tidak mengorbankan makan, listrik, sekolah, dan sebagainya. Itu tergantung risk appetite-nya. Apakah agresif dan berharap keuntungan lebih ya silakan saja.
Itu pasti ada risiko dan tidak ada remnya. Use the money you can afford to lose hanya berlaku untuk instrumen yang masuk kategori spekulatif. Kripto ini pergerakannya kan cuma supply and demand. Tidak seperti saham yang misalnya ada dividen dan underlying asset-nya bisa dianalisis.
Lalu, yang rame juga soal NFT. Ini tidak jauh berbeda dengan aset riil seperti lukisan. Mirip dengan barang-barang koleksi seperti lukisan, jam, dan sebagainya yang sifatnya collectibles. Kalau itu diminati maka harganya akan naik seperti kalau ada reputasi. Ada nama tekenal dibaliknya.
Ini agak sulit dianalisis. Tergantung selera orangnya jadi lebih unpredictable. Kalau ada tujuan ke arah sana maka perlakuannya seharusnya sama juga.
Apakah kita mau mendanai pendidikan kita dengan lukisan? Ini tidak tepat dari sisi likuiditas, kurang pas. Semua instrumen itu ada fungsi dan tempatnya dan siapa yang bisa melakukan itu. Contoh, bisa saja reksa dana tidak tepat untuk seseorang karena ternyata dia risk averse, tidak menyukai risiko.
Apa yang perlu diantisipasi dalam hal pengelolaan keuangan di tengah pandemi ini?
Pertama kita harus waspada. Kita perlu awasi cashflow. Apakah cashflow akan terganggu kalau ada PPKM? Kalau sampai PPKM, seberapa besar dampaknya ke kita? Terlepas dia pekerja atau pebisnis, kita perlu pasang mata dan telinga.
Cicilan apakah akan ada kenaikan? Apakah suku bunga bisa berpotensi naik? Makin detail perencanaan kita maka makin bagus. Kalau pengeluaran kita punya catatannya itu akan lebih bagus. Kalau enggak punya paling tidak pengeluaran yang berdampak besar itu kita sudah mengerti apa saja.
Kita juga harus cegah pengeluaran yang impulsif, tidak terencana, dan tiba-tiba. Kita harus lihat apakah kita butuh? Kalau butuh itu akan jadi peluang. Kalau tidak butuh itu seharusnya bisa menjadi uang yang bisa disiapkan untuk menghadapi kondisi ke depan. Seberapapun itu lumayan untuk jaga-jaga.
Tabungan dan investasi juga perlu dijaga. Alokasikan dulu untuk tabungan sebelum dikonsumsi. Uang itu jangan disatukan di satu rekening. Kalau seperti itu, kita susah mengawasi. Jadi perlu ada rekening untuk kebutuhan rutin, untuk senang-senang. Itu nilainya berapa kalau sudah habis maka berhenti dan tidak boleh mengganggu rekening yang lainnya.
Di satu sisi perlu juga jeli untuk melihat promo dan diskon. Itu bisa membantu untuk menekan pengeluaran juga. Terkadang orang hanya melihat yang besar besar saja. Perlu jeli untuk melihat hal hal itu.
Kalau mendapat bonus. Itu juga perlu disiapkan dengan seksama misalnya untuk menambah dana darurat. Kalau perlu mengatur ulang gaya hidup juga enggak apa-apa, enggak ada salahnya.
Mungkin income tetap, tetapi pengeluarannya naik maka enggak apa-apa gaya hidupnya dimodifikasi. Namun, itu kalau sudah ada space-nya. Kalau sudah melakukan semua berarti harus menambah penghasilan. Jangan patokannya pada pengeluaran saja, tetapi bagaimana kita menambah penghasilan lain.
Alokasikan ulang investasi bagi yang punya portfolio. Ini situasi bisa berubah sewaktu-waktu. Perlu lebih konservatif atau tidak? Goals-nya jangka panjang atau pendek? Hampir semua instrumen saat ini mengalami tekanan, khususnya seperti saham dan kripto.
Ini pentingnya diversifikasi. Kadang orang berharap hasil investasi itu bisa memberikan penghasilan yang sama seperti bekerja. Money generating sama growing itu hal yang berbeda. Banyak orang yang salah mengatur ekspektasi antara money generating dan investasi.
Tahun ini, ada diskon pajak untuk pembelian rumah dan mobil. Layak dipertimbangkan?
Layak sekali, terutama properti karena itu kan mahal ya. 10% dari harga properti itu bisa berapa? 10% dari harga properti itu cukup besar sehingga layak dipertimbangkan. Selain itu, juga ada keringanan dari sisi pembiayaan.
Rumah kan kebutuhan dari kehidupan seseorang. Terlebih ada kecenderungan harga properti makin mahal setiap tahunnya. Jadi menurut saya, penting sekali dipertimbangkan.
Untuk kendaraan, jika memang akan frequently dipakai ya silakan. Tapi kembali kepada kemampuan. Jangan sampai memaksakan, seolah-olah butuh padahal enggak juga. Misal mengambil kendaraan dengan kredit, tetapi jadi enggak punya kemampuan menabung.
Kita bisa manfaatkan [diskon pajak] kalau keuangan kita siap. Kalau ternyata keuangan kita enggak siap, jangan dipaksakan meskipun ini adalah suatu momentum. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.