DITJEN Pajak (DJP) mengemban peran sebagai bagian dari garda depan penghimpun penerimaan negara. Sehubungan dengan mandat itu, DJP di antaranya berupaya memberikan pelayanan, pengawasan, serta penegakan hukum yang lebih efektif dan efisien.
Hal tersebut salah satunya dilakukan melalui penerapan compliance risk management (CRM). DJP menerapkan CRM terhitung sejak 2019. Tujuan dari implementasi CRM di antaranya untuk membuat pilihan perlakuan (treatment) yang berbeda berdasarkan pada risiko kepatuhan wajib pajak.
Ketentuan CRM awalnya dimuat dalam SE-24/PJ/2019. Berdasarkan surat edaran tersebut, CRM diimplementasikan untuk menunjang fungsi ekstensifikasi, pengawasan, pemeriksaan, dan penagihan. Dalam perkembangannya, otoritas memperluas cakupan implementasi CRM.
Kini, berdasarkan pada SE-39/PJ/2021, CRM juga diimplementasikan untuk menunjang fungsi pelayanan dan edukasi perpajakan. Selain itu, DJP juga menyempurnakan implementasi CRM pada fungsi pengawasan, pemeriksaan, dan penagihan.
Adapun CRM adalah suatu proses pengelolaan risiko kepatuhan wajib pajak yang dilakukan secara terstruktur, terukur, objektif, dan berulang dalam rangka membentuk risk engine (mesin penentu risiko).
Mesin penentu risiko tersebut pada muaranya menghasilkan level risiko wajib pajak yang ditampilkan pada peta risiko kepatuhan wajib pajak. Lantas, apa itu peta risiko dalam konteks penerapan CRM?
Merujuk pada SE-39/PJ/2021, peta risiko kepatuhan adalah matriks atau peta yang menggambarkan kombinasi antara level kemungkinan dan level dampak serta memuat nilai besaran risiko kepatuhan wajib pajak berdasarkan pada kombinasi unsur level kemungkinan dan level dampak.
Contoh bentuk peta risiko kepatuhan tercantum dalam lampiran A.5 SE-39/PJ/2021. Sesuai dengan pengertian dan contoh peta risiko kepatuhan, pada dasarnya ada ada 2 unsur pembentuk peta risiko kepatuhan.
Pertama, level atau kemungkinan ketidakpatuhan yang direpresentasikan dengan sumbu X. Kedua, dampak fiskal yang direpresentasikan dengan sumbu Y. Adapun indikator yang masuk dalam tingkat kemungkinan ketidakpatuhan dan dampak fiskal tergantung pada masing-masing fungsi.
Misal, pada fungsi ekstensifikasi. Pada fungsi ini, tingkat kemungkinan ketidakpatuhan (sumbu X) adalah tingkat ketidakpatuhan wajib pajak yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif, tetapi tidak mendaftarkan diri.
Sementara itu, dampak fiskal (sumbu Y) adalah konsekuensi hilangnya penerimaan dari wajib pajak yang telah memenuhi syarat subjektif dan objektif, tetapi tidak mendaftarkan diri. Makin tinggi sumbu X dan sumbu Y, makin besar pula kadar prioritas sasaran ekstensifikasi.
Nah, setiap fungsi akan memiliki peta risiko kepatuhan yang berbeda dengan indikator yang menyesuaikan. Pada dasarnya, peta risiko kepatuhan wajib pajak digunakan sebagai pertimbangan dalam perencanaan kegiatan serta penentu prioritas tindakan proses bisnis.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.